Thursday, January 20, 2011

Makna dan Bentuk Penerjemahan

We define meaning as the total network of relation s entered into by any linguistic form- text, item-in-text, structure, element of structure, class, term in system – or whatever it may be.

(Catford, 1980:35)

Makna merupakan bagian sentral sebuah aktifitas penerjemahan. Sebagian besar pakar penerjemahan melibatkan unsur makna (meaning) atau pesan (message) dalam definisinya tentang penerjemahan. Larson, misalnya, dalam bukunya menyatakan bahwa penerjemahan merupakan proses memindahkan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Secara explicit Larson menyatakan bahwa inti dari penerjemahan adalah pemindahan pesan. Pada bagian lain bukunya Larson juga menyebutkan bahwa penerjemahan pada dasarnya merupakan perubahan bentuk. Dari dua pernyataannya kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada yang berubah dalam proses penerjemahan tapi ada juga yang harus tetap dipertahankan.

Proses penerjemahan diawali dengan mengidentifikasi leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks struktural teks bahasa sumber. Tahap selanjutnya adalah menganalisa untuk mendapatkan makna teks tersebut, baru kemudian merekonstruksi makna yang sama ini dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatika yang sesuai dengan bentuknya yang berterima dalam bahasa sasaran (Larson, 1984:2).

(dikutip dari Larson, 1984)

Dengan kata lain dalam prosesnya, seorang penerjemah mengubah struktur permukaan (surface structure) sebuah teks yaitu kata frasa klausa dan kalimat dalam rangka menyampaikan semirip mungkin struktur dalam (deep structure) teks bahasa sumber, yaitu makna, pesan atau informasi. Artinya, yang berubah dalam penerjemahan adalah struktur permukaan sementara struktur dalam yaitu makna justru dipertahankan semaksimal mungkin. It is meaning which is being transferred and must be constant (Larson, 1984:3).

Yang harus diketahui seorang penerjemah dalam proses rekonstruksi bentuk bahasa sumber ke bentuk bahasa sasaran adalah bahwa setiap bahasa punya cara yang berbeda dalam menyampaikan sebuah pesan yang sama. Perbedaan itu bisa pada tataran leksis maupun tataran gramatika. Untuk menyatakan informasi yang sama, misalnya bahwa si pembicara menderita pusing, seorang pembicara bahasa Inggris akan mengatakan, “I have a dizzy”. Orang Indonesia mungkin akan mengatakan, “Kepala saya pusing”. Sementara orang Jawa mengatakan, “Sirahku mumet”. Artinya apabila kita menerjemahkan kalimat bahasa Inggris di atas dengan terjemahan literal, “Saya mempunyai rasa pusing” atau “aku nduwe rasa mumet” maka penutur bahasa Indonesia dan Jawa akan merasa kalimat itu tidak lazim bahkan mungkin pada kasus-kasus tertentu akan terjadi kesalahpahaman. Pengunaan leksis mempunyai untuk menyatakan rasa sakit tentu tidak lazim atau tidak berterima dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Pada tataran gramatika, sintaksis, jelas bahasa Inggris menggunakan struktur kalimat verbal sementara bahasa Indonesia dan Jawa memilih menggunakan kalimat nominal. Pilihan ini sama skali bersifat arbriter. Seorang penerjemah tidak bisa selalu terikat oleh bentuk leksikal maupun gramatikal bahasa sumbernya. Bila ia gagal melakukannya maka hasil terjemahan akan terdengar tidak wajar menurut penutur bahasa sasaran.

Pada tataran leksis kata merupakan sebuah paket komponen makna yang di kombinasikan pada elemen leksis. Sementara komponen makna dikemas secara berbeda pada setiap bahasa (Larson, 1984:55). Proses penerjemahan juga menjadi rumit mengingat tidak ada kata yang mempunyai mempunyai komponen makna persis dari satu bahasa ke bahasa lain. There is no one-to-one correspondence between orthobraphic words and elements of meaning within or across language. (Baker, 1992:11) Jadi seorang penerjemah harus mengurai komponen makna sebuah kata BSU sebelum dia merepresentasikannya kembali kedalam BSA. Kata stallion misalnya mengandung komponen makna kuda dan jantan. ketika kita menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia tidak memiliki sebuah kata yang mengandungi kedua komponen makna tersebut, kita ‘terpaksa’ menggunakan dua kata yaitu ‘kuda jantan’ untuk merepresentasikan kata stallion. Ini terjadi mungkin karena kultur bahasa Inggris berkecimpung banyak dalam bidang perkudaan sehingga mereka mempunyai leksis yang kaya dalam bidang ini. Palmer dalam Baker menyatakan bahwa kata-kata pada sebuah bahasa tidak merefleksikan realitas dunia, melainkan merupakan cerminan ketertarikan orang-orang pemakai bahasa tersebut. (Baker, 1992:18)

Pada kasus-kasus yang lebih kompleks, seorang penerjemah harus sangat berhati-hati ketika beurusan dengan makna.Mengalihkan bentuk sebuah bahasa secara literal kedalam bentuknya pada bahasa lain sering akan mengubah maknanya sama sekali (Larson, 1984:19) Ini juga yang membuat peroses penerjemahan menjadi kompleks, terutama ketika seorang penerjemah berhadapan dengan bentuk-bentuk metafora atau makna konotatif. Kalimat ‘He is like a dog’ secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti ‘Dia seperti anjing’. Pernerjemahan di atas jelas menimbulkan bias makna yang fatal. Makna ‘dia orang yang sangat setia’ menjadi hilang, tidak tersampaikan, karena penerjemah tidak berhasil menangkap makna dan pesan dari kalimat tersebut. Mestinya seorang penerjemah akan berusaha mencari maksud dari ungkapan itu dengan cara memahami budaya teks bahasa sumber. Makna yang menggambarkan kesetiaan tertangkap bila kita memahami bahwa anjing merupakan symbol kesetiaan dari kultur barat.

Pada kasus lain, misalnya, seperti yang dicotohkan Suryawinata (2003) sebuah ungkapan pada kitab injil dalam versi bahasa Inggris terdapat sebuah ungkapan “lamb of God” yang dalam bahasa Indonesia bias diartikan “domba Allah. Penerjemahan kata “lamb” menjadi “domba’ dalam bahasa Indonesia tidak menjadi masalah karena dalam metafora bahasa Indonesia kata “domba” mengandung pesan suatu gambaran ketidakberdosaan. Ketika ungkapan ini diterjemahkan ke dalam bahasa orang Eskimo, penerjemahan “lamb” menjadi domba dalam bahasa mereka menjadi bermasalah karena dalam keseharian mereka tidak mengenal domba. Seorang penerjemah, oleh karena itu, harus mencari kata, dalam bahasa mereka, yang bisa merepresentasikan makna “ketidakberdosaan”. Kata “anjing laut” dipilih untuk padanan kata”lamb” karena dianggap bias merepresentasikan makna di atas sehingga bentuk terjemahan dalam bahasa orang Eskimo ungkapan “lamb of God” menjadi “anjing laut Tuhan”

Perbedaan pilihan bentuk leksis maupun gramatika dari satu bahasa dan bahasa lainnya menyadarkan seorang penerjemah untuk slalu berhati-hati dalam memindahkan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Jelaslah kiranya bahwa kesamaan bentuk dan makna yang sepenuhnya sejajar sulit dijumpai dalam penerjemahan. (Machali, 2000:144)

No comments: