Sunday, August 01, 2010

Jaminan dari Yang Maha Menjamin

Abu Hurairah meriwayatkan penuturan Rasulullah SAW tentang seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil. Suatu saat, lelaki Bani Israil tersebut meminta salah seorang kawannya untuk meminjamkan uang kepadanya sebanyak seribu dinar.

Orang yang akan dipinjaminya berkata, "Datangkan terlebih dahulu beberapa saksi. Kalau ada, saya akan mengabulkan permohonanmu."
Lelaki itu menjawab, "Cukup Allah yang menjadi saksi."
"Atau, datangkanlah yang dapat menjadi penjamin," pinta orang yang akan meminjamkannya itu.
"Cukup Allah sebagai penjaminnya," jawab lelaki itu lagi.
"Kalau begitu," kata yang akan meminjamkan, "engkau benar dan bisa dipercaya." Si peminjam tampaknya meyakini kepribadian lelaki itu, dan lelaki tersebut pun akhirnya mendapatkan pinjaman dengan tempo pengembalian yang waktunya telah ditentukan.

Setelah lama berselang, lelaki Bani Israil itu, yang kini telah berada di tempatnya yang baru, hendak pergi menyeberangi lautan dengan tujuan untuk membayar utangnya. Sayangnya, ia tak mendapati satu pun kendaraan (kapal) yang akan berlayar ke daerah yang dimaksud.

Kemudian ia mengambil sepotong kayu dan melubanginya. Dalam lubang kayu itu, ia letakkan uang sebanyak seribu dinar dan juga menaruh sepucuk surat untuk si pemilik uang. Setelah uang dan surat dimasukkan, ia ratakan kembali permukaan kayu itu agar tak terlihat ada lubang padanya.

Lelaki itu lalu pergi ke sebuah tepian laut. Sesampainya di sana, ia berkata, "Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku telah meminjam uang sebanyak seribu dinar dari si Fulan. la meminta kepadaku agar aku menghadirkan penjamin dan aku katakan kepadanya, 'Cukup Allah sebagai penjamin.' Dan ia pun menerima Engkau sebagai penjaminnya.
la juga meminta kepadaku agar menghadirkan saksi. Aku katakan kepadanya bahwa Engkau cukup sebagai saksinya dan ia pun menerimanya.
Sejak tadi aku berupaya mencari kendaraan yang dapat membawaku untuk menyerahkan uang ini kepadanya. Namun, sebagaimana Engkau ketahui dengan pasti, tak kunjung datang satu kendaraan pun. Sekarang aku menitipkan kayu yang berisi uang miliknya ini kepada-M u."

Setelah mengatakan itu, ia melemparkan kayu tersebut ke laut hingga hanyut di atas air. Sejenak ia memandang, kemudian ia pun berpaling dari pantai laut tersebut.
Waktu demi waktu, ia tetap menunggu datangnya kendaraan yang akan ia tumpangi untuk pulang ke tempat tinggalnya.

Sementara itu di seberang lautan sana, laki-laki yang dulu mengutangkan uang kepadanya sedang menunggu kendaraan yang diharapnya membawa titipan piutangnya itu, karena waktu pembayaran piutangnya sudah jatuh. Tiba-tiba, di hadapannya, yang kala itu berada di sebuah pantai, muncul sepotong kayu. Maka ia pun mengambilnya untuk dijadikannya sebagai kayu bakar.
Ketika ia membelah kayu tersebut, ternyata di dalamnya ada uang sebanyak seribu dinar dan sepucuk surat. la pun menyimpan uang tersebut dan membaca isi suratnya.

Karena penasaran, suatu saat si pemilik piutang datang ke tempat lelaki Bani Israil yang dulu berutang itu sambil membawa uang seribu dinar yang diambilnya dari kayu itu. la berkata, "Apakah engkau mengirimkan sesuatu untukku?"
Lelaki tersebut menjawab, "Aku beri tahu kepadamu, aku tak menemukan satu pun kendaraan yang dapat aku tumpangi ataupun membawa titipan. Maka, aku mengirimnya lewat sebuah kayu."

Si pemilik piutang berkata, "Sesungguhnya Allah telah menunaikan kewajibanmu melalui kayu itu."
Maka pemilik utang pun pulang sambil membawa uang seribu dinar itu.
http://www.madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=2&var=detail&id=273

Kisah Sufi Penyayang Binatang

Mungkin sulit sekali mencari penyayang binatang semacamSyekh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau adalah tokoh sufi besar pendiri tarekat Rifa’iyah, sebuah ordo sufi yang memiliki banyak pengikut, terutama di daratan Afrika Utara.

Konon, bila ada nyamuk hinggap dan menggigitnya, beliau tidak pernah mengusirnya. Bila ada orang hendak mengusir nyamuk yang menggigit tubuh beliau itu, beliau justru melarangnya.

“Biarkan nyamuk ini minum dari darah yang telah dijadikan sebagai bagian rejekinya oleh Allah,” kata beliau.

Bila ada belalang hinggap di pakaiannya saat sedang berjalan di bawah terik matahari, maka beliau mencari tempat yang teduh. Beliau duduk berdiam diri di situ sampai belalang itu pergi sendiri. “ Belalang ini ingin berteduh dengan bantuan kita,” katanya.

Konon pernah ada seekor kucing tidur di atas lengan baju miliknya. Beliau tidak sedikitpun mengganggunya sampai kucing itu bangun sendiri dan pergi. Ketika waktu salat tiba, Syekh ar-Rifa’I tetap tidak mau menarik lengan bajunya. Beliau malah menggunting lengan bajunya itu, lalu pergi salat. Setelah kucing itu bangun dan pergi, beliau menjahit kembali lengan bajunya itu. Subhanallah!

Suatu waktu, Syekh ar-Rifa’I pernah mendapati seekor anjing dengan tubuh nyaris hancur penuh kudis. Anjing itu diusir penduduk karena tubuhnya betul-betul menjijikkan. Maka, Syekh mengantarkannya ke sebuah gurun tak berpenghuni. Di tempat itu, beliau membuatkan sebuah kandang yang teduh untuk anjing tersebut. Lalu beliau meminyaki tubuhnya, menyediakan makan dan minumnya, juga menggosok kudisnya dengan sebuah kain. Setelah anjing itu sembuh, beliau membawakan air hangat, lalu memandikannya.
http://www.madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=2&var=detail&id=281

Akhir Hayat Para Pengkhianat

Setelah peristiwa pengusiran Yahudi Bani Qainuqa’ dan pembunuhan Ka’ab bin Asyraf pasca perang Badar, Yahudi Bani Nadhir ketakutan. Mereka mengambil sikap diam. Namun begitu melihat kekalahan umat Islam pada perang Uhud, mereka mulai berani menyatakan permusuhan dan pengkhianatan. Di antara bentuk pengkhianatan mereka adalah menjalin hubungan dengan orang-orang munafik dan kaum musyrikin Makkah secara sembunyi-sembunyi.

Ini bukan bentuk pengkhianatan kecil. Di antara poin penting Piagam adalah dalam rangka menyelamatkan Madinah, siapa pun termasuk Yahudi, tak boleh menjalin kerja sama dengan kafir Quraisy.

Meski sudah mengetahui pengkhianatan itu, Rasulullah saw berusaha menahan diri. Namun Yahudi Bani Nadhir semakin berani. Khususnya setelah peristiwa Raji’ dan Bi’ru Ma’unah yang menewaskan puluhan kaum Muslimin. Puncak pengkhianatan mereka sampai pada rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw. Niat jahat itu benar-benar mereka rencanakan secara matang.

Suatu hari Rasulullah saw bersama beberapa orang sahabatnya mendatangi mereka untuk meminta bantuan membayar diyat dua orang Bani Kilab yang telah dibunuh oleh Amr bin Umayyah adh-Dhamri secara tak sengaja.

Seperti dituturkan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, Rasulullah saw dan beberapa sahabatnya dipersilakan menunggu di suatu tempat. “Kami akan mematuhinya, wahai Abul Qasim. Duduklah di sini sampai kami dapat memenuhi janji,” ujar salah seorang dari mereka.

Rasulullah saw bersama Abu Bakar, Umar, Ali dan beberapa orang sahabat lainnya duduk menunggu. Sementara itu, orang-orang Yahudi mempersiapkan sebuah batu besar untuk digelindingkan ke arah Rasulullah saw.

Allah tidak akan membiarkan Nabi-Nya celaka. Jibril pun turun dari sisi Rabbul Alamin mengabarkan kepada Rasulullah saw tentang rencana jahat orang-orang Yahudi Bani Nadhir tersebut.

Rasulullah saw segera meninggalkan tempat duduknya tanpa diketahui oleh siapa pun. Para sahabat segera menyusul kembali ke Madinah. Beliau kemudian memberi tahu rencana yang akan dilakukan oleh orang-orang Yahudi.

Tidak lama kemudian, Rasulullah saw mengutus Muhammad bin Maslamah kepada Bani Nadhir untuk mengatakan kepada mereka, “Keluarlah dari Madinah. Janganlah hidup berdekatan denganku. Aku beri waktu sepuluh hari. Jika setelah itu aku melihat di antara kalian ada yang berada di Madinah, akan aku penggal batang lehernya!”

Tidak ada pilihan lain bagi orang-orang Yahudi bani Nadhir kecuali harus keluar dari Madinah. Mereka pun bersiap-siap untuk berangkat. Namun, gembong munafik, Abdullah bin Ubay, mengirimkan utusan seraya berkata, “Kalian hendaklah tetap tinggal di sini dengan senang hati. Janganlah keluar dari tempat tinggal kalian. Aku akan membantu kalian dengan dua ribu prajurit yang siap bertempur dalam benteng kalian. Mereka siap mati membela kalian. Jika kalian benar-benar diusir kami pasti keluar bersama kalian dan kami selamanya tidak akan taat (tunduk) kepada siapa pun juga yang hendak (menyusahkan kalian); dan jika kalian diperangi, kami pasti akan membantu kalian, dan kalian juga akan dibantu oleh Bani Quraizhah dan sekutu-sekutu mereka dari Ghathfan.”

Atas dorongan orang-orang munafik itu, orang-orang Yahudi mulai percaya lagi terhadap kekuatan mereka dan mengambill keputusan untuk melakukan perlawanan. Pemimpin mereka, Huyay bin Akhthab sangat antusias. Ia mengirimkan utusan kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan keputusan, “Kami tak akan keluar dari tempat tinggal kami. Silakan bertindak sesuka Anda!”

Kondisi demikian sulit bagi kaum Muslimin. Berhadapan dengan musuh dalam kondisi yang sulit, sangat tidak menguntungkan. Permusuhan orang-orang Arab terhadap mereka begitu besar, dan mereka banyak melakukan pembunuhan terhadap utusan-utusan kaum Muslimin, seperti pada peristiwa Bi’ru Ma’unah dan Raji’. Di samping itu orang-orang Yahudi Bani Nadhir masih memiliki kekuatan yang cukup, sehingga kemungkinan untuk menyerah sangat kecil. Jika terjadi peperangan dengan mereka, pasti penuh dengan hambatan.

Namun di sisi lain, setelah terjadinya peristiwa Bi’ru Ma’unah dan peristiwa sebelumnya, membuat kaum Muslimin semakin peka terhadap berbagai tindak kejahatan, pembunuhan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh kaum musyrikin, baik secara berkelompok maupun perorangan. Hal ini semakin memompa semangat mereka untuk melancarkan tindakan pembalasan terhadap para pelakunya. Kaum Muslimin bertekad memerangi Bani Nadhir setelah mereka berniat membunuh Rasulullah saw, apa pun risikonya.

Begitu mendengar jawaban yang disampaikan oleh Huyay bin Akhtab, Rasulullah saw bertakbir. Para sahabat pun ikut bertakbir. Rasulullah saw pun segera mempersiapkan pasukan. Ketika itu, urusan Madinah diserahkan kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Bendera dibawa oleh Ali bin Abu Thalib. Setelah tiba di tempat Bani Nadhir, beliau memerintahkan untuk mengepung mereka.

Bani Nadhir bersembunyi dalam benteng-benteng mereka sambil melempari kaum Muslimin dengan anak panah dan batu. Dalam hal ini, keberadaan kebun kurma sangat membantu orang-orang Yahudi. Rasulullah saw memerintahkan agar membabat habis dan membakar kebun kurma tersebut. Dalam hal ini Allah menurunkan ayat, “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir ) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas akarnya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah,” (QS al-Hasyr: 5).

Sementara itu orang Yahudi berperang sendirian. Mereka ditinggalkan Bani Quraizhah, dan dikhianati Abdullah bin Ubay dan sekutu-sekutunya dari Ghathfan. Tak seorang pun yang memberikan bantuan kepada mereka. Karena itu, Allah SWT mengumpamakan mereka seperti syaithan.

Allah Ta’ala berfirman, “Bujukan orang-orang munafik itu seperti (bujukan) syaithan ketika dia berkata kepada manusia,’Kafirlah kamu, Lalu, tatkala manusia itu telah kafir ia berkata,’Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu’,” (QS al-Hasyr: 16).

Pengepungan berlangsung selama enam hari. Karena tak kunjung mendapat bantuan dari Abdullah bin Ubay dan sekutunya, akhirnya Bani Nadhir menyerah dan menyatakan diri keluar dari Madinah. Rasulullah saw memperbolehkan mereka keluar membawa semua miliknya yang dapat diangkut, kecuali senjata.

Bani Nadhir pun pergi membawa harta mereka kecuali senjata. Mereka menghancurkan rumah-rumah agar dapat membawa pintu-pintu dan jendela-jendela. Bahkan sebagian mereka ada yang membawa tiang-tiang penopang. Mereka juga membawa istri dan anak. Semuanya diangkut dengan enam ratus unta.

Mayoritas Bani Nadhir dan juga pimpinan mereka seperti Huyay bin Akhthab dan Salam bin Abul Haqiq berangkat menuju Khaibar; dan sebagian lagi berangkat ke Syam. Sementara yang masuk Islam hanya dua orang, yaitu Yamin bin Amru dan Abu Sa’d bin Wahb. Keduanya mendapatkan hartanya.

Rasulullah saw menyita senjata, tanah, rumah, dan harta benda mereka. Senjata yang didapatkan sebanyak lima puluh perisai, lima puluh topi baja,dan tiga ratus empat puluh pedang.

Semua harta Bani Nadhir menjadi milik kaum Muslimin. Rasulullah saw mengambil seperlimanya sesuai dengan ketentuan pembagian harta rampasan perang. Sementara sisa senjata dan kuda untuk perlengkapan fisabilillah. Kaum Muslimin dari Anshar tidak keberatan dengan kebijakan Rasulullah saw. Karena hal itu berarti juga meringankan beban mereka. Selama ini kaum Muhajirin menetap di tempat tinggal kaum Anshar.

Perang Bani Nadhir terjadi pada bulan Rabi’ul Awal tahun 4 H atau Agustus tahun 625 M. Berkaitan dengan perang ini, Allah menurunkan surat al-Hasyr secara keseluruhan. Dalam surat tersebut, Allah memaparkan pengusiran orang-orang Yahudi, mengungkap kedok orang-orang munafik, menjelaskan hukum yang bertalian dengan fa’i (harta rampasan perang yang didapat tidak melalui perang fisik), memuji kaum Mujahirin dan Anshar, menjelaskan tentang bolehnya menebang dan membakar pohon di daerah musuh demi kemaslahatan perang, dan bahwasanya hal itu tidak termasuk membuat kerusakan di muka bumi, mewasiatkan kepada kaum mukmin untuk tetap komitmen terhadap ketakwaan dan melakukan persiapan untuk akhirat. Kemudian ditutup dengan memuji diri-Nya dan menjelaskan nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Karenanya, tentang surat al-Hasyr ini, Ibnu Abbas berkata, ”Katakanlah, surat ini adalah surat an-Nadhir,” (Ibnu Hisyam, II/190-192, Zaadul Maad II, 71).

Dengan demikian, berakhirlah riwayat Bani Nadhir di bumi Madinah.

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.

"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi." jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang ....... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel.

"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon apel.

Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi denganku." kata pohon apel.

"Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar ?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf, anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."

"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu." jawab anak lelaki itu.

"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat." kata pohon apel.

"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu." Jawab anak lelaki itu.

"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini." kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang." Kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."

Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang manusia. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara manusia memperlakukan orang tua.
http://www.madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=2&var=detail&id=285

Perang Mu’tah; Heroik, 3.000 VS 200.000

PERTEMPURAN paling heroik dan dahsyat yang dialami umat Islam di era awal perkembangan Islam adalah saat mereka yang hanya berkekuatan 3000 orang melawan pasukan terkuat di muka bumi saat itu, Pasukan Romawi dengan kaisarnya Heraclius yang membawa pasukan sebanyak 200.000. Pasukan super besar tersebut merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab sekitar dataran Syam, jajahan Romawi. Perang terjadi di daerah Mu’tah –sehingga sejarawan menyebutnya perang Mu’tah- (sekitar yordania sekarang), pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 8 H atau tahun 629 M.



Latar Belakang

Penyebab perang Mu’tah ini bermula ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam mengirim utusan bernama al-Harits bin Umair al-‘Azdi yang akan dikirim ke penguasa Bashra. Di tengah perjalanan, utusan itu ditangkap Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani dari bani Gasshaniyah (daerah jajahan romawi) dan dibawa ke hadapan kaisar Romawi Heraclius. Setelah itu kepalanya dipenggal. Pelecehan dan pembunuhan utusan negara termasuk menyalahi aturan politik dunia. Membunuh utusan sama saja ajakan untuk berperang. Hal inilah yang membuat beliau marah.

Mendengar utusan damainya dibunuh, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat sedih. Setelah sebelumnya berunding dengan para Sahabat, lalu diutuslah pasukan muslimin untuk berangkat ke daerah Syam. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sadar melawan penguasa Bushra berarti juga melawan pasukan Romawi yang notabene adalah pasukan terbesar dan terkuat di muka bumi ketika itu. Namun ini harus dilakukan karena bisa saja suatu saat pasukan lawan akan menyerang Madinah. Kelak pertempuran ini adalah awal dari pertempuran Arab - Bizantium.

Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata “Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, bila ia gugur komando dipegang oleh Jakfar bin Abu Thalib, bila gugur pula panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah –saat itu beliau meneteskan air mata- selanjutnya bendera itu dipegang oleh seorang ‘pedang Allah’ dan Akhirnya Allah Subhânahu wata‘âlâ memberikan kemenangan. (HR. al-Bukhari)



Peperangan yang Sengit

Kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Musuh pun mendengar keberangkatan mereka. Dipersiapkanlah pasukan super besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraclius mengerahkan lebih dari 100.000 tentara Romawi sedangkan Syurahbil bin ‘Amr mengerahkan 100.000 tentara yang terdiri dari kabilah Lakham, Juzdan, Qain dan Bahra‘. Kedua pasukan bergabung.

Mendengar kekuatan musuh yang begitu besar, kaum Muslimin berhenti selama dua malam di daerah bernama Mu’an guna merundingkan apa langkah yang akan diambil. Beberapa orang berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi, atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.” Tetapi Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Bahkan ia mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:

“Demi Allah Subhânahu wata‘âlâ, sesungguhnya apa yang kalian tidak sukai ini adalah sesuatu yang kalian keluar mencarinya, yaitu syahid (gugur di medan perang). Kita tidak berperang karena jumlah pasukan atau besarnya kekuatan. Kita berjuang semata-mata untuk agama ini yang Allah Subhânahu wata‘âlâ telah memuliakan kita dengannya. Majulah! Hanya ada salah satu dari dua kebaikan; menang atau gugur (syahid) di medan perang.” Lalu mereka mengatakan, “ Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”

Terjadilah perang di daerah Mu’tah (sekitar Yordania sekarang). Perang dimulai. Komandan pasukan, Zaid bin Haritsah bertempur heroik, membabat pedangnya kesana kemari, menghabisi pasukan Romawi. Perlawanannya harus terhenti setelah ia tersungkur dari kudanya karena kudanya berhasil di ditombak. Zaid gugur setelah ditebas pedang lawan.

Lalu komandan perang dipegang Jakfar bin Abu Thalib. Jakfar bertempur dengan gagah berani sambil memegang bendera pasukan. Tiba-tiba tangan kirinya putus tertebas pedang musuh. Lalu bendera dipegang tangan kanannya. Namun tangan kanannya pun ditebas. Dalam kondisi demikian, semangat beliau tidak surut, ia tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar Radhiyallâhu ‘anhu, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90 luka di bagian tubuh depan beliau akibat tusukan pedang dan anak panah.

Selanjutnya komando pasukan diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Namun nasibnya pun sama, gugur sebagai syuhada. Tsabit bin Arqam Radhiyallâhu ‘anhu mengambil bendera yang tidak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu yang terkenal sebagai seorang yang punya strategi perang yang handal. Ini adalah peperangan pertamanya, karena belum lama dia masuk Islam.

Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu sangat sadar, tidaklah mungkin menandingi pasukan sebesar pasukan Romawi tanpa siasat yang jitu. Ia lalu mengatur strategi, ditebarkan rasa takut ke diri musuh dengan selalu formasi pasukan setiap hari. Pasukan di barisan depan ditukar dibelakang, dan yang dibelakang berada didepan. Pasukan sayap kanan berganti posisi ke kiri begitupun sebaliknya. Tujuannya adalah agar pasukan romawi mengira pasukan muslimin mendapat bantuan tambahan pasukan baru.

Khalid bin Walid memerintahkan beberapa kelompok prajurit kaum muslimin pada pagi harinya agar berjalan dari arah kejauhan menuju medan perang dengan menarik pelepah-pelepah pohon sehingga dari kejauhan terlihat seperti pasukan bantuan yg datang dengan membuat debu-debu berterbangan. Pasukan musuh yg menyaksikan peristiwa tersebut mengira bahwa pasukan muslim benar-benar mendapatkan bala bantuan. Mereka berpikir, bahwa kemarin dengan 3000 orang pasukan saja merasa kewalahan, apalagi jika datang pasukan bantuan. Karena itu, pasukan musuh merasa takut dan akhirnya mengundurkan diri dari medan pertempuran. Pasukan Islam lalu kembali ke Madinah, mereka tidak mengejar pasukan Romawi yang lari, karena dengan mundurnya pasukan Romawi berarti Islam sudah menang.


Menang atau Imbang

Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa pertempuran ini berakhir imbang. Hal karena kedua belah pasukan sama-sama menarik mundur pasukannya yang lebih dahulu dilakukan oleh Romawi. Sedangkan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam pertempuran ini kemenangan berada di tangan Muslim.

Sebenarnya tanpa ada justifikasi kemenanganpun akan diketahui ada dipihak siapa. Keberanian pasukan yang hanya berjumlah 3.000 dengan gagah berani menghadapi dan dapat mengimbangi pasukan yang sangat besar dan bersenjata lebih canggih dan lengkap cukup menjadi bukti. Bahkan jika menghitung jumlah korban dalam perang itu siapapun akan langsung mengatakan bahwa umat islam menang. Mengingat korban dari pihak muslim hanya 12 orang, (Menurut riwayat Ibnu Ishaq 8 orang, sedang dalam kitab as-Sîrah ash-Shahîhah (hal.468) 13 orang) sedangkan pasukan Romawi tercatat sekitar 20.000 orang.

Perang ini adalah perang yang sangat sengit meski jumlah korban hanya sedikit dari pihak muslim. Di dalam peperangan ini Khalid Radhiyallâhu ‘anhu telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata: “Dalam perang Mu‘tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” Ibnu Hajar mengatakan, Hadis ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh mereka. ** www.sidogiri.net


Referensi: Muhammad bin Ishaq, as-Sîrah an-Nabawiyyah li-bni Ishaq Ad-Dimisyqiy, Abu al-Fida’ al-Hafidz Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Nihayah, dan as-Sîrah an-Nabawiyyah li Ibni Katsir.

Nabi Musa AS bermunajat kepada Allah di Bukit Thursina.

Suatu saat Nabi Musa AS bermunajat kepada Allah di Bukit Thursina. Di antara munajat yang is panjatkan pada saat itu adalah, "Ya Allah, tunjukkanlah keadilan-Mu kepadaku!"
Maka Allah berkata kepada Musa AS, "Jika Aku menampakkan keadilanKu kepadamu, engkau tak akan dapat bersabar, dan tergesa-gesa menyalahkan-Ku."

"Dengan taufiq-Mu," kata Musa, "aku akan dapat bersabar menerima dan menyaksikan keadilan-Mu."
Allah berkata, "Kalau begitu, pergilah engkau ke mata air anu. Bersembunyilah engkau di dekatnya dan saksikan apa yang akan terjadi."
Musa AS pergi ke mata air yang ditunjukkan kepadanya. Dia naik ke atas sebuah bukit dan bersembunyi.

Tidak lama kemudian datanglah seorang penunggang kuda. Dia turun dari kudanya, lalu berwudhu, dan meminum air. Setelah itu dia shalat dan meletakkan sebuah kantong di pinggirnya yang berisi uang seribu dinar.

Setelah selesai menunaikan shalat, penunggang kuda tadi bergegas pergi dan sangat terburu-buru sehingga dia lupa, kantung miliknya tertinggal.
Tidak lama kemudian datang seorang anak kecil untuk meminum air dari mata air itu. la melihat ada sebuah kantung. Anak kecil itu pun mengambilnya. Setelah itu, ia pun segera beranjak pergi dari tempat itu.

Setelah anak kecil itu pergi, datang seorang kakek yang buta. la mengambil air untuk diminum, lalu wudhu dan shalat.
Tak lama kemudian, datanglah si penunggang kuda yang ketinggalan kantungnya itu. Dia menemukan kakek buta itu sedang berdiri dan akan segera beranjak dari tempatnya.
Si penunggang kuda berkata, "Kamu pasti mengambil kantungku yang berisi uang di sini."
Betapa kagetnya si kakek buta itu. la berkata, "Bagaimana aku dapat mengambil kantungmu sementara mataku tidak dapat melihat?"

Penunggang kuda itu berkata, "Kamu jangan berdusta. Sebab, tidak ada orang lain selain kamu."
Si kakek buta berkata, 'Betul, saya berada di sini sendirian. Namun kamu kan tahu, mataku tidak dapat melihat."
Si penunggang kuda berkata, "Mengambil kantung itu tidak harus dengan mata, bodoh! Tetapi dengan tangan! Walaupun mata kamu tidak melotot, tanganmu tetap dapat digunakan."

Akhimya, si kakek buta itu dibunuh oleh penunggang kuda.
Setelah si kakek buta dibunuh, ia menggeledahnya untuk menemukan kantungnya. Namun, ia tidak menemukannya. Maka, ia pergi meninggalkan mayat kakek buta tersebut.
Ketika Musa AS melihat kejadian tersebut, dia berkata, "Ya Tuhan, sungguh aku tidak sabar atas kejadian itu. Namun, aku yakin Engkau sangat adil. Kenapa kejadian mengenaskan itu bisa terjadi?"

Tidak lama kemudian datanglah Jibril AS dan berkata, "Allah memerintahkan kepadaku agar menyampaikan penjelasan-Nya kepadamu. Dia menyebutkan bahwa diri-Nya sangat mengetahui halhal ghaib yang tidak engkau ketahui. Dia menyebutkan bahwa anak kecil yang mengambil kantung si penunggang kuda itu sebenarnya sedang mengambil haknya.
Dulu, ayahnya pernah bekerja pada si penunggang kuda. Namun, secara zhalim, ia tidak dibayar atas pekerjaan yang telah ia lakukan. Jumlah yang harus dibayarkan kepada ayah anak itu adalah sejumlah uang yang ada dalam kantung itu. Adapun kakek buta itu adalah orang yang membunuh ayah si anak kecil itu dulunya, sebelum kakek tersebut mengalami kebutaan."

Demikianlah. Sungguh Mahabenar Allah SWT yang telah berfirman, "Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguh nya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumf? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia berada
bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS Al-Mujadalah: 7).

Raja dan Empat Orang Permaisuri

Pada zaman dahulu ada seorang raja yang memiliki empat orang permaisuri. Namanya raja, tentu ia memilih wanita yang cantik-cantik sebagai permaisurinya. Hanya saja Sang Raja memperlakukan keempat permaisurinya secara tidak adil. Sang Raja mencintai permaisuri termudanya (yang nomor empat) dengan sangat berlebihan. Ia pun selalu berusaha memenuhi segala kebutuhan dan permintaan permaisuri termuda ini hanya untuk memenuhi hasratnya dan meraih cintanya.

Sedangkan kepada permaisuri ketiga, Sang Raja juga mencintainya. Hanya saja Sang Raja merasakan, bahwa permaisuri ketiga ini terkadang meninggalkannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Lain halnya dengan permaisuri kedua. Ia selalu menjadi tumpuan Sang Raja setiap menghadapi kesulitan. Ia pun selalu mendengarkan dan memperhatikan keluh kesah Sang Raja dalam setiap menghadapi kesulitan. Bahkan tidak jarang, permaisuri kedua ini seringkali terlihat merasa prihatin dengan kesulitan yang dihadapi Sang Raja, suaminya.

Sedangkan permaisuri pertama dan tertua, Sang Raja tidak pernah memperhatikannya. Hak-haknya sebagai permaisuri pun tidak pernah dipenuhi. Kehidupannya terbengkalai akibat korban ketidakadilan suaminya terhadap permaisuri-permaisurinya. Padahal permaisuri pertama ini sangat mencintai Sang Raja. Dan dia pula yang berperan besar dalam menjaga kerajaannya.

Suatu saat, Sang Raja mengalami sakit keras. Ia pun merasakan bahwa ajalnya sudah di ambang pintu. Maut akan segera menjemputnya. Akhirnya Sang Raja berpikir, “Aku sekarang memiliki empat orang permaisuri. Sebentar lagi maut akan segera menjemputku. Aku tidak mungkin pergi ke alam kubur sendirian.” Demikian pikiran yang menggelayut di benaknya.

Sang Raja memanggil permaisuri termudanya yang memang sangat dimanjanya, sehingga semua kebutuhan dan permintaannya selalu dipenuhinya. Raja berkata kepadanya, “Aku sangat mencintaimu melebihi permaisuriku yang lain. Aku telah memenuhi segala keinginan dan permintaanmu. Namun kini sepertinya ajal akan segera menjemputku. Sekarang aku bertanya kepadamu, apakah kamu rela bersamaku sebagai pendamping dan penghiburku nanti di alam kubur?”

Sang permaisuri menjawab, “Ini tidak mungkin terjadi.” Segera permaisuri itu meninggalkan Sang Raja yang tekulai lemas tidak berdaya itu tanpa menampakkan rasa kasih sayang sedikitpun.

Lalu Sang Raja memanggil permaisuri ketiga dan berkata kepadanya, “Aku mencintaimu seumur hidupku. Sekarang ajalku sudah di ambang pintu. Bersediakah kamu menemaniku di alam kuburku nanti?” Permaisuri ketiga ini menjawab, “Tentu saja tidak. Hidup ini sangat indah. Dan setelah kematianmu, aku akan segera pergi dan menikah dengan laki-laki lain.”

Lalu Sang Raja memanggil permaisuri kedua dan berkata kepadanya, “Selama hidupku aku selalu mengadu dan mengeluh kepadamu dalam setiap kesulitan yang aku hadapi. Telah begitu banyak pengorbananmu untukku. Dan selama ini kamu selalu setia membantuku. Sekarang aku akan bertanya kepadamu, bersediakah kamu menemaniku di alam kubur nanti?” Dengan penuh perhatian dan lemah lembut, permaisuri ini menjawab, “Maafkan aku suamiku. Aku tidak mungkin memenuhi permintaanmu. Aku hanya bisa mengantarmu nanti sampai ke kuburmu.”

Setelah mendengar penolakan ketiga permaisurinya untuk menemaninya di alam kubur nanti, akhirnya Sang Raja merasa susah dan bersedih hati menghadapi detik-detik kematiannya. Tiba-tiba ia mendengar suara dari kejauhan berkata kepadanya, “Aku siap menemanimu di alam kuburmu nanti. Aku akan selalu bersamamu kemana pun kamu pergi.” Sang Raja melihat ke arah suara itu. Ternyata ia permaisuri pertamanya yang sudah kurus kering dan sakit-sakitan karena tidak pernah diperhatikan oleh Sang Raja, suaminya. Akhirnya Sang Raja merasa menyesal telah menelantarkan permaisuri pertama tersebut selama hidupnya. Sang Raja berkata, “Seharusnya selama ini aku memperhatikanmu melebihi permaisuriku yang lain. Seandainya masa lalu dapat kembali lagi kepadaku, tentu kamu akan menjadi permaisuriku yang paling aku perhatikan melebihi permaisuriku yang lain, karena pada saat-saat seperti ini, hanya kamu yang siap menyertaiku ke mana pun aku pergi.” Demikian Raja itu berkata kepada permaisuri pertamanya yang telah kurus kering dan sakit-sakitan akibat ketidakadilannya.

Sebenarnya, kita juga memiliki empat orang permaisuri. Permaisuri keempat adalah jasad kita. Bagaimanapun perhatian yang kita berikan terhadapnya, kita penuhi segala nafsu dan syahwatnya, jasad kita akan meninggalkan kita begitu kita meninggal dunia.

Permaisuri ketiga adalah kekayaan dan harta benda. Ketika kita meninggal, kekayaan dan harta benda kita akan meninggalkan kita dan segera menjadi milik orang lain.

Permaisuri kedua, keluarga dan teman. Berapa pun besar pengorbanan mereka kepada kita selama kita hidup, kita tidak dapat berharap kepada mereka ketika kita meninggal dunia, kecuali tidak lebih dari sebatas mengantarkan kita ke alam kubur.

Sedangkan permaisuri pertama adalah jiwa (ruh) dan hati. Kita tidak pernah memperhatikan jiwa dan hati. Selama ini kesibukan kita hanya untuk memenuhi syahwat kita sendiri, mengumpulkan harta dan memuaskan keluarga dan teman, padahal jiwa dan hati kita saja yang akan tetap menyertai kita nanti di alam kubur. (sumber: sidogiri.net)