Wednesday, September 29, 2010

Komunikasi Interpersonal

Komunikasi Interpersonal
Oleh Andika Hendra Mustaqim
I. Pendahuluan
Komunikasi interpersonal dalam kehidupan manusia sudah menjadi kebutuhan, layaknya kita mengkonsumsi makanan setiap hari. Bahkan, jika manusia mampu menahan lapar, manusia normal pada umumnya sendiri sangat sulit untuk menahan diri untuk berkomunikasi dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, komunikasi tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, bahkan sudah menjadi satu kesatuan yang utuh.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2000: 73)
Komunikasi interpersonal adalah "interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula". Kebanyakan komunikasi interpersonal berbentuk verbal disertai ungkapan-ungkapan nonverbal dan dilakukan secara lisan. Cara tertulis diambil sejauh diperlukan, misalnya dalam bentuk memo, surat atau catatan. (Hardjana, 2003: 85)
Daam buku Inter-personal Skills, Astrid French mengatakan, “kecakapan interpersonal adalah segala sesuatu yang kita gunakan ketika kita berkomunikasi langsung dengan orang lain.” Pada kenyataannya, apapun yang kita katakan dan lakukan, meninggalkan kesan serta pengaruj pada diri seseorang. Singkatnya, pesan-pesan yang kita komunikasikan bisa saja membantu atau menghambat sebuah hubungan. (Elfiky, 2009: 83)
Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa komunikasi interpersonal adalah interaksi yang dilakukan antar sesama manusia sehingga ada respon yang disampaikan secara verbal maupun nonverbal. Tentunya, komunikasi interpersonal dilakukan karena memiliki tujuan yakni untuk saling mendekatkan satu sama lain.
Jika diibaratkan, sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, mereka akan selalu menjalani komunikasi interpersonal. Jika lewat dalam satu hari tak saling kontak, mereka seperti ada sesuatu yang hilang. Itu semua karena mereka ingin saling dekat satu sama lain.
Sementara itu, Redding yang dikutip Muhammad (2004:159-160) mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi interaksi intim, percakapan sosial, interogasi atau pemeriksaan dan wawancara. Dengan demikian, apa yang dilakukan manusia dalam berkomunikasi dengan sesama dalam kehidupan sehari-hari dapat digolongkan sebagai komunikasi interpersonal.
II. Pendahuluan
A. Faktor-Faktor Komunikasi Interpersonal
Menurut Rakhmat (2007: 80) mengemukakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan komunikasi interpersonal terdiri dari: (1) persepsi interpersonal, (2) konsep diri, (3) atraksi interpersonal, dan (4) hubungan interpersonal. Dalam makalah ini, akan dibahas satu persatu hal tersebut.
1. Persepsi Interpersonal.
Ada faktor-faktor situasional yang mempengaruhi persepsi interpersonal yakni deskripsi verbal, petunjuk prosemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik, dan petunjuk artifaktual. (Rakhmat, 2007:82-89)
Selain itu, menurut Rakhmat (2007: 89-91) persepsi interpersonal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor personal seperti pengalaman, motivasi, dan kepribadian.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian pepatah berujar. Menurut penulis, pengalaman telah membentuk sebuah suatu cara pandang seseorang dalam kehidupan, dan diaplikasi dengan dalam berkomunikasi. Semisal, jika seseorang yang pernah kecewa dengan seseorang perempuan yang cerewet, maka dia akan berhati-hati jika akan menjalin komunikasi ketika berkenalan dengan perempuan tipe tersebut.
Dalam hal motivasi yang dilatarbelakangi oleh faktor eksternal dan internal dalam diri manusia juga memegang peranan penting. Misalnya, seorang pegawai yang ingin cepat mendapatkan promosi, maka motivasi yang dimilikinya adalah menjalani komunikasi yang baik dengan atasannya. Kalau kepribadian, itu dikaitkan dengan watak manusia itu sebenarnya.
Setelah itu, bergabungnya faktor personal dan situasional maka akan mengarah pada proses persepsi interpersonal. Nah, proses tersebut yang dijelaskan oleh Rakhmat (2007:92-96) terdapat stereotyping, implicit personality theory, atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak.
Setelah itu, proses pengelolaan pesan. Peralatan lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri ini disebut front. Front terdiri dari panggung (setting), penampilan (appearance), dan gaya bertingkah laku (manner). (Rakhmat: 2007:96) Tak bisa disangkal, menurut penulis, orang yang ingin mencari eksistensi diri dalam pergaulan akan melakukan hal tersebut. Semuanya dapat diskenariokan dalam berkomunikasi.
2. Konsep Diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri antara lain orang lain dan kelompok rujukan. Konsep diri mempengaruhi komunikasi interpersonal dengan membuat yang dipenuhi sendiri, membuka diri, percaya diri, dan selektivitas.
3. Atraksi Interpersonal.
Menurut Rakhmat (2007: 111-113), faktor-faktor personal yang mempengaruhi atraksi interpersonal meluputi kesamaan karakteristik personal, tekanan emosional, harga diri yang rendah, dan isolasi sosial. Secara singkat, dalam kesamaan karakteristik personal ditinjau dari Teori Cognitive Consistency (Fritz Heider) menyebutkan bahwa orang akan mencari, berusaha mencapai konsistensi dalam sikap dan perilakunya, kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita, dan jika kita menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita hal ini supaya seluruh unsur kognitif kita konsisten. Kalau tekanan emosional, dimana bila orang berada dalam keadaan yang mencemaskannya atau harus memikul beban emosional, ia menginginkan kehadiran orang lain. Sedangkan, isolasi sosial dimana mahluk social, manusia mungkin tahan hidup terasing beberapa waktu, tetapi tidak untuk waktu yang lama.
Dalam pandangan penulis, kesamaan karekteristik personal akan sangat nyata terlihat dalam kelompok gosip, pertemanan, dalam skala besar adalah organisasi. Mereka berkumpul karena ada rasa senasib, sepenanggungan, dan seperjuangan. Orang yang tertekan secara emosional pun cenderung membutuhkan sebuah ajang atau wadah, yakni berupa kelompok kecil di pergaulan. Jika sudah mentok, isolasi diri untuk sementara waktu menghindari tekanan adalah solusi terbaik. Bagi pegawai kantoran, umumnya akan mengambil cuti berlibur.
Belum cukup faktor personal semata, tetapi atraksi sosial juga didukung faktor-faktor situasional yang meliputi daya tarik fisik, ganjaran, familiarity, kedekatan, dan kemampuan. (Rakhmat: 2007:114-117). Daya tarik fisik, dalam penelitian Dion, Berscheid dan Alster menyimpulkan penilaian pada orang-orang yang memiliki wajah yang cantik mereka cenderung menilai akan lebih berhasil dalam hidupnya dan dianggap memiliki sifat-sifat yang baik. Kemudian, Ganjaran dimana kita menyenangi orang yang memberikan ganjaran kepada kita berupa bantuan, dorongan moral, pujian atau hal-hal yang meningkatkan harga diri kita. Kalau, familiarity yakni sering kita lihat atau sudah kita kenal dengan baik. Orang cenderung tertarik dengan orang yang sudah akrab dengan mereka.Selanjutnya adalah kemampuan dengan banyak orang cenderung menyenangi orang lain yang memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan dirinya. Kemudian, kedekatan atau proximity, dimana orang cenderung menyenangi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan, persahabatan akan lebih mudah tumbuh diantara tetangga yang saling berdekatan (Whyte, 1956).
Penulis melihat faktor situasional sangat terlihat ketika dalam komunikasi dalam dunia kerja. Seorang karyawan lelaki cenderung menjalani komunikasi dengan perempuan yang cantik apalagi baik hati dan suka mentraktir. Jika seorang karyawan tersebut umumnya akan menghindari kawan yang kerap mengkritiknya. Ada kencederungan, karyawan itu akan menjalin komunikasi dengan orang yang telah dikenalnya dalam membentuk kelompok kecil. Kelompok tersebut biasa sebagai ajang curahan hati dan menjalankan misi tertentu dalam komunikasi kelompok.
4. Hubungan Interpersonal.
Menurut Arnold W. Goldstein (1975) dalam (Rakhmat, 2007: 120) hubungan interpersonal ada tiga yaitu: (1) makin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin terbuka individu mengungkapkan perasaannya; (2) makin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin cenderung individu meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog); (3) makin baik hubungan interpersonal seseorang maka makin cenderung individu mendengarkan dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat penolongnya.
Sementara itu, menurut Coleman dan Hammen (1974: 224-231) dalam Rakmat (2007:120-124) menyebutkan empat buah model. (1) model pertukaran sosial (social exchange model) yakni memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang dengan konsep ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan. Dalam kehidupan sehari-hari, penulis berpandangan bahwa model tersebut umumnya terjadi dalam pergaulan antar sesama pengusaha dan pedagang.
(2) Model peranan (role model) yakni memandang hubungan interpersonal sebagai panggung sandiwara dengan dukungan setiap orang memainkan peranannya sesuai dengan naskah. Kalau penulis sendiri memandang, model ini biasanya diterapkan jika kebutuhan komunikasi diterapkan secara profesional, layaknya seorang yang bekerja di dunia public relation.
(3) Model permainan (the games people play model) dengan acuan dalam hubungan interpersonal, kita menampilkan salah satu aspek kepribadian kita (orang tua, orang dewasa, anak) dan orang lain membalasnya dengan salah satu aspek tersebut. (4) Model interaksional (interactional model) yang memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem yang memiliki sifat struktural, integratif, dan medan. Nah, model tersebut biasanya terjadi dalam lingkungan militer ataupun segala sesuatu yang menyangkut birokrasi pemerintahan.
Dalam hubungan interpersonal, menurut Rakhmat (2007: 124-129), memiliki tahap-tahap. Pertama adalah pembentukan hubungan interpersonal atau dikenal dengan tahap perkenalan. Dalam tahap ini, masing-masing pihak berusaha “menggali” secepatnya identitas, sikap, dan nilai pihak yang lain.
Kedua adalah peneguhan hubungan interpersonal karena hubungan tersebut tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal, perubahan memerlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium). Ada empat faktor yang amat penting dalam memelihara keseimbangan ini: keakraban, kontrol, respons yang tepat, dan nada emosional yang tepat.
Ketiga adalah pemutusan hubungan interpersonal yang umumnya disebabkan konflik. Dalam analisis R.D Nye (1973) dalam bukunya Conflict among Humas, disebutkan ada lima sumber konflik. (1) Kompetisi – salah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorban orang lain; misalnya menunjukkan kelebihan dalam bidang tertentu dengan merendahkan orang lain. (2) Dominasi – salah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang itu merasakan hak-haknya dilanggar. (3) Kegagalan – masing-masing berusaha menyalahkah yang lain apabila tujuan bersama tidak tercapai. (4) Provokasi – salah satu pihak terus-menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan orang lain. (5) Perbedaan nilai – kedua belah pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai yang mereka anut. (Rakhmat, 2007:129)
Untuk menggambar tahapan dalam komunikasi, penulis memberikan gambaran seseorang lelaki yang jatuh cinta dengan kekasih barunya. Misalnya, si A jatuh cinta dengan si B. Karena sudah berpengalaman, si A pun mendekati si B dengan mudahnya. Pertama, tentunya mengajak berkenalan, mulai bertanya tentang data pribadi dan nomer ponsel. Dalam proses berkenalan, terjadi interaksi untuk saling mengetahui terutama dari pihak A. Jika sudah waktunya tepat, si A pun menyatakan rasa cintanya. Jika diterima, maka tahap penguatan komunikasi dilanjutnya, misalnya saling berkunjung ke rumah masing-masing, dan berlibur bersama. Namun, ternyata di tengah jalan hubungan cinta itu, si A kecewa dengan si B karena terlalu materialis. Putus adalah jalan terbaik bagi si A karena ingin mencari kekasih lainnya yang terbaik baginya. “Dari pada “makan hati” terus!” kata si A berulang kali di dalam hati.

B. Membangun Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Menurut Rahkmat (2007:129-133), ada beberapa yang menumbuhkan hubungan
interpersonal dalam komunikasi interpersonal meliputi percaya (trust), sikap sportif, dan sikap terbuka.
a. Percaya (trust). Secara ilmiah, “percaya” didefinisikan sebagai “mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (Griffin, 1967:224-234). Dengan adanya percaya dapat meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai maksud tertentu.
b. Sikap suportif. Sikap suportif adalah adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi seseorang bersikap defensif apabila tidak menerima, tidak jujur, tidak empatis. Dengan sikap defensif komunikasi interpersonal akan gagal.
c. Sikap terbuka (open mindedness). Sikap terbuka amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatisme, sehingga untuk memehami sikap terbuka, kita harus mengidentifikasi lebih dahulu kharakteristik orang dogmatis.
Ketiga hal tersebut jika diterapkan dalam komunikasi interpersonal dalam keseharian kita, maka semuanya akan berjalan lancar. Misalnya, seorang pria (si A) yang jatuh cinta dengan seorang gadis (si B). Tentunya, diawali dengan percaya. Jika si B percaya dengan si B dalam berkomunikasi, maka si B akan merasa aman. Rasa aman akan menimbulkan kenyamanan dalam berkomunikasi sehingga tak ada halangan lainnya. Dilanjutkan, sikap suportif antara si B dan si A. Keduanya saling menerima apa adanya, dan tidak tuntutan yang memberatkan. Ditambah dengan sikap keterbukaan yakni adanya rasa ikhlas dalam menjalani komunikasi tersebut.
Menurut Devito (1997:259-264) menyebutkan efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality).
Keterbukaan bakal terjadi jika komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Kemudian, empati dalam pandangan Henry Backrack (1976) menyebutkan empati sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.”
Kalau, sikap mendukung (supportiveness) dengan catatan memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan (3) provisional (syarat), bukan sangat yakin. Selanjutnya, sikap positif, dengan (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sedangkan, kesetaraan dimana dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara.
Dalam pandangan Elfiky, membangun komunikasi interpersonal yang efektif melalui beberapa hal (2009:85-134). Pertama, sistem representasi, dalam sistem tersebut sebagai manusia, kita berinteraksi melalui pancaindera kita. Kelima indera kita mengacu pada sistem representasi, penamaan, mengatur, menyimpan, dan menghubungkan kita dengan alat penyaring persepsi kita. Sistem ini terdiri dari lima subsistem: visual, auditori, olfaktori (penciuman). Gustatoru (pengecapan) dan kinestetik.
Kedua, predikat (pilihan kata) adalah kata-kata dan frase-frase deskriptif, kata kerja utama, kata keterangan dan kata sifat yang dipilih seseorang ketik ebrkomunikasi. Pilihan kata dan frase tertentu menunjukkan kepada kita tipe pribadi orang tersebut, sistem representasi yang lebih dominan.
Ketiga, eyes accessing cues (petunjuk berdasarkan gerakan mata), hal ini didasar karena setiap manusia pasti akan menggerakkan mata ketika menjawab pertanyaan seseorang. Keempat, strategi membangun keselarasan meliputi menyesuaikan, melangkah, dan memimpin.
Kelima adalah 3V yang ditemukan oleh seorang Profesor dan penulis buku The Silent Message, Albert Meharabien. 3V terdiri dari Verbal yakni aspek lisan yang mencakup 7% dari keseluruhan komunikasi; Vokal bernilai lebih 38%, jika warna suara Anda dimaknai berbeda dari pesan yang disimbolkan oleh kata-kata, makan pesan vokal lebih kuat efeknya daripada pesan verbal; Visual yang mewakili 55% dari proses komunikasi keseluruhan, jika aspek verbal dan vokal digabungkan maka tidak akan mampu menandingi hebatnya pengaruh ekspresi wajah dan proses komunikasi.
Keenam adalah meta model yang dikembangkan oleh Richard Bandler dan John Grinder yang bertujuannya untuk memperoleh informasi dengan menciptakan hubungan antara orang-orang dan pengalaman masa lalu.
Selanjutnya, adapun menurut Muhammad (2004: 165-168), komunikasi interpersonal mempunyai 6 tujuan yakni menemukan diri sendiri, menemukan dunia luar, membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti, berubah sikap dan tingkah laku, untuk bermain dan kesenangan, dan untuk membantu.
Penulis sangat sepakat dengan pendapat. Pasalnya, suatu hal yang menarik, belajar tentang komunikasi interpersonal. Kenapa? Kita belajar tentang kehidupan! Inti dari kehidupan adalah komunikasi! Akhir dari kehidupan adalah matinya komunikasi interpersonal!
Menurut penulis, komunikasi interpersonal juga memiliki tujuan utama yakni mencari eksistensi diri. Sudah menjadi kodrat manusia itu ingin dihargai sebagai pribadi yang utuh. Kemudian, manusia juga ingin menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain. Manusia juga mencari pelarian dalam permasalahannya dengan jalan komunikasi interpersonal.
Hanya manusia mampu berkomunikasi interpersonal dengan baik, maka dia akan hidup dalam arti hidup sebenarnya di dunia ini. Hanya manusia mampu berkomunikasi interpersonal dengan baik, maka dia mendapatkan kebahagiaan sehati bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Hanya manusia mampu berkomunikasi interpersonal dengan baik, maka dia akan menjadi pribadi seutuhnya yang mampu menjadi manusia sebenarnya di tempat yang benar dan waktu yang tepat.
III. Kesimpulan
Jadi, manusia dan komunikasi interpersonal bagaikan novelis dan imajinasi, pengusaha dan uang, pustakawan dan buku, petani dan cangkul, guru dan ilmu pengetahuan, dokter dan stetoskop, serta apoteker dan obat. Baik manusia dan komunikasi tak bisa melepaskan diri satu lain. Jika keduanya terlepas, maka dunia tak menganggapnya manusia itu memiliki nama.
Alangkah baiknya jika manusia mengelola komunikasi interpersonal dari bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur kembali. Tujuannya adalah menjadikan hal itu sebagai alat untuk mencapai kebahagian dalam diri sendiri dan membuat hidup kita bermanfaat bagi orang lain melalui komunikasi interpersonal.
Bab IV Daftar Pustaka
Devito, Joseph. (1997). Komunikasi Antar manusia. (Alih Bahasa Agus Maulana). Jakarta : Professional Book
Elfiky, Ibrahim. (2009). Terapi Komunikasi Efektif dengan Metode Praktis Neuro-Linguistic Programming (NLP. (Alih Bahasa Zubaedah). Jakarta: Hikmah
Hardjana, Agus M. (2003) Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Penerbit Kanisius
Muhammad, Arni. (2004). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Rakhmat, Jalaludin. (2007). Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Catatan:
Makalah ini dapat di akses di
www.nyongandikahendra.blogspot.com
www.ltunj2010.wordpress.com

Tuesday, September 21, 2010

Filsafat dan Filsafat Ilmu


Filsafat dan Filsafat Ilmu










Disusun oleh:
Andika Hendra Mustaqim
Crissinda Sutadisastra
Ria Panca Irawati



Linguistik Terapan
Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Jakarta


BAB I Pendahuluan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu bertanya. Ia mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Kendati masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah diperlihatkan sejak dini. Lihatlah anak anak kecil. Ketika ia melihat sesuatu yang baru, secara spontan dia bertanya. Melalui pertanyaan yang diajukan ia ingin mengetahui sesuatu. Kegiatan sepeti ini berlangsung terus sepanjang hayat sang anak. (Sitohang, 2009: 15)
Dalam kehidupan sehari-hari secara umum pertanyaan dapat digolongkan dalam dua tingkatan, yakni pertanyaan yang sederhana dan pertanyaan yang bersifat teoritis. Yang pertama kita sebutkan pertanyaan yang terkait dengan masalah-masalah praktis. Pertanyaan ini berhubungan dengan cara-cara untuk mencapai sesuatu. Misalnya, bagaimana cara agar kita bisa berbahasa Inggris? Bagaimana cara agar kita bisa mengendari sebuah mobil? Bagaimana cara agar kita memiliki pengetahuan yang yang banyak. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu berhubungan dengan hal-hal yang praktis. Agar kita bisa berbahasa Inggris, misalnya, kita harus mengikuti kursus bahasa Inggris, demikian halnya agar bisa mengendari mobil kita harus latihan mengemudi. Agar kita memiliki pengetahuan yang banyak, kita harus tekun belajar dan membaca banyak buku. Singkat pertanyaan sederhana lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat teknik. Sifatnya aplikatif. (Sitohang, 2009: 15-16)
Selain bertanya, manusia juga berpikir. Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini meruakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikian ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang-lambang yang merupakan abstraksi dari obyek yang sedang kita pikirkan. (Suriasumantri: 2001:1-2)
Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut dimana obyek-obyek kehidupan yang kongkriti dinyatakan dengan kata-kata. Dapat dibayangkan betapa sukarnya proses berpikir tersebut tanpa adanya lambang-lambang yang mengabstraksikan berbagai gejala kehidupannya. Matematika yang merupakan serangkaian lambang yang pada hakekatnya mempunya fungsi yang sama dengan bahasa. (Suriasumantri: 2001: 2)
Sejak seorang bayi mulai bisa berkata-kata, orang tuanya mulai mengajarkan bahasa dan setelah anak itu cukup usia, maka mulailah dia diajarkan berhitung. Yang pertama merpakan bahasa verbal; dan yang kedua merupakan bahasa yang mempergunakan angka, mempergunakan kedua bahasa itulah dia mulai berkomunikasi dengan lingkungannya. Setelah anak itu berumur enam atau tujuh tahun, maka dia pun memasuki sekolah untuk mempelajari bahasa tertulis. Dia sana anak itu mulai diperkenalkan kepada proses kegiatan berpikir secara formal; suatu kegiatan yang untuk selanjutnya takkah pernah berhenti sampai akhir hayatnya. (Suriasumantri: 2001: 2)
Lalu apa hubungan filsafat dengan ilmu? Seperti diketahui ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok (Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?). Sedangkan filsafat mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil kajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. (Suriasumantri: 2001: 4-5)



















BAB II. Filsafat
A. Sejarah Filsafat
Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun pada dasarnya filsafat baik dibarat, india dan Cina muncul dari yang sifatnya religius. Pembagian secara periodesasi filsafat barat adalah zaman kuno, zaman abad pertengahan, zaman modern dan masa kini. Periodesasi filsafat cina adalah zaman kuno, zaman pembauran, zaman neokonfusionisme dan zaman modern. Untuk cina adalah periode weda, biracarita, sutra-sutra dan sekolastik. Dalam filsafat india yang penting adalah bagaimana manusia bisa berteman dengan dunia bukan untuk menguasai dunia. Adapun filsafat islam hanya ada 2 periode yaitu: periode mutakalimin dan filsafat islam.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak melainkan berlangsung secara bertahap. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus melakukan pembagian secara periode yang menampilkan ciri khas tertentu.
1. Zaman Pra Yunani Kuno
Pada abad VI SM yunani muncul lahirnya filsafat dan mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Mulai saat itu orang mencari jawaban rasional tentang problem alam semesta.dengan demikian filsafat dilahirkan.
Orang yang mendapat kehormatan untuk digelari sebagai "filsuf pertama" adalah THALES. Tentang orang Miletos ini diceritakan bahwa tidak pernah ia in enulis ka'npemikirannya. Filsuf filsuf berikut, yaitu ANAXIMANDROS dan ANAMIMENES, memang membukukan pemikiran mereka, tetapi sayangnya karangan karangan itu kemudian hilang.
Ada kesaksian kesaksian yang mengatakan bahwa mereka semua menaruh perhatian khusus akan alam dan kejadian kejadian alamiah. Mereka terutama merasa tertarik oleh perubahan . terus menerus yang dapat disaksikan dalam alam (pada badan badan jagat raya, musim musim, laut dan sebagainya). Mereka mencari suatu asas atau prinsip-prinsip tetap hingga sama di belakang perubahan perubanan yang tak henti hentinya itu. Mereka berkeyakinan bahwa tak urung asas macam itu ada. Alasan mereka berpikir demikian ialah bahwa kendati seiata perubahan dunia jasmani merupakan suatu keseluruhan yang teratur dan kejadian kejadian alamiah mempunyai suatu ketetapan yang mengherankan. Apakah asas pertama itu? Ketiga filsuf dari Miletos memberi jawaban yang berbeda beda. Thales mengatakan: air. Anaximandros berpendapat: asas itu adalah "yang tak terbatas" (to apeiron). Anaximenes menjawab: udara.

2. Zaman keemasan yunani
Zaman yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk menguingkapkan ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu, karena yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi.
Dalam zaman keemasan Yunani muncul beberapa filsuf besar seperti PLATO (427 347). Menurut Plato, dunia ideal (yang terdirl dari Ide ide) merupakan obyek bagi rasio kita. Apalagi, dunia jasmani dengan cara tak sempurna meniru saja dunia ideal yang sama sekali sempurna. Itulah sebabnya filsuf sedapat mungkin harus melepaskan diri dari dunia jasmani, agar sanggup memandang dunia sebagai ide sempuma.
Selain Plato, terdapat ARISTOTELES (384-322) berasal dari Stageira di daerah Thrake, di Yunani Utara. Ia belajar dalam Akademia Plato di Athena dan tinggal di sana sampai Plato meninggal. Dua tahun lamanya ia bertugas sebagai guru pribadi untuk pangeran Alexander Agung. Tidak lama sesudah Alexander Agung dilantik menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena dan membuka suatu sekolah yang dinamakan Lykeion (dilatinkan: Lyceum). Pemikiran Aristoteles bahwa setiap benda jasmani mempunyai bentuk dan materi. Tetapi yang dimaksudkannya bukannya bentuk dan materi yang dapat dilihat, seperti halnya dengan patung tadi, melainkan bentuk dan materi sebab prinsip prinsip rnetafisis. Dua prinsip ini tidak bisa ditunjukkan jari, tetapi harus diandai kan supaya kita dapat mengerti benda benda jasmani.

3. Helinistis Romawi
Pada masa ini muncul beberapa aliran yaitu sebagai aliran sebagai berikut:
a. Stoisisme. Stoa didirikan di athena oleh Zeno dari Kition tahun 300 SM. Nama stoa
menunjukan serambi bertiang, tempat Zeno memberi pelajaran. Menurut Stoisme , jagat raya dari dala sama sekali ditentukan oleh suatu kuasa yang disebut Logos (rasio), berdasarkan rasio manusia sanggup mengenal orde universal dalam jagat raya. Ia akan hidup bijaksana dan bahagia asal saja ia bertindak menurut rasionya. Jika memang demikian ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukan diri pada hukum-hukum alam. Seorang yang hidup menurut prinsip stoisme sama sekali tidak memperdulikan kematian dan segala malapetaka lain, karena insyaf bahwa semua akan terjadi menurut keharusan mutlak. Sudah nyata kiranya bahwa etika stoisme ini betul-betuk bersifat kejak dan menuntut watak yang sungguh-sungguh kuat. Ini cocok untuk watak romawi yang pragmatis. Dan suskses besar jama SENECA (2 -650 dan Kaisar Marcus Aurelius (121 – 180).
b. Epikurisme. Epikuros (341 -2700 berasal dari pulau Samos . Menurutnya segala-galanya terdiri dari atom-atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan tubrukan yang satu dengan yang lain. Manusia hidup bahagia jika ia mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakutkan dengan dewa atau apapun juga.Dewa- dewa tidak mempengaruhi dunia. Lagipula untuk memperoleh kebahagiaan manusia mesti menggunakan kehendak bebasnya dengan mencari kesenangan sedapat mungkin. Terlalau banyak kesenangan akan mengelisahkan batin manusia. Orang bijaksana tahu membatasi diri dan terutama mencari kesenangan rohani, supaya batin menjadi tetap tenang.
c. Skepisisme. Dipelopori oleh PYRRHO (365 – 275 SM)B ukan merupakan suatu aliran yang jelas, melainkan suatu tedensi agak umum yang hidup terus sampai akhir masa Yunani Kuno. Mereka berfikir bahwa dalam semua bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran. Sikap Umum mereka kesangsian.d. eklektisisme, suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh.
d. Eklektisisme. Merupakan tendensi umum yang memetik perbagai unsur filsafat dari aliran-aliran lain tampa berhasil mencapai kesatuan pemikiran yang sungguh-sungguh. Salah seorang warga Romawi yang digolongkan dalam aliran ini CICERO (106 – 43). Dan PHILO (25SM- 50 M) ia berusaha mendamaikan agama Yahudi dengan Filsafat Yunani khusunya Plato.
e. Neoplatonisme. Puncak terakhir dalam sejarah fisafat yunani adalah ajaran ini, dimaksukan untuk menghidupkan kembali filsafat Plato. Filsuf yang mensintesa PLATINOS (203/4 – 269/70). Ia lahir di Mesir dan umur 40 tahun tiba di Roma untuk mendirikan sekolah filsafat disana. Seluruh sistem Filsafat Plotinos berkisar pada konsep kesatuan. Atau dapat juga kita katakan bahwa seluruh sistem filsafatnya Berkisar pada Allah, sebab Allah disebut dengan nama”yang Satu”. Semuanya yang ada berasal dari ”yang satu”. Dan semuanya yang ada berhasrat pula untuk kembali kepada yang satu. Oleh karenanya dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah, dari atas kebawah dan sebaliknya.
4. Zaman Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan mengalami 2 periode, yaitu:
1. periode patriktis; mengalami 2 tahap:
a. permulaan agama kristen
b. filsafat agustinus; yang terkenal pada masa patristik
2. periode skolastik; menjadi 3 tahap yakni:
a. periode awal, ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat
b. periode puncak, ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat arab dan yahudi
c. periode akhir, ditandai dengan pemikiran kefilsafatan yang berkembang kearah nominalisme.
5. Zaman Renaissance
Ialah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Illahi.
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi Gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya
benua baru (1492 M) oleh Columbus memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris, Perancis dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan Ronsard. Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembangan.
6. Zaman Modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman renaissance.
7. Zaman Kontemporer (Abad XX Dan Seterus)
Fisi kawan termashur adalah Albert Einstein yang percaya akan kekekalan materi. Dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Zaman kontemporer ini ditandai dengan penemuan teknologi canggih.

B. Pengertian Filsafat

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Bagaimana definisi filsafat menurut berbagai pakar:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
1. Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3. Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4. Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Siapa saja obyek filsafat? (1) Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6). 2) Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6).
Sebagaimana pengetahuan yang lain, filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan bermacam-macam aliran dan cabang.
1) Aliran-aliran Filsafat
Ada beberapa aliran filsafat dinataranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme.
2) Cabang-cabang Filsafat
Filsafat memiliki cabang-cabang ang cukup banyak dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst.
C. Berpikir Filsafat
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh; seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Menurut Andre Ata Ujan (2008) dalam bukunya “Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan”, (dalam Sitohang, 2009: 20-21) mengutip pendapat Plato yang mengemukakan pendapat Plato, hakikat filsafat sebagai hasil kontemlasi dalam lima karakter. Pertama, dapat bertahan terhadap diskusi kritis. Artinya, kegiatan utama dari filsafat adalah mengkaji secara kritis segala hal. Dengan kajian itu diharapkan terjadi pertanggungjawaban rasional. Dalam pengertian ini kata “kebijaksaan” tidak lagi menjadi makna dari filsafat.
Kedua, menggunakan metode dialektis. Dengan metode ini, filsafat bergerak secara bertahap, yakni mengkritik pandangan-pandangan yang ada setelah itu membangu pandangan baru yang didukung dengan argumen-argumen yang lebih kuat.
Ketiga, berusaha mencapai realitas yang terdalam. Filsafat menganalisi hal-hal terdalam dari kenyataan. Ia tidak berhenti pada fakta empiris, melainkan berusaha menemukan kebenaran yang terdalam. Filsafat mencari pengetahuan sejati, serta hal-hal yang hakiki dari realitas. Karena itulah filsafat bersifat metaempiris.
Keempat, terakit butir ketiga, dimana filsagat bertujuan untuk menangkap tujuan ideal realitas. Bagi Plato, memahami kebenaran misalnya, berrati memahami IDEA tentang kebenaran yang dicari oleh manusia.
Kelima, mengetahui bagaimana harus hidup sebagai manusia. Dalam butir ini filsafat dikaitkan dengan suatu pengetahuan yang benar tentang cara hidup sebagai manusia.




























III. Ilmu Pengetahuan
A. Apa itu Ilmu?
Pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan knowledge, menurut Jujun S. Suriasumantri (2005 : 104), pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Ilmu, menurut pendapat di atas, menunjuk pada terminologi yang bersifat khusus, yang merupakan bagian dari pengetahuan.
Pengertian ilmu dan perbedaannya dengan pengetahuan nampak lebih jelas sebagaimana dinyatakan oleh Ketut Rinjin. Menurut Rinjin (1997 : 57-58), ilmu merupakan keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis dan bukanlah sekadar kumpulan fakta, tetapi pengetahuan yang mempersyaratkan objek, metoda, teori, hukum, atau prinsip.
Ilmu, yang dalam bahasa Inggris dinyatkan dengan science, bukan sekadar kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat berbagai fakta. Selain fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum, prinsip, dst., yang diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu metoda ilmiah. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metoda ilmiah (Jujun S., 2005 : 119). Sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu pengalaman, intuisi, pendapat otoritas, penemuan secara kebetulan dan coba-coba (trial and error) maupun penalaran. Ada paradigma baru yang memandang ilmu bukan hanya sebagai produk. The Liang Gie (1991 : 90), setelah mengkaji berbagai pendapat tentang ilmu, menyatakan bahwa ilmu dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu terwujud dalam aktivitas penelitian. Sebagai prosedur, ilmu tidak lain adalah metoda ilmiah. Dansebagai produk, ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Berbagai fenomena yang dipelajari ilmu tersebut selanjutnya dijelaskan ilmu melalui pernyataan-pernyataan. Kumpulan pernyataan yang merupakan penjelasan ilmiah terdiri dari empat bentuk (The Liang Gie, 1991 : 142-143), yaitu : deskripsi, preskripsi, eksposisi pola, dan rekonstruksi historis.
1) Deskripsi
Deskripsi adalah pernyataan yang bersifat menggambarkan tentang bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal rinci lainnya dari fenomena yang dipelajari ilmu. Pernyataan dengan bentuk deskripsi terdapat antara lain dalam ilmu anatomi dan geografi.
2) Preskripsi
Preskripsi merupakan bentuk pernyataan yang bersifat preskriptif, yaitu berupa petunjuk-petunjuk atau ketentuanketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan berkenaan dengan ojkek formal ilmu. Preskripsi dapat dijumpai antara lain dalam ilmu pendidikan dan psikologi pendidikan.
3) Eksposisi Pola
Bentuk ini merangkum pernyataan-pernyataan yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah. Pernyataan semacam ini dapat dijumpai antara lain pada antropologi.
4) Rekonstruksi Historis
Rekonstruksi historis merupakan pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan sesuatu secara kronologis. Pernyataan semacam ini terdapat pada historiografi dan paleontologi.
Selain bentuk-bentuk pernyataan dalam filsafat seperti di atas, ilmu juga memiliki ragam-ragam proposisi, yaitu azas ilmiah, kaidah ilmiah, dan teori ilmiah. Ketiga ragam proposisi tersebut dijelaskan seperti berikut ini.
1) Azas ilmiah
Azas atau prinsip ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.
2) Kaidah ilmiah
Suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diuji kebenarannya .
3) Teori ilmiah
Yang dimaksud dengan teori ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis berkenaan dengan penjelasan terhadap sejumlah fenomena. Teori ilmiah merupakan unsur yang sangat penting dalam ilmu. Bobot kualitas suatu ilmu terutama ditentukan oleh teori ilmiah yang dimilikinya. Pentingnya teori ilmiah dalam illmu dapat dijelaskan dari fungsi atau kegunaannya. Fungsi teori ilmiah adalah (a) Sebagai kerangka pedoman, bagan sistematisasi, atau sistem acuan dalam menyususn data maupun pemikiran tentang data sehingga tercapai hubungan yang logis diantara aneka data. (b) Memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum dipetakan sehingga terdapat suatu orientasi. (c) Sebagai acuan dalam pengkajian suatu masalah. (d) Sebagai dasar dalam merumuskan kerangka teoritis penelitian. (e) Sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis. (f) Sebagai informasi untuk menetapkan cara pengujian hipotesis. (g) Untuk mendapatkan informasi histories dan perspektif perma-salahan yang akan diteliti. (h) Memperkaya ide-ide baru. (i) Untuk mengetahui siapa saja peneliti lain dan pengguna di bidang yang sama.

B. Ciri-ciri pokok ilmu
Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah sebagi berikut.
1) Sistematisasi
Sistematisasi memiliki arti bahwa pengetahuan ilmiah tersusun sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara fungsional.
2) Keumuman (generality)
Ciri keumuman menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk merangkum berbagai fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasannya.
3) Rasionalitas
Ciri rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika.
4) Objektivitas
Ciri objektivitas ilmu menunjuk pada keharusan untuk bersikap objektif dalam mengkaji suatu kebenaran ilmiah tanpa melibatkan unsur emosi dan kesukaan atau kepentingan pribadi.
5) Verifiabilitas
Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diteliti kembali, atau diuji ulang oleh masyarakat ilmuwan.
6) Komunalitas
Ciri komunalitas ilmu mengandung arti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum (public knowledge). Itu berarti hasil penelitian yang kemudian menjadi khasanah dunia keilmuan tidak akan disimpan atau disembunyikan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
































IV. Filsafat Ilmu

A. Definisi dan Hakikat Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
Robert Ackerman menyatakan, “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
Lewis White Beck menyebutkan “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.” (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
A. Cornelius Benjamin: “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines”
. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
Michael V. Berry: “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
May Brodbeck: “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
Peter Caws: “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
Stephen R. Toulmin: “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Menurut Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti : Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
Kemudian, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). Disimpulkan bahwa pertama adalah sekelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Dan sekelompok pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaanpertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 : 9-10), filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia.
Manusia merupakan makhluk berakal budi. Dengan akal budinya, kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya, manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know). Pada diri manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan.Bertanya adalah berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnyasaja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
Manusia senantiasa menghadapi masalah. Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan ilmu adalah adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).

B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan.
5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. (Agraha Suhandi: 1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
Dengan kata lain, manfaat mempelajari filsafat ilmu:
1. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.
2. Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi para mahasiswa sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
3. Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu diterapkan.

C.Substansi Filsafat Ilmu

W. Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul “Measurement, Evaluation, and Research : Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima macam cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar (kebenaran) yaitu : pengalaman, intuisi, agama, filsafat, dan ilmu. Dengan cara-cara tersebut dapat diperoleh diperoleh kebenaran pengalaman atau kebenaran indera, kebenaran intuitif, kebenaran religius, kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah.
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
* Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
* Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
* Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
* Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
* Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
Manusia menempuh berbagai cara agar keinginan tersebut terwujud. Berbagai tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu secara nonilmiah, yang mencakup : a) akal sehat, b) prasangka, c) intuisi, d) penemuan kebetulan dan cobacoba, dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis, serta tindakan secara ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3). Usaha yang dilakukan secara nonilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Selanjutnya, Metoda ilmiah yang merupakan suatu prosedur sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie, memuat berbagai unsur atau komponen yang saling berhubungan. Unsur-unsur utama metoda ilmiah menurut The Liang Gie (1991 : 118) adalah pola proSedural, tata langkah, teknik, dan instrument.. Pola prosedural, antara lain terdiri dari : pengamatan, percobaan, peng-ukuran, survai, deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah, mencakup : penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik, antara lain terdiri dari : wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Aneka instrumen yang dipakai dalam metoda ilmiah antara lain : pedoman wawancara, kuesioner, timbangan, meteran, komputer.

D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
* Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
* Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
* Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.

Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.





























BAB V KESIMPULAN

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidupnya dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya.
Ilmu merupakan salah satu buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ilmu merupakan salah satu dari pengtetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakekat ilmu sebenarnya. Semuanya bersifat saling membutuhkan dan saling mengisi.






















Referensi Buku
Ginting, Paham dan Situmotrang, Syafrizal Helmi. (2008). Filsafat ilmu dan metode riset. Medan: USU Press
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Moleong, Lexy, J. (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Bandung : CV Kayumas.
Russel, Betrand. (2002). Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (alih Bahasa Sigit jatmiko, dkk ) . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sihotang, Kasdin. (2009). Filsafat Manusia; Upaya Membangkitkan Humanisme. Yogyakarta: Kanisius
Soemargono, Soerjono. (1993) Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : NurCahaya.
Suriasumantri, Jujun S. (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujun S. (1996) Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.
Verhak, V dan Haryono Imam, R. (1999) Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Gramedia.
Wibisono, Koento. (1997) Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta : Universitas Terbuka

Referensi Internet
http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm”
http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm”
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
http://www.anneahira.com/ilmu/filsafat-ilmu.htm

Filsafat dan Filsafat Ilmu


Filsafat dan Filsafat Ilmu










Disusun oleh:
Andika Hendra Mustaqim
Crissinda Sutadisastra
Ria Panca Irawati



Linguistik Terapan
Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Jakarta


BAB I Pendahuluan
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu bertanya. Ia mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya. Kendati masih bersifat sederhana, kegiatan ini sudah diperlihatkan sejak dini. Lihatlah anak anak kecil. Ketika ia melihat sesuatu yang baru, secara spontan dia bertanya. Melalui pertanyaan yang diajukan ia ingin mengetahui sesuatu. Kegiatan sepeti ini berlangsung terus sepanjang hayat sang anak. (Sitohang, 2009: 15)
Dalam kehidupan sehari-hari secara umum pertanyaan dapat digolongkan dalam dua tingkatan, yakni pertanyaan yang sederhana dan pertanyaan yang bersifat teoritis. Yang pertama kita sebutkan pertanyaan yang terkait dengan masalah-masalah praktis. Pertanyaan ini berhubungan dengan cara-cara untuk mencapai sesuatu. Misalnya, bagaimana cara agar kita bisa berbahasa Inggris? Bagaimana cara agar kita bisa mengendari sebuah mobil? Bagaimana cara agar kita memiliki pengetahuan yang yang banyak. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu berhubungan dengan hal-hal yang praktis. Agar kita bisa berbahasa Inggris, misalnya, kita harus mengikuti kursus bahasa Inggris, demikian halnya agar bisa mengendari mobil kita harus latihan mengemudi. Agar kita memiliki pengetahuan yang banyak, kita harus tekun belajar dan membaca banyak buku. Singkat pertanyaan sederhana lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat teknik. Sifatnya aplikatif. (Sitohang, 2009: 15-16)
Selain bertanya, manusia juga berpikir. Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini meruakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikian ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang-lambang yang merupakan abstraksi dari obyek yang sedang kita pikirkan. (Suriasumantri: 2001:1-2)
Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut dimana obyek-obyek kehidupan yang kongkriti dinyatakan dengan kata-kata. Dapat dibayangkan betapa sukarnya proses berpikir tersebut tanpa adanya lambang-lambang yang mengabstraksikan berbagai gejala kehidupannya. Matematika yang merupakan serangkaian lambang yang pada hakekatnya mempunya fungsi yang sama dengan bahasa. (Suriasumantri: 2001: 2)
Sejak seorang bayi mulai bisa berkata-kata, orang tuanya mulai mengajarkan bahasa dan setelah anak itu cukup usia, maka mulailah dia diajarkan berhitung. Yang pertama merpakan bahasa verbal; dan yang kedua merupakan bahasa yang mempergunakan angka, mempergunakan kedua bahasa itulah dia mulai berkomunikasi dengan lingkungannya. Setelah anak itu berumur enam atau tujuh tahun, maka dia pun memasuki sekolah untuk mempelajari bahasa tertulis. Dia sana anak itu mulai diperkenalkan kepada proses kegiatan berpikir secara formal; suatu kegiatan yang untuk selanjutnya takkah pernah berhenti sampai akhir hayatnya. (Suriasumantri: 2001: 2)
Lalu apa hubungan filsafat dengan ilmu? Seperti diketahui ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok (Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?). Sedangkan filsafat mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil kajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. (Suriasumantri: 2001: 4-5)



















BAB II. Filsafat
A. Sejarah Filsafat
Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun pada dasarnya filsafat baik dibarat, india dan Cina muncul dari yang sifatnya religius. Pembagian secara periodesasi filsafat barat adalah zaman kuno, zaman abad pertengahan, zaman modern dan masa kini. Periodesasi filsafat cina adalah zaman kuno, zaman pembauran, zaman neokonfusionisme dan zaman modern. Untuk cina adalah periode weda, biracarita, sutra-sutra dan sekolastik. Dalam filsafat india yang penting adalah bagaimana manusia bisa berteman dengan dunia bukan untuk menguasai dunia. Adapun filsafat islam hanya ada 2 periode yaitu: periode mutakalimin dan filsafat islam.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak melainkan berlangsung secara bertahap. Karena untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus melakukan pembagian secara periode yang menampilkan ciri khas tertentu.
1. Zaman Pra Yunani Kuno
Pada abad VI SM yunani muncul lahirnya filsafat dan mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan. Mulai saat itu orang mencari jawaban rasional tentang problem alam semesta.dengan demikian filsafat dilahirkan.
Orang yang mendapat kehormatan untuk digelari sebagai "filsuf pertama" adalah THALES. Tentang orang Miletos ini diceritakan bahwa tidak pernah ia in enulis ka'npemikirannya. Filsuf filsuf berikut, yaitu ANAXIMANDROS dan ANAMIMENES, memang membukukan pemikiran mereka, tetapi sayangnya karangan karangan itu kemudian hilang.
Ada kesaksian kesaksian yang mengatakan bahwa mereka semua menaruh perhatian khusus akan alam dan kejadian kejadian alamiah. Mereka terutama merasa tertarik oleh perubahan . terus menerus yang dapat disaksikan dalam alam (pada badan badan jagat raya, musim musim, laut dan sebagainya). Mereka mencari suatu asas atau prinsip-prinsip tetap hingga sama di belakang perubahan perubanan yang tak henti hentinya itu. Mereka berkeyakinan bahwa tak urung asas macam itu ada. Alasan mereka berpikir demikian ialah bahwa kendati seiata perubahan dunia jasmani merupakan suatu keseluruhan yang teratur dan kejadian kejadian alamiah mempunyai suatu ketetapan yang mengherankan. Apakah asas pertama itu? Ketiga filsuf dari Miletos memberi jawaban yang berbeda beda. Thales mengatakan: air. Anaximandros berpendapat: asas itu adalah "yang tak terbatas" (to apeiron). Anaximenes menjawab: udara.

2. Zaman keemasan yunani
Zaman yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk menguingkapkan ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu, karena yunani pada masa itu tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi.
Dalam zaman keemasan Yunani muncul beberapa filsuf besar seperti PLATO (427 347). Menurut Plato, dunia ideal (yang terdirl dari Ide ide) merupakan obyek bagi rasio kita. Apalagi, dunia jasmani dengan cara tak sempurna meniru saja dunia ideal yang sama sekali sempurna. Itulah sebabnya filsuf sedapat mungkin harus melepaskan diri dari dunia jasmani, agar sanggup memandang dunia sebagai ide sempuma.
Selain Plato, terdapat ARISTOTELES (384-322) berasal dari Stageira di daerah Thrake, di Yunani Utara. Ia belajar dalam Akademia Plato di Athena dan tinggal di sana sampai Plato meninggal. Dua tahun lamanya ia bertugas sebagai guru pribadi untuk pangeran Alexander Agung. Tidak lama sesudah Alexander Agung dilantik menjadi raja, Aristoteles kembali ke Athena dan membuka suatu sekolah yang dinamakan Lykeion (dilatinkan: Lyceum). Pemikiran Aristoteles bahwa setiap benda jasmani mempunyai bentuk dan materi. Tetapi yang dimaksudkannya bukannya bentuk dan materi yang dapat dilihat, seperti halnya dengan patung tadi, melainkan bentuk dan materi sebab prinsip prinsip rnetafisis. Dua prinsip ini tidak bisa ditunjukkan jari, tetapi harus diandai kan supaya kita dapat mengerti benda benda jasmani.

3. Helinistis Romawi
Pada masa ini muncul beberapa aliran yaitu sebagai aliran sebagai berikut:
a. Stoisisme. Stoa didirikan di athena oleh Zeno dari Kition tahun 300 SM. Nama stoa
menunjukan serambi bertiang, tempat Zeno memberi pelajaran. Menurut Stoisme , jagat raya dari dala sama sekali ditentukan oleh suatu kuasa yang disebut Logos (rasio), berdasarkan rasio manusia sanggup mengenal orde universal dalam jagat raya. Ia akan hidup bijaksana dan bahagia asal saja ia bertindak menurut rasionya. Jika memang demikian ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukan diri pada hukum-hukum alam. Seorang yang hidup menurut prinsip stoisme sama sekali tidak memperdulikan kematian dan segala malapetaka lain, karena insyaf bahwa semua akan terjadi menurut keharusan mutlak. Sudah nyata kiranya bahwa etika stoisme ini betul-betuk bersifat kejak dan menuntut watak yang sungguh-sungguh kuat. Ini cocok untuk watak romawi yang pragmatis. Dan suskses besar jama SENECA (2 -650 dan Kaisar Marcus Aurelius (121 – 180).
b. Epikurisme. Epikuros (341 -2700 berasal dari pulau Samos . Menurutnya segala-galanya terdiri dari atom-atom yang senantiasa bergerak dan secara kebetulan tubrukan yang satu dengan yang lain. Manusia hidup bahagia jika ia mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakutkan dengan dewa atau apapun juga.Dewa- dewa tidak mempengaruhi dunia. Lagipula untuk memperoleh kebahagiaan manusia mesti menggunakan kehendak bebasnya dengan mencari kesenangan sedapat mungkin. Terlalau banyak kesenangan akan mengelisahkan batin manusia. Orang bijaksana tahu membatasi diri dan terutama mencari kesenangan rohani, supaya batin menjadi tetap tenang.
c. Skepisisme. Dipelopori oleh PYRRHO (365 – 275 SM)B ukan merupakan suatu aliran yang jelas, melainkan suatu tedensi agak umum yang hidup terus sampai akhir masa Yunani Kuno. Mereka berfikir bahwa dalam semua bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran. Sikap Umum mereka kesangsian.d. eklektisisme, suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh.
d. Eklektisisme. Merupakan tendensi umum yang memetik perbagai unsur filsafat dari aliran-aliran lain tampa berhasil mencapai kesatuan pemikiran yang sungguh-sungguh. Salah seorang warga Romawi yang digolongkan dalam aliran ini CICERO (106 – 43). Dan PHILO (25SM- 50 M) ia berusaha mendamaikan agama Yahudi dengan Filsafat Yunani khusunya Plato.
e. Neoplatonisme. Puncak terakhir dalam sejarah fisafat yunani adalah ajaran ini, dimaksukan untuk menghidupkan kembali filsafat Plato. Filsuf yang mensintesa PLATINOS (203/4 – 269/70). Ia lahir di Mesir dan umur 40 tahun tiba di Roma untuk mendirikan sekolah filsafat disana. Seluruh sistem Filsafat Plotinos berkisar pada konsep kesatuan. Atau dapat juga kita katakan bahwa seluruh sistem filsafatnya Berkisar pada Allah, sebab Allah disebut dengan nama”yang Satu”. Semuanya yang ada berasal dari ”yang satu”. Dan semuanya yang ada berhasrat pula untuk kembali kepada yang satu. Oleh karenanya dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah, dari atas kebawah dan sebaliknya.
4. Zaman Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan mengalami 2 periode, yaitu:
1. periode patriktis; mengalami 2 tahap:
a. permulaan agama kristen
b. filsafat agustinus; yang terkenal pada masa patristik
2. periode skolastik; menjadi 3 tahap yakni:
a. periode awal, ditandai dengan pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang rapat antara agama dan filsafat
b. periode puncak, ditandai oleh keadaan yang dipengaruhi oleh aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat arab dan yahudi
c. periode akhir, ditandai dengan pemikiran kefilsafatan yang berkembang kearah nominalisme.
5. Zaman Renaissance
Ialah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Illahi.
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi Gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya
benua baru (1492 M) oleh Columbus memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris, Perancis dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan Ronsard. Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembangan.
6. Zaman Modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman renaissance.
7. Zaman Kontemporer (Abad XX Dan Seterus)
Fisi kawan termashur adalah Albert Einstein yang percaya akan kekekalan materi. Dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Zaman kontemporer ini ditandai dengan penemuan teknologi canggih.

B. Pengertian Filsafat

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat, namun batasan yang berbeda itu tidak mendasar. Selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan secara terminologi.
Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Bagaimana definisi filsafat menurut berbagai pakar:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
1. Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
2. Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3. Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4. Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
Harold H. Titus (1979 ): (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.
Siapa saja obyek filsafat? (1) Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6). 2) Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (Lasiyo dan Yuwono, 1994 : 6).
Sebagaimana pengetahuan yang lain, filsafat telah mengalami perkembangan yang pesat yang ditandai dengan bermacam-macam aliran dan cabang.
1) Aliran-aliran Filsafat
Ada beberapa aliran filsafat dinataranya adalah : realisme, rasionalisme, empirisme, idealisme, materialisme, dan eksistensialisme.
2) Cabang-cabang Filsafat
Filsafat memiliki cabang-cabang ang cukup banyak dinataranya adalah : metafisika, epistemologi, logika, etika, estetika, filsafat sejarah, filsafat politik, dst.
C. Berpikir Filsafat
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh; seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Menurut Andre Ata Ujan (2008) dalam bukunya “Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan”, (dalam Sitohang, 2009: 20-21) mengutip pendapat Plato yang mengemukakan pendapat Plato, hakikat filsafat sebagai hasil kontemlasi dalam lima karakter. Pertama, dapat bertahan terhadap diskusi kritis. Artinya, kegiatan utama dari filsafat adalah mengkaji secara kritis segala hal. Dengan kajian itu diharapkan terjadi pertanggungjawaban rasional. Dalam pengertian ini kata “kebijaksaan” tidak lagi menjadi makna dari filsafat.
Kedua, menggunakan metode dialektis. Dengan metode ini, filsafat bergerak secara bertahap, yakni mengkritik pandangan-pandangan yang ada setelah itu membangu pandangan baru yang didukung dengan argumen-argumen yang lebih kuat.
Ketiga, berusaha mencapai realitas yang terdalam. Filsafat menganalisi hal-hal terdalam dari kenyataan. Ia tidak berhenti pada fakta empiris, melainkan berusaha menemukan kebenaran yang terdalam. Filsafat mencari pengetahuan sejati, serta hal-hal yang hakiki dari realitas. Karena itulah filsafat bersifat metaempiris.
Keempat, terakit butir ketiga, dimana filsagat bertujuan untuk menangkap tujuan ideal realitas. Bagi Plato, memahami kebenaran misalnya, berrati memahami IDEA tentang kebenaran yang dicari oleh manusia.
Kelima, mengetahui bagaimana harus hidup sebagai manusia. Dalam butir ini filsafat dikaitkan dengan suatu pengetahuan yang benar tentang cara hidup sebagai manusia.




























III. Ilmu Pengetahuan
A. Apa itu Ilmu?
Pengetahuan, yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan knowledge, menurut Jujun S. Suriasumantri (2005 : 104), pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Ilmu, menurut pendapat di atas, menunjuk pada terminologi yang bersifat khusus, yang merupakan bagian dari pengetahuan.
Pengertian ilmu dan perbedaannya dengan pengetahuan nampak lebih jelas sebagaimana dinyatakan oleh Ketut Rinjin. Menurut Rinjin (1997 : 57-58), ilmu merupakan keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan logis dan bukanlah sekadar kumpulan fakta, tetapi pengetahuan yang mempersyaratkan objek, metoda, teori, hukum, atau prinsip.
Ilmu, yang dalam bahasa Inggris dinyatkan dengan science, bukan sekadar kumpulan fakta, meskipun di dalamnya juga terdapat berbagai fakta. Selain fakta, di dalam ilmu juga terdapat teori, hukum, prinsip, dst., yang diperoleh melalui prosedur tertentu yaitu metoda ilmiah. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metoda ilmiah (Jujun S., 2005 : 119). Sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu pengalaman, intuisi, pendapat otoritas, penemuan secara kebetulan dan coba-coba (trial and error) maupun penalaran. Ada paradigma baru yang memandang ilmu bukan hanya sebagai produk. The Liang Gie (1991 : 90), setelah mengkaji berbagai pendapat tentang ilmu, menyatakan bahwa ilmu dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk. Sebagai proses, ilmu terwujud dalam aktivitas penelitian. Sebagai prosedur, ilmu tidak lain adalah metoda ilmiah. Dansebagai produk, ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Berbagai fenomena yang dipelajari ilmu tersebut selanjutnya dijelaskan ilmu melalui pernyataan-pernyataan. Kumpulan pernyataan yang merupakan penjelasan ilmiah terdiri dari empat bentuk (The Liang Gie, 1991 : 142-143), yaitu : deskripsi, preskripsi, eksposisi pola, dan rekonstruksi historis.
1) Deskripsi
Deskripsi adalah pernyataan yang bersifat menggambarkan tentang bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal rinci lainnya dari fenomena yang dipelajari ilmu. Pernyataan dengan bentuk deskripsi terdapat antara lain dalam ilmu anatomi dan geografi.
2) Preskripsi
Preskripsi merupakan bentuk pernyataan yang bersifat preskriptif, yaitu berupa petunjuk-petunjuk atau ketentuanketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan berkenaan dengan ojkek formal ilmu. Preskripsi dapat dijumpai antara lain dalam ilmu pendidikan dan psikologi pendidikan.
3) Eksposisi Pola
Bentuk ini merangkum pernyataan-pernyataan yang memaparkan pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah. Pernyataan semacam ini dapat dijumpai antara lain pada antropologi.
4) Rekonstruksi Historis
Rekonstruksi historis merupakan pernyataan yang berusaha menggambarkan atau menceritakan sesuatu secara kronologis. Pernyataan semacam ini terdapat pada historiografi dan paleontologi.
Selain bentuk-bentuk pernyataan dalam filsafat seperti di atas, ilmu juga memiliki ragam-ragam proposisi, yaitu azas ilmiah, kaidah ilmiah, dan teori ilmiah. Ketiga ragam proposisi tersebut dijelaskan seperti berikut ini.
1) Azas ilmiah
Azas atau prinsip ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengandung kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah diamati.
2) Kaidah ilmiah
Suatu kaidah atau hukum dalam pengetahuan ilmiah adalah sebuah proposisi yang mengungkapkan keajegan atau hubungan tertib yang dapat diuji kebenarannya .
3) Teori ilmiah
Yang dimaksud dengan teori ilmiah adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan secara logis berkenaan dengan penjelasan terhadap sejumlah fenomena. Teori ilmiah merupakan unsur yang sangat penting dalam ilmu. Bobot kualitas suatu ilmu terutama ditentukan oleh teori ilmiah yang dimilikinya. Pentingnya teori ilmiah dalam illmu dapat dijelaskan dari fungsi atau kegunaannya. Fungsi teori ilmiah adalah (a) Sebagai kerangka pedoman, bagan sistematisasi, atau sistem acuan dalam menyususn data maupun pemikiran tentang data sehingga tercapai hubungan yang logis diantara aneka data. (b) Memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum dipetakan sehingga terdapat suatu orientasi. (c) Sebagai acuan dalam pengkajian suatu masalah. (d) Sebagai dasar dalam merumuskan kerangka teoritis penelitian. (e) Sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis. (f) Sebagai informasi untuk menetapkan cara pengujian hipotesis. (g) Untuk mendapatkan informasi histories dan perspektif perma-salahan yang akan diteliti. (h) Memperkaya ide-ide baru. (i) Untuk mengetahui siapa saja peneliti lain dan pengguna di bidang yang sama.

B. Ciri-ciri pokok ilmu
Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki karakteristik tertentu sehingga dapat dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Adapun ciri-ciri pokok ilmu adalah sebagi berikut.
1) Sistematisasi
Sistematisasi memiliki arti bahwa pengetahuan ilmiah tersusun sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara fungsional.
2) Keumuman (generality)
Ciri keumuman menunjuk pada kualitas pengetahuan ilmiah untuk merangkum berbagai fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep-konsep yang paling umum dalam pembahasannya.
3) Rasionalitas
Ciri rasionalitas berarti bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika.
4) Objektivitas
Ciri objektivitas ilmu menunjuk pada keharusan untuk bersikap objektif dalam mengkaji suatu kebenaran ilmiah tanpa melibatkan unsur emosi dan kesukaan atau kepentingan pribadi.
5) Verifiabilitas
Verifiabilitas berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diteliti kembali, atau diuji ulang oleh masyarakat ilmuwan.
6) Komunalitas
Ciri komunalitas ilmu mengandung arti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum (public knowledge). Itu berarti hasil penelitian yang kemudian menjadi khasanah dunia keilmuan tidak akan disimpan atau disembunyikan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
































IV. Filsafat Ilmu

A. Definisi dan Hakikat Filsafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
Robert Ackerman menyatakan, “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
Lewis White Beck menyebutkan “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.” (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
A. Cornelius Benjamin: “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines”
. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
Michael V. Berry: “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
May Brodbeck: “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
Peter Caws: “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
Stephen R. Toulmin: “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Menurut Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti : Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
Kemudian, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). Disimpulkan bahwa pertama adalah sekelompok pertanyaan pertama merupakan tinjauan ilmu secara ontologis. Dan sekelompok pertanyaan-pertanyaan kelompok kedua merupakan tinjauan ilmu secara epistemologis. Dan pertanyaanpertanyaan kelompok ketiga sebagai tinjauan ilmu secara aksiologis.
Suatu peristiwa atau kejadian pada dasarnya tidak pernah lepas dari peristiwa lain yang mendahuluinya. Demikian juga dengan timbul dan berkembangnya filsafat dan ilmu. Menurut Rinjin (1997 : 9-10), filsafat dan ilmu timbul dan berkembang karena akal budi, thauma, dan aporia.
Manusia merupakan makhluk berakal budi. Dengan akal budinya, kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya, manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know). Pada diri manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan.Bertanya adalah berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
Manusia memiliki rasa kagum (thauma) pada alam semesta dan isinya Manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnyasaja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
Manusia senantiasa menghadapi masalah. Faktor lain yang juga mendorong timbulnya filsafat dan ilmu adalah adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).

B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
1. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
2. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
3. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
4. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan.
5. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. (Agraha Suhandi: 1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
Dengan kata lain, manfaat mempelajari filsafat ilmu:
1. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.
2. Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi para mahasiswa sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
3. Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu diterapkan.

C.Substansi Filsafat Ilmu

W. Huitt (1998), dalam artikelnya yang berjudul “Measurement, Evaluation, and Research : Ways of Knowing”, menyatakan bahwa ada lima macam cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar (kebenaran) yaitu : pengalaman, intuisi, agama, filsafat, dan ilmu. Dengan cara-cara tersebut dapat diperoleh diperoleh kebenaran pengalaman atau kebenaran indera, kebenaran intuitif, kebenaran religius, kebenaran filosofis, dan kebenaran ilmiah.
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
* Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
* Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
* Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
* Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
* Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
Manusia menempuh berbagai cara agar keinginan tersebut terwujud. Berbagai tindakan untuk memperoleh pengetahuan secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu secara nonilmiah, yang mencakup : a) akal sehat, b) prasangka, c) intuisi, d) penemuan kebetulan dan cobacoba, dan e) pendapat otoritas dan pikiran kritis, serta tindakan secara ilmiah (Sumadi Suryabrata, 2000: 3). Usaha yang dilakukan secara nonilmiah menghasilkan pengetahuan (knowledge), dan bukan science. Sedangkan melalui usaha yang bersifat ilmiah menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Selanjutnya, Metoda ilmiah yang merupakan suatu prosedur sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie, memuat berbagai unsur atau komponen yang saling berhubungan. Unsur-unsur utama metoda ilmiah menurut The Liang Gie (1991 : 118) adalah pola proSedural, tata langkah, teknik, dan instrument.. Pola prosedural, antara lain terdiri dari : pengamatan, percobaan, peng-ukuran, survai, deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah, mencakup : penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik, antara lain terdiri dari : wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Aneka instrumen yang dipakai dalam metoda ilmiah antara lain : pedoman wawancara, kuesioner, timbangan, meteran, komputer.

D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
* Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
* Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
* Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.

Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.





























BAB V KESIMPULAN

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidupnya dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya.
Ilmu merupakan salah satu buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ilmu merupakan salah satu dari pengtetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakekat ilmu sebenarnya. Semuanya bersifat saling membutuhkan dan saling mengisi.






















Referensi Buku
Ginting, Paham dan Situmotrang, Syafrizal Helmi. (2008). Filsafat ilmu dan metode riset. Medan: USU Press
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Moleong, Lexy, J. (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Rinjin, Ketut. (1997) Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. Bandung : CV Kayumas.
Russel, Betrand. (2002). Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang (alih Bahasa Sigit jatmiko, dkk ) . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sihotang, Kasdin. (2009). Filsafat Manusia; Upaya Membangkitkan Humanisme. Yogyakarta: Kanisius
Soemargono, Soerjono. (1993) Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : NurCahaya.
Suriasumantri, Jujun S. (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujun S. (1996) Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S. (2005) Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
The Liang Gie. (1991) Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty.
Verhak, V dan Haryono Imam, R. (1999) Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Gramedia.
Wibisono, Koento. (1997) Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta : Universitas Terbuka

Referensi Internet
http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm”
http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm”
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
http://www.anneahira.com/ilmu/filsafat-ilmu.htm