Saturday, March 22, 2008

Sunday, March 16, 2008

Toilet Mewah




Toilet, sebuah tempat yang menyediakan pembuangan akhir dari proses metabolisme tubuh. ruang kecil yang juga terkadang menjadi sebuah tempat hadirnya inspirasi. menjadikannya sebagai sebuah tempat yang nyaman merupakan impian bagi sebagian kecil orang yang telah melampaui titik kesejahteraannya. sebagian besar masih hanya menjadikannya sebagai wadah yang tak penting.
seorang kawan sempat berujar “wajar saja tak ada perubahan di wadah ini, toiletnya aja nggak dirawat”. mungkin saja ini sekedar sebuah umpatan. namun ia bisa menjadi sebuah kritik untuk sebuah perubahan. sebuah wadah belajar dengan toilet yang tak terawat, sepertinya menjadi cerminan keterpurukan pendidikan yang dilakukan.
sementara, seorang kawan lainnya berujar “di sebuah kampung, toiletnya merupakan terpanjang di dunia, karena setiap selokan adalah toilet. selokan, bukan sungai”. ia juga mengungkapkan tentang kenyamanan untuk membuang hajat hidup orang banyak hanya dengan menutupi wajah, dengan sarung, sementara bagian bawah tetap bebas menikmati alam.
seribu rupiah yang harus dikeluarkan saat menggunakan ruang kecil. lebih mahal dibandingkan sebuah kamar kost. dalam satu hari sudah mampu menyewa kamar di hotel. inilah sebuah bisnis toilet yang selama ini semakin berkembang dan akan terus berkembang, karena konsumennya tak akan pernah usai. hanya bermodal sikat dan cairan pembersih, rupiah pun mengalir deras.
toliet menjadi sebuah cerminan atas kondisi sekitarnya. tak terawatnya toilet menggambarkan tak terawatnya lingkungan sekitar. toilet menjadi sebuah etalase yang letakknya tak pernah di depan. Untuk itu marilah kita membersihkan toilet hingga bersih. Disikat, disabun, dan di guyur pake air lebih banyak jadinya tetap fresh. Agar wangi, tambahkan bunga agar wangi….
Namun, bisa dibayangkan jika dunia ini tanpa toilet. Orang akan banyak yang semakin jatuh sakit. Akan semakin banyak orang tinggal di rumah sakit. Hidup toilet!

Baca Sindo Bareng Sahlan


Se Kamar Bareng Bapaknya Dzak1


Saturday, March 15, 2008

Dari Ahmadinejad Sampe Israel


Kos di Jalan Jaksa





Glodok Glodok, bukan Grogol



Glodok sebagai ruang isolasi warga China

Sejarah menunjukan, Glodok yang kini menjadi pusat bisnis di perkotaan ternyata bekas ruang isolasi kaum Cina. Sejak zaman sebelum Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen berkuasa, Glodok sudah didiami oleh orang Tionghoa. Namun, setelah terjadinya pemberontakan laum Tionghoa pada tahun 1740, barulah Glodok menjadi pusat perkampungan mereka. Sesudah pemberontakan itu ditumpas oleh kompeni, mereka tidak diperbolehkan lagi tinggal di dalam tembok kota. Glodok adalah perkampungan yang ditunjuk oleh kompeni sebagai kampung mereka. Sejak itulah, Glodok berubah sebagai Pecinan dan sebagai pusat perdagangan.

Ruko Tionghoa

Sebagai pecinan, tentu saja Glodok banyak dihuni warga Tionghoa. Kebanyakan selain yang tinggal di kampung sekelilingnya, warga Tionghoa bersama keluarganya bermukim di bagian lantai atas. Sedangkan di ruang bawah menjadi ruang usaha. Benarlah bahwa Ruko (Rumah Toko) yang kini bertebaran di berbagai tempat merupakan gaya hidup orang Tionghoa yang tidak suka hidup boros. Tapi, sejak beberapa waktu yang lalu sebagian dari mereka sudah meninggalkan Ruko dan memilih tinggal di perumahan real estate yang terdapat di lima wilayah kota Jakarta. Sekitar 265 orang peserta kegiatan kunjungan kampung-kampung bersejarah yang diberangkatkan dari MSJ dengan berjalan kaki melewati jalan. Kali Besar menuju jalan Patekoan (Perniagaan). Konon nama Patekoan artinya delapan buah teko/poci. Di masa Gan Djie menjabat sebagai Kapitein Cina, ia tinggal di wilayah yang sekarang bernama Patekoan ini. Kapitein Gan dan istrinya berjiwa sosial, sehingga mereka sengaja menyediakan delapan buah teko (poci) berisi teh. Angka delapan sengaja dipilih sebab mempunyai konotasi baik dalam Kebudayaan Tionghoa. Mereka yang tengah kehausan di perjalanan dipersilahkan minum air teh yang disediakan oleh Kapitein Gan itu. Pada waktu itu di daerah tersebut belum banyak yang berjualan makanan dan minuman seperti sekarang. Sehingga air teh ini sangat menolong orang yang kehausan dalam perjalanan. Akhirnya jalan tersebut dinamakan Patekoan.

Nememin Regina ke Grogol

pingginnya sih ke glodok, jalan-jalan lihat cd bajakan, kamera dan hape. di tenagah jalan, regina minta ke grogol! ngotot lagi ke grogol! waduh, reg, ngapain ke grogol, kan tujuan kita kan ke glodok. mas kita berhenti si harmoni, kita ke grogol! payah, kita kan mau glodok. oh iya lupa, katanya. kita kan ke glodok. di glodok, regina tidak jadi beli headset, tapi dia justu beli hape sony ericsion. selamat ya reg, hapenya baru

Wednesday, March 05, 2008

Dari Kebun Sirih Jadi Kebon Sirih


Dulu, katanya Kebon Sirih, Jakarta Pusat sepi. Kebon sirih berbeda. Kini hiruk pikuk dan menjadi salah satu pusat kemacetan di Ibu Kota, 79 tahun lalu tampak lengang, di kiri kanannya dipenuhi pepohonan rindang. Mungkin karena diambil fotonya pada pagi hari, yang tampak hanya sado, yang kala itu merupakan angkutan utama di Kota Batavia (kini Jakarta).

Kampung Kebon Sirih (dulu banyak pohon sirih tumbuh di sini), merupakan salah satu kampung tua di Jakarta. Dibangun pada tahun 1830 atas perintah Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang terkenal dengan sistem tanam paksanya yang membuat bencana kepada masyarakat banyak.

Ia membentuk sebuah lingkaran apa yang disebut Defensielijn Van den Bosh atau Garis Pertahanan Van den Boosh yang disebut Weltevreden. Yakni wilayah sekitar Gambir (kini Monas). Di sinilah tempat pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di Jl Kebon Sirih, terdapat kantor DPRD DKI Jakarta, yang terletak di bagian belakang dari Balai Kota, yang dibangun pada awal abad ke-20.

Kebon Sirih, yang berdekatan dengan kawasan elite Menteng, merupakan salah satu pemekaran Batavia ke arah selatan. Ujung bagian selatan Kebon Sirih, terdapat Jl Parapatan. Di sini Bung Karno membangun patung petani suami istri. Ketika terjadi Gerakan 30 September, banyak pihak yang menghujat patung ini, karena si petani menyandang bedil dipinggangnya. Maklum, menjelang G30S (September 1965), PKI dan ormas-ormasnya menuntut agar 15 juta petani dan buruh dipersenjatai sebagai angkatan ke-5. Usulan ini ditentang keras pihak ABRI yang mengakibatkan terjadinya konflik antara PKI dan AD.

Kebon Sirih terkenal dengan ratusan pengusaha kecil yang berkarya dalam industri jok. Hikayat Kebon Sirih sebagai pusat industri jok di Jakarta, dimulai tahun 1928. Tentu saja ketika itu, saat mobil belum banyak ngonol di Jakarta, para pengusaha kecil diisi membuat jok untuk delman dan sado. Pada tahun 1950-an mereka juga membuat jok untuk becak, ketika kendaraan beroda tiga ini menjadi raja jalanan di Ibukota. Kini, para perajin jok lebih banyak membuat pesanan untuk mobil. Ketika industri jok tengah berkembang, terutama di masa Pak Harto saat perusahaan mobil PT Astra menjadikan mereka sebagai anak angkat khusus dibidang pembuatan jok. Kala itu, anak-anak di sekitar Jl Kebon Sirih Timur Dalam tidak ada yang menganggur. Masih di usia belasan, mereka sudah ikut membantu orang tua atau teman.

Karena industri jok di Kebon Sirih sudah berlangsung lebih tiga perempat abad, maka pekerja jok sekarang ini merupakan generasi ketiga. Tapi keberadaan mereka menjadi terganggu ketika di daerah ini perusahaan Bimantara membangun gedung megah dan besar, hingga banyak rumah penduduk tergusur. Apabila hal ini terus terjadi dikhawatirkan salah satu kampung tua dan bersejarah di Jakarta ini akan hilang.

Nama Kebon Sirih termashur di mancanegara, karena di Jalan Jaksa yang terletak antara Jl KH Wahid Hasyim dan Kebon Sirih bertabur hotel murah meriah. Tempat berseliweran para turis (yang) berkantong cekak. Di sini juga digelar Pesta Jalan Jaksa. Cap jaksa pada jalan itu telah ada sejak sebelum pewrang dunia II. Konon, dulu jalan itu merupakan tempat pemondokan mahasiswa sekolah tinggi hukum Belanda di Jalan Merdeka Barat. (Kini Departemen Hankam). Namun, para mahasiswa itu tak mampu meraih gelar sarjana hukum (MR), cuma mampu tingkatan jaksa. Jadilah sepotong jalan sepanjang 450 meter itu disebut Jl Jaksa (sampai kini).

Monday, March 03, 2008

Jalan Jaksa

20 lebih wanita penghibur setiap malam mangkal di beberapa tempat hiburan dan hotel di Kawasan Wisata Malam Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Umumnya, para wanita penghibur itu pada umumnya mengenakan pakaian seronok, duduk-duduk di kafe mendengarkan musik sambil merokok, mencari turis untuk dijadikan teman kencan. Apalagi restoran atau kafe di Jalan Jaksa terkenal murah.

Selain wanita penghibur yang datang dari berbagai daerah, terdapat juga laki-laki gay yang mangkal mencari turis yang senang terhadap sesama jenis. "Hei boy, i will make you enjoy,” demikian kata sejumlah gay jika ada bule ganteng lewat.

Meski demikian, tidak diketahui pasti apakah wanita penghibur, gay dan lesbian yang telah mendapat mangsa itu menggunakan tempat penginapan di Jalan Jaksa (lima hotel dan delapan hostel/wisma) atau tidak.

Banyaknya turis di Jalan Jaksa dimanfaatkan wanita penghibur dan gay mencari uang dan kesenangan. Ibarat pepatah, di mana ada gula di situ ada semut, tak terkecuali wanita

penghibur juga melihat peluang mendapatkan uang dari para turis. Sama seperti Bali lah, gay dan psk di Jalan Jaksa juga sering menyebut ingin ke Bali. “Uangnya lebih banyak ya mas di sana,” ungkap gay suatu saat.

Umumnya, warga Jakarta yang tidak mengenal Jalan Jaksa dikenal sebagai kumpulnya para turis “sandal jepit” atau lebih dikenal bagpackers, terletak cukup strategis sebagai jalan tembus dari Jalan kebon Sirih ke Wahid Hasyim. Dari jalan ini pula, para turis itu dapat menuju objek wisata seperti Museum Nasional dan Tugu Monumen Nasional dan sarana umum yaitu Stasiun Gambir dengan jarak relatif dekat.

Jalan Jaksa juga menjadi aset pariwisata Pemerintah DKI Jakarta. Belum lagi, dimuat dalam buku-buku panduan wisata di luar negeri. Inilah cerita tentang sebuah kawasan yang pamornya tersebar di seluruh dunia.

Nama Jalan Jaksa diambil dari banyaknya murid Rechts Hogeschool, semacam Sekolah Hukum di masa Hindia-Belanda, yang tinggal di kawasan ini. Nah, kebanyakan para murid tersebut bekerja sebagai jaksa di pengadilan kala itu. Lambat laun, kawasan ini pun dikenal sebagai Jalan Jaksa.

Pamor Jalan Jaksa sebagai daerah yang menyediakan penginapan murah bagi para turis asing, baru dimulai tahun 60-an. Adalah Lawalata, seorang pengembara yang telah tiga kali mengelilingi dunia, namun kini pensiun dan membuka sebuah penginapan di kawasan ini. Dialah orang pertama yang menginap di Jalan Jaksa, dengan menempati rumah warga sebagai hotel. Awalnya warga merasa keberatan lantaran tidak bisa menyediakan fasilitas layaknya sebuah hotel berbintang. Tetapi, Lawalata tidak masalah. Ia hanya membutuhkan tempat menginap untuk tidur dan menaruh barang miliknya.

Saat waktu kunjungannya selesai, ia terkesan dengan keramah tamahan warga dan biaya hidup yang cukup murah. Lawalata pun kemudian menginformasikan tentang Jalan Jaksa di kalangan turis asing yang bepergian ke Indonesia tanpa terikat dengan biro perjalanan.

Jalan ini menjadi tujuan setiap kali para turis berjiwa pengembara itu singgah di Jakarta. Uniknya, informasi tersebut pertama kali berlangsung dari mulut ke mulut, terutama dari mereka yang telah mengunjunginya dan kembali ke negara asal.

Kemashuran Jalan Jaksa memang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, bila seorang turis yang kurang fasih berbahasa Indonesia ingin menuju jalan ini. Maka, cukup mengatakan “ Tolong ke Jalan Jaksa” kepada supir taksi, langsung si supir mengerti dan menginjak gas melaju ke jalan yang terletak di kawasan Kebon Sirih, Jakarta pusat ini.

Bagi yang belum pernah ke kawasan ini, jangan membayangkan luasnya kawasan ini. Jalan Jaksa hanya sepanjang 2 atau 3 kilometer saja. Masih kalah besar dan panjang dengan Jalan Wahid Hasyim di sebelah selatannya atau Jalan Kebon Sirih di ujung barat.

Lantas apa yang membuatnya menarik di kalangan turis. Sepanjang jalan akan banyak menemui bar, restoran, rumah makan, cafe dan beberapa penginapan dari tingkat losmen sampai hotel. Kebanyakan dibuka dengan standar barat, yaitu ada minuman beralkohol, karaoke, hiburan musik serta makanan bercita rasa lidah turis.

Mereka juga banyak berseliweran di salah satu hotel atau cafe di kawasan ini dengan penampilan cukup santai, hanya mengenakan kaos bahkan sandal jepit saja. Hal seperti jangan harap akan ditemui di Jalan Wahid Hasyim atau Kebon Sirih Raya.

Interaksi warga dengan turis asing pun terjalin cukup baik, tanpa memandang unsur etnik atau strata sosial. Buktinya, hampir tidak ada kejadian yang menceritakan terjadi perseteruan dan konflik antara warga dengan turis. Mereka justru saling mengisi satu sama lain. Hal ini terlihat saat perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus setiap tahunnya. Warga yang bertindak sebagai pelaksana kegiatan, selalu mengajak turis yang sedang menginap untuk ikut dalam acara perayaan tersebut. Dan para turis pun menikmatinya, sehingga muncul kesan seolah-olah sedang berada di negerinya sendiri.

Sebagai pilihan lokasi menginap, Jalan Jaksa tepat kiranya. Bayangkan, sebuah penginapan yang menyediakan kamar dengan dilengkapi kipas angin hanya sebesar 40 ribu rupiah saja. Dengan harga tersebut, bisa dijamin si turis tidak akan kehabisan uang untuk melanjutkan perjalanan bertamasya keliling daerah di Indonesia.

Sebenarnya ada persepsi salah tentang turis yang menginap di Jalan Jaksa. Bagi sebagian warga Jakarta, turis tersebut dianggap sebagai “turis miskin” lantaran tidak mampu menyewa sebuah kamar mewah hotel berbintang. Padahal, mereka memilih menginap di

Jalan Jaksa agar bisa berinteraksi dengan warga setempat. Selain itu, biaya menginap yang murah membuat turis dapat menghemat biaya guna bepergian ke daerah-daerah di Indonesia. Maka, jangan heran bila mendengar seorang turis yang menginap di Jalan Jaksa, baru saja atau akan mengunjungi Sumatra, Yogjakarta, bahkan Sulawesi. Sebuah hal yang jarang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Tetapi, suasana Jalan Jaksa belakangan tahun ini berbeda daripada sekitar tahun 1998. Peristiwa pengeboman di beberapa daerah di Indonesia, tindakan teroris sampai travel-warning beberapa negara terhadap Indonesia, membuat lenggang situasi Jalan Jaksa. Padahal waktu sebelumnya, turis cukup ramai menginap. Kala itu, pemandangan turis tidur di trotoar merupakan hal yang wajar karena penuhnya seluruh penginapan di Jalan Jaksa ini.

Namun bukan berarti Jalan Jaksa telah mati dan ditinggalkan oleh para bagpackers. Beberapa turis tetap memilih Jalan Jaksa sebagai pilihan menginap. Alasannya cukup gampang, mereka percaya dengan keramah tamahan warga. Hal ini yang mampu meluluhkan rasa ngeri dalam hati turis. Sehingga, Jalan Jaksa masih membuka diri kepada setiap wisatawan asing, hingga saat ini.