Monday, March 03, 2008

Jalan Jaksa

20 lebih wanita penghibur setiap malam mangkal di beberapa tempat hiburan dan hotel di Kawasan Wisata Malam Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Umumnya, para wanita penghibur itu pada umumnya mengenakan pakaian seronok, duduk-duduk di kafe mendengarkan musik sambil merokok, mencari turis untuk dijadikan teman kencan. Apalagi restoran atau kafe di Jalan Jaksa terkenal murah.

Selain wanita penghibur yang datang dari berbagai daerah, terdapat juga laki-laki gay yang mangkal mencari turis yang senang terhadap sesama jenis. "Hei boy, i will make you enjoy,” demikian kata sejumlah gay jika ada bule ganteng lewat.

Meski demikian, tidak diketahui pasti apakah wanita penghibur, gay dan lesbian yang telah mendapat mangsa itu menggunakan tempat penginapan di Jalan Jaksa (lima hotel dan delapan hostel/wisma) atau tidak.

Banyaknya turis di Jalan Jaksa dimanfaatkan wanita penghibur dan gay mencari uang dan kesenangan. Ibarat pepatah, di mana ada gula di situ ada semut, tak terkecuali wanita

penghibur juga melihat peluang mendapatkan uang dari para turis. Sama seperti Bali lah, gay dan psk di Jalan Jaksa juga sering menyebut ingin ke Bali. “Uangnya lebih banyak ya mas di sana,” ungkap gay suatu saat.

Umumnya, warga Jakarta yang tidak mengenal Jalan Jaksa dikenal sebagai kumpulnya para turis “sandal jepit” atau lebih dikenal bagpackers, terletak cukup strategis sebagai jalan tembus dari Jalan kebon Sirih ke Wahid Hasyim. Dari jalan ini pula, para turis itu dapat menuju objek wisata seperti Museum Nasional dan Tugu Monumen Nasional dan sarana umum yaitu Stasiun Gambir dengan jarak relatif dekat.

Jalan Jaksa juga menjadi aset pariwisata Pemerintah DKI Jakarta. Belum lagi, dimuat dalam buku-buku panduan wisata di luar negeri. Inilah cerita tentang sebuah kawasan yang pamornya tersebar di seluruh dunia.

Nama Jalan Jaksa diambil dari banyaknya murid Rechts Hogeschool, semacam Sekolah Hukum di masa Hindia-Belanda, yang tinggal di kawasan ini. Nah, kebanyakan para murid tersebut bekerja sebagai jaksa di pengadilan kala itu. Lambat laun, kawasan ini pun dikenal sebagai Jalan Jaksa.

Pamor Jalan Jaksa sebagai daerah yang menyediakan penginapan murah bagi para turis asing, baru dimulai tahun 60-an. Adalah Lawalata, seorang pengembara yang telah tiga kali mengelilingi dunia, namun kini pensiun dan membuka sebuah penginapan di kawasan ini. Dialah orang pertama yang menginap di Jalan Jaksa, dengan menempati rumah warga sebagai hotel. Awalnya warga merasa keberatan lantaran tidak bisa menyediakan fasilitas layaknya sebuah hotel berbintang. Tetapi, Lawalata tidak masalah. Ia hanya membutuhkan tempat menginap untuk tidur dan menaruh barang miliknya.

Saat waktu kunjungannya selesai, ia terkesan dengan keramah tamahan warga dan biaya hidup yang cukup murah. Lawalata pun kemudian menginformasikan tentang Jalan Jaksa di kalangan turis asing yang bepergian ke Indonesia tanpa terikat dengan biro perjalanan.

Jalan ini menjadi tujuan setiap kali para turis berjiwa pengembara itu singgah di Jakarta. Uniknya, informasi tersebut pertama kali berlangsung dari mulut ke mulut, terutama dari mereka yang telah mengunjunginya dan kembali ke negara asal.

Kemashuran Jalan Jaksa memang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, bila seorang turis yang kurang fasih berbahasa Indonesia ingin menuju jalan ini. Maka, cukup mengatakan “ Tolong ke Jalan Jaksa” kepada supir taksi, langsung si supir mengerti dan menginjak gas melaju ke jalan yang terletak di kawasan Kebon Sirih, Jakarta pusat ini.

Bagi yang belum pernah ke kawasan ini, jangan membayangkan luasnya kawasan ini. Jalan Jaksa hanya sepanjang 2 atau 3 kilometer saja. Masih kalah besar dan panjang dengan Jalan Wahid Hasyim di sebelah selatannya atau Jalan Kebon Sirih di ujung barat.

Lantas apa yang membuatnya menarik di kalangan turis. Sepanjang jalan akan banyak menemui bar, restoran, rumah makan, cafe dan beberapa penginapan dari tingkat losmen sampai hotel. Kebanyakan dibuka dengan standar barat, yaitu ada minuman beralkohol, karaoke, hiburan musik serta makanan bercita rasa lidah turis.

Mereka juga banyak berseliweran di salah satu hotel atau cafe di kawasan ini dengan penampilan cukup santai, hanya mengenakan kaos bahkan sandal jepit saja. Hal seperti jangan harap akan ditemui di Jalan Wahid Hasyim atau Kebon Sirih Raya.

Interaksi warga dengan turis asing pun terjalin cukup baik, tanpa memandang unsur etnik atau strata sosial. Buktinya, hampir tidak ada kejadian yang menceritakan terjadi perseteruan dan konflik antara warga dengan turis. Mereka justru saling mengisi satu sama lain. Hal ini terlihat saat perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus setiap tahunnya. Warga yang bertindak sebagai pelaksana kegiatan, selalu mengajak turis yang sedang menginap untuk ikut dalam acara perayaan tersebut. Dan para turis pun menikmatinya, sehingga muncul kesan seolah-olah sedang berada di negerinya sendiri.

Sebagai pilihan lokasi menginap, Jalan Jaksa tepat kiranya. Bayangkan, sebuah penginapan yang menyediakan kamar dengan dilengkapi kipas angin hanya sebesar 40 ribu rupiah saja. Dengan harga tersebut, bisa dijamin si turis tidak akan kehabisan uang untuk melanjutkan perjalanan bertamasya keliling daerah di Indonesia.

Sebenarnya ada persepsi salah tentang turis yang menginap di Jalan Jaksa. Bagi sebagian warga Jakarta, turis tersebut dianggap sebagai “turis miskin” lantaran tidak mampu menyewa sebuah kamar mewah hotel berbintang. Padahal, mereka memilih menginap di

Jalan Jaksa agar bisa berinteraksi dengan warga setempat. Selain itu, biaya menginap yang murah membuat turis dapat menghemat biaya guna bepergian ke daerah-daerah di Indonesia. Maka, jangan heran bila mendengar seorang turis yang menginap di Jalan Jaksa, baru saja atau akan mengunjungi Sumatra, Yogjakarta, bahkan Sulawesi. Sebuah hal yang jarang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Tetapi, suasana Jalan Jaksa belakangan tahun ini berbeda daripada sekitar tahun 1998. Peristiwa pengeboman di beberapa daerah di Indonesia, tindakan teroris sampai travel-warning beberapa negara terhadap Indonesia, membuat lenggang situasi Jalan Jaksa. Padahal waktu sebelumnya, turis cukup ramai menginap. Kala itu, pemandangan turis tidur di trotoar merupakan hal yang wajar karena penuhnya seluruh penginapan di Jalan Jaksa ini.

Namun bukan berarti Jalan Jaksa telah mati dan ditinggalkan oleh para bagpackers. Beberapa turis tetap memilih Jalan Jaksa sebagai pilihan menginap. Alasannya cukup gampang, mereka percaya dengan keramah tamahan warga. Hal ini yang mampu meluluhkan rasa ngeri dalam hati turis. Sehingga, Jalan Jaksa masih membuka diri kepada setiap wisatawan asing, hingga saat ini.

1 comment:

Anonymous said...

mas, jika mau ke jakarta, bagusnya stay di jalan jaksa atau cikini?
antara dua ini, yang mana lagi dekat dengan tempat2 wisata di jakarta?