Monday, October 17, 2005

Bapakku Kawin Lagi

Bapakku Kawin Lagi
“Siapa yang peduli denganku! Aku bekerja mulai fajar menyingsing ditambah satu ukuran tongkat yang ditancapkan ditanah di tengah lapangan, pulang ketemu istri yang cemberut dan suka marah-marah, memangnya saya sebagaii suami hanya diciptakan menjadi robot penggaruk uang, setelah uang didapat, diserahkan lalu ...” suara lantang bapakku.
“Aku ini istrimu! Sudah delapan belas tahun aku disampingmu, kok bicara tentang peduli atau peduli, itu ‘kan sudah kuno! Peduli itu masalah waktu kita pacaran dulu, tapi sekarang kita bicara tentang realita, Pak!” tegar ibuku.
“Aku tahu realita adalah andalanmu! Yang selalu kau gunakan sebagai mortir penghancur setiap kita ada masalah,” jawab bapakku.
“Akhir-akhir ini, Bapak sering marah-marah, kadang aku pun tidak masalah kenapa Bapak marah. Dulu Bapak jarang begitu, selalu periang, setiap hari selalu menjadi oarang yang bijaksana sekaligus pengayom keluarga, dan setiap pembicaraanmu selalu menyejukkan dan memberikan kedamaian, tapi kini....” bantah ibuku.
“Memangnya kenapa kalau ada perubahan!” bantah Bapakku.
“Tidak ada salahnya, tetapi kalau perubahan menuju kebaikan itu akan sangat dihargai, tetapi kalau perubahan menuju kehancuran itu yang menjadi tanda tanya,” bimbangnya ibuku.
Suara lantang bapakku dan lengkingan suara ibu menjadi saingan sound system dikamarku, dan hampir setiap hari. Herannya mereka adu mulut setelah bapakku pulang dari sumber uang yang memberi penghidupan kepada kami sekeluarga. Sore menjelang malam, insiden itu pasti terjadi, ketika bintang siang mulai kembali keperaduannya dan binatang malam menempati posisi favoritnya untuk menghabiskan malam indah. Tetapi sejauh ini, bapak dan ibuku belum sampai dalam fase pisah ranjang, yang kadang bagi pasangan suami istri menjadi suatu tanda akan terjadinya titik kehancuran.
Bapakku adalah orang biasa, aku sangat kagum padanya akan sikap kejujurannnya. Hal yang selalu aku ingat wejangan bapakku “Orang sukses, orang kaya, orang cerdas, orang yang menjadi penguasa tidak akan mempunyai harga diri jika tidak mempunyai kejujuran.” Dia bekerja pada sebuah bank swasta ternama di kotaku, tepatnya di bagian perkreditan yang merupakan lahan basah di institusi itu. Dia sering ditawari suap oleh nasabahnya agar mendapatkan kelancaran kredit, sebenarnya itu merupakan peluang emas di depan mata, tetapi selalu ditolak bapakku. Walaupun banyak teman sekantornya yang sudah bermobil berkelas menengah, tetapi bapakku dengan percaya dirinya memakai sepeda motor butut buatan tahun delapan puluhan. Karena kejujurannya dia sempat ditawari jabatan ditingkat pusat, tetapi dia menolaknya karena ingin memberikan perhatian pada aku dan adikku.
Kalau ibu merupakan orang desa yang sangat desa dan dia juga orang desa pernah mengenyam bau pendidikan, sehingga dia rajin membaca mulai dari buku menu masakan sampai novel-novel Shidney Sheldon, dan novel favoritnya adalah The Lead Plan, kisah tentang seorang pimpanan umum sebuah media yang berusaha keras memperjuangakan medianya sampai banting tulang dan banting pemikiran yang disusun dengan rencana-rencana yang sempurna, yang dia sewa dari persewaan buku di kota. Aku akui ibuku memang suka memasak, sampai-sampai kami sekeluarga tidak pernah sama sekali makan di warung, misalnya kalau aku berangkat sekolah aku selalu membawa bekal yang disiapkan ibu, dan ibuku selalu berpesan jangan makan sembarangan. Tumis kacang hijau, sayur lodeh dan tempe goreng selalu aku rindukann dimanapun aku berada. Ibuku disamping ibu di rumah, dia juga seorang petani yang hebat, dia mengembangkan sawah yang dulu milik kakekku, memiliki bisnis pertokoan obat-obat dan pupuk pertanian, dan perusahaan penggilingan padi yang dia geluti.
Kalau dilihat dari segi penghasilan, uang yang didapatkan bapakku jauh lebih kecil dari apa yang didapat ibuku. Mungkin karena hal itu atau hal yang lain setiap adu mulut, ibu selalu bisa menangkis semua serangan.
Bagiku ibu dan bapakku adalah teman yang baik, walaupun umur memisahkan, tetapi hati menyatukan.
***
Aku selalu ingat bagaimana ibu selalu menuangkan segala perasaan yang yang dia alami kepadaku, kalau kami berdua curhat bisa berjam-jam. Waktu itu aku pernah bercerita tentang seorang cewek yang menembakku. Gadis itu sudah SMA, sementara aku masih sekolah dengan celana pendek. Cewek itu anak orang kaya dan cantik, tetapi ada hal yang membuatku bimbang karena cewek itu berlainan keyakinan denganku. Hal aneh dia katakan padaku pada menembak adalah dia menyukaiku karena aku orangnya cool dan cuek. Dalam hatiku, aku ingin menolak tembakan cinta itu, tetapi ibuku malah memberikan saran agar aku menerima tembakan asmara itu. “Cinta itu seperti kita belajar matematika, kalau kamu jarang latihan mengotk-atik rumus, kamu tidak akan bisa, jadi kamu harus mencoba, dan tidak ada salahnya mencoba,” itulah nasehat ibuku. Cinta itu datangnya bukan dari uang, tetapi dari hati. Dalam hatiku kenapa ibuku bisa berkata seperti itu? Wah.. paling ini pengaruh kebanyakan baca novel. Tetapi aku senang saja karena lampu hijau dari ibuku sudah menyala. Jika aku bercerita tentang masalah cewek kepada bapakku, dia langsung naik pitam, karena saya tahu bahwa bapakku selalu menekan kepada anaknya yaitu pendidikan dan agama, berbeda dengan ibu yang selalu menekankan pada perhatian dan pemberian rasa tanggungjawab.
Tapi itu dua tahun yang lalu, sekarang suasana harmoni sudah hampir sirna yang ada hanya suara suasana tanda tanya yang menyelimuti keluarga kami. Cuma adikku yang baru kelas enam Sekolah Dasar saja yang sangat cuek, tertawa seperti tanpa beban, menangis jika tidak dibelikan mainan dan selalu bermain sepanjang hari tanpa mengenal jam, Cuma dia mengenal teriakan ibuku yang memintanya untuk pulang.
Jam tidur rumah yang biasanya jam sepuluh malam, tetapi sekarang jam setengan sembilan malam saja sudah sepi. Habis makan malam, kami sudah mengambil posisi masing-masing ditempat tidur masing-masing.
Semua hal berubah di dalam keluarga. Aku harus bagaimana lagi?
Apa ini musibah yang bagi keluargaku, kenapa tanda-tanda akan datangnya musibah ini begitu cepat, kenapa tidak dari dulu saja, kenapa harus sekarang?
***
Hari minggu, kecuali kalau kami tidak pergi ke sawah hanya sekedar untuk mengecek dan memberikan semangat kepada pekerja, kami biasanya duduk diteras, sekedar mengobrol bersama, bercerita pengalaman yang kami lalui selama satu minggu, disamping kami biasanya bercerita pada waktu makan malam. Tetapi hari minggu ini, benar-benar garing tidak ada sesuatu yang membuat segar kembali dari aktivitasku selama minggu ini, karena setiap aku lihat wajah-wajah yang dulu mencerminkan aura kebahagian, sekarang aura itu hampir-hampir musnah, kecuali adikku.
“Bu, bapakku kemana?” tanyaku.
“Sejak pagi dia pergi,” jawab ibuku singkat.
“Kemana, biasanya dia ‘kan selalu bilang kemana dia pergi,” cerewetku.
“Tidak tahu.”
“Ada masalah apa? Sepertinya disembunyikan sekali?”
“Nanti kamu akan tahu dengan sendirinya.”
“Ibu sudah tidak percaya lagi padaku?”
“Ini bukan sembarang masalah.”
Ibuku yang sangat aku banggakan sekarang hanya bisa diam, diam yang penuh beban, beban permasalahan keluarga yang dia pikul. Ibu yang selalu bercerita tentang segala hal, bahkan dia pernah bercerita tentang kisah percintaannya dengan bapakku. Dimana dulu ibuku adalah murid dari bapakku waktu belajar mengaji di Mushala di desa. Ibu dan bapakku merupakan pemuda dan pemudi yang aktif dalam kegiatan kepemudaan, mulai dari karang taruna sampai persatuan sepak bola desa ikut mereka tangani. Dan kata nenekku bahwa pasangan ibu dan bapakku merupakan pasangan abadi. Tetapi ini kembali kepada mereka sendiri dan aku sebagai anak.
Aku sangat senang dengan prediksi nenekku, tetapi kenyataannya dalam minggu ini keadaan benar-benar genting. Selama delapan belas tahun, yang aku tahu tidak ada kejadian-kejadian yang benar-benar mengkuatirkan. Apakah ini hanya merupakan lika-liku kehidupan yang harus dijalani dalam menempuh bahtera rumah tangga. Keluarga itu seperti kapal layar yang mengarungi samudra nan luas, dilengkapi dengan layar yang lebar menambah kecepatan, gayuh sebagai bantuan untuk menambah kecepatan, ban karet yang digunakan jika keadaan benar-benar membahayakan. Pemimpin perahu layar adalah nahkoda yang bertanggungjawab penuh terhadap kapal itu, dan dia mempunyai awak perahu layar yang ikut mendukung keberhasilan pelayaran. Gelombang arus laut yang ganas, kadang disertai badai yang begitu mengerikan, bisa mencapai lima kali lipat tinggi perahu layar. Pemimpin dan awak perahu harus bersatu dengan strategi dan pengalaman yang ada untuk bisa mengatasi keadaan bencana ini. Biasanya gelombang arus yang ganas biasanya dialami jika mau melewati batas segara (laut) biru yang berad ditengah samudra atau lautan luas, dimana airnya bening sekali tanpa kotoran, dan ikan yang hidup disana adalah ikan-ikan besar.
***
Rumor tidak sedap pun sudah menjadi pendengaran yang umum tentang keluargaku, ibu-ibu di arisan sela-sela perbincangan mereka, sampai-sampai hampir semua penduduk kampung tempat tinggalku sudah mengetahui tentang beih-benih keretekan pada keluargaku. Tetapi hari berlalu rumor itu menjadi pendengaran yang tidak sedap bagiku.
“Kenapa banyak orang yang memperbincangkan keluarga kita? tanya ibuku.
“Ini semua salahmu, kaulah penyebabnya!” jawab ibuku.
“Apa, wanita hanya bisa menyalahkan!” tegas bapakku, “semua orang pasti mempunyai kesalahan, tidak ada manusia yang sempurna, manusia bosa sempurna hanya menurutnya saja, tetapi belem tentu menurut orang lain, untuk menggapai kesempurnaan manusia harus berkorban dan ada yang dikorbankan.”
“Hoo...Hoo..., kamu ingin mengorbankan keluargamu yang sudah kau bina bertahun-tahun untuk menggapai impian dan tujuanmu, tujuan gilamu, hanya untuk memenuhi egomu,” tegas ibuku. Manusia itu memang mempunyai ego tetapi bagaimana cara kita saja memberikan batasan dari ego kita, jika ego tetap dipaksakan bukan lagi bukannya vitamin yang kita dapatkan tetapi virus. Apakah kamu sudah sangat bergantung pada ucapan pujangga dan kata-kata dalam buku tua.”
“Penyakit pasti ada obatnya, aku ingin obatnya, aku sudah beli obat, kenyataannya tidak kamu minum?”
“Bagaimanapun yang terjadi penyakit sangat bergantung pada orang yang menderitanya, karena semangat untuk sempuh dari penyakit itu akan membangunkan antibodi dalam tubuh untuk melawan virus-virus ganas yang bisa merenggut nyawa.”
Pertengkaran yang sangat membingungkan, yidak menuju ke arah titik terang, sehingga sangat sulit bisa membanyangkan apa yang akan terjadi nanti. Apa aku akan membiarkan mereka, seiring waktu berjalan dengan permasalahan yang aku sendiri sulit untuk mengerti. Penyatuan persepsi itulah yang paling sulit dibangun, karena ini merupakan masalah yang cukup riskan dalam suatu keluarga. Padahal mereka ‘kan sudah tua, kenapa tidak sadar-sadar.
Akhirnya rumor tidak sedap itu sampai ditelinga kakek dan nenekku, mereka datang kerumah untuk mendengarkan kebenarannya. Tetapi yang aku lihat bapak dan ibuku tidak jujur mengatakan hal yang sebenarnya, bahkan terkesan menutupi-nutupi. Bapak dan ibuku tidak ingin melibatkan pihak ketiga dalam konflik yang mereka alami, karena turut campurnya pihak ketiga dapat memicu ledakan-ledakan baru. “Rumah adalah tabungan masa depan. Tabungan untuk menghadapi masa tua, bayangkan bagaimana jika orang tidak mempunyai keluarga, betapa menderitanya dia, tidak ada yang merawat di kala sakit, tidak ada yang memperingatkan kala salah, tidak ada yang mendoakan kala mati dan tidak ada yang mewarisi harta dan nama baik keluarga jika orang sudah tidak ada,” ujar kakekku.
Nenekku sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, bahkan dia sudah hidup di banyak jaman, mualai jaman belanda, jaman jepang, jaman kemerdekaan, jaman pembangunan, sampai jaman reformasi. “Aku tidak ingin keluarga yang sempurna ini akhirnya hancur karena ego kalian itu. Jangan hanya turuti nafsu kalian yang bermain dalam gejolak jiwa. Lihatlah kedepan, anak-anak kalian yang belem terlalu siap menghadapi dunia nyata akan kalian abaikan begitu saja hanya karena masalah ini, apakah kalian akan ikut menghancurkan mereka? Seperti hancurnya kalian nanti, pikirkan itu?”
Nasehat yang diberikan kakek dan nenekku seolah-olah seperti angin semilir yang berlalu, aku masih ingat dalam memoriku ketika nenek dan kakekku ikut campur tangan dalam masalah keluarga bibiku, aku tidak mengeri mengapa akhir-akhirnya keluarga bibiku hancur, apa ini akibat campur tangan orang tua? Tapi ini ‘kan beda permasalahan dengan keluarganya bibiku. Kalau masalah yag dialaminya adalah masalah sepele, yaitu masalah penjualan tanah warisan oleh suaminya bibiku, dan ini dipermasalahkan oleh bibiku, karena uang hasil penjualan itu tidak jelas kemana larinya. Terus kakek dan nenekku menyarankan untuk bercerai karena mempunyai suam yang tidak jelas alur hidupnya. Mungkin kakek dan nenenku menyarankan bercerai sebagai jaln terakhir dan yang terbaik dalam menyelesaikan permasalahan. Herannya suami bibiku tidak mau menceraikan bibiku, sehingga bibiku hidup tanpa kejelasan dalam rumah tangga karena ditinggal suami. Karena trauma dalam kegagalan rumah tangga, akhirnya bibiku tidak mau menikah lagi, dia hanya mengurusi anak-anaknya yang masih kecil, dan kalau dia pergi ke sawah anaknya dititipkan ke tetangga. Betapa tragis hidupnya.
Tapi dalam hati orang tua akan sangat senang jika anak-anaknya hidup bahagia dalam meniti tangga dunia yang kadang kita harus terpeleset dan kalau berhasilnya kita akan mencapai puncak. Cuma kadang-kadang pendekatan yang dilakukan orang tua tidak tepat sehingga hasilnya juga kurang tepat.
Apakah kehancuran keluarga bibiku akan terjadi pada keluargaku?
***
Aku menatap langit yang sedang menurunkan air hujannya ke bumi. Aku melihat bayang-bayang disana, tampak bapak, ibu, adikku dan aku sendiri sedang bercanda tanpa henti di sserambi depan rumah, yang menunjukan keharmonisan keluarga yang dapat dijadikan obat penyejuk hati dan menjadi penyemangat yang membara dalam hati untuk menggapai cita-cita yang belum tercapai. Bayang-bayang itu hangus begitu saja, digantikan oleh bayang-bayang rumahku terbakar dengann api yang menjilat semua barang-barang dirumah yang menjadi kenanganku, ibuku tampak menggendong adikku mengajaknya segera keluar dari rumah, dan bapakku hanya tertawa di luar, tidak menolong kami.
Ahhh.. apa itu semua hanya sebuah fatamorgana saja, kenapa harus dibuat pusing.
Aku pun menatap langit yang kelam itu, aku lihat bayangan bapakku sedang mengkemasi barang-barang dan pakaiannya, lalu setelah tanpa pamit dia meninggalkan kami, dengan wajah muram.
***
Pagi yang cerah, secerah harapan akan hari ini yang lebih baik. Burung-burung berhinggapan di ranting-ranting pohon disekitar rumah yang bernyayi ria menyambut pagi nan indah. Mereka saling bersahut sahutan seolah-olah memberikan semangat untuk menjalani hari ini. Mereka beterbangan kesan semari lincah, tanpa beban, hanya dengan mengepakkan sayapnya kemana tujuan mereka yang diingini.
Pagi-pagi itu, ada yang mengetuk pintu. Kenapa pagi seperti ini ada tamu ya? Aku pun langsung membukakan pintu. Seperti disambar petir aku melihat bapakku datang dengan seoarng wanita cantik, lebih cantik daripada ibuku.
“Dimana ibumu? Tanya bapakku. Akupun langsung memanggil ibu dan adikku. Kami semua berada di ruang tamu.
Tanpa basa basi lebih adahulu bapakku langsung berkata, ”Aku akan menikah lagi, tapi aku tidak mau menceraikan kamu, akau mau menjadikan kamu sebagai istri pertama, dan Sulasmi sebagai istri keduaku.”
Aku pun tertegun, ibu dengan tegarnya hanya bisa diam. Adikku pun berceloteh, “Bapakku kawin lagi.”
Apakah dengan bapakku kawin lagi adalah sumber permasalahan selama ini? Apakah mempunyai istri sebagai suatu kebanggaan bagi bapakku? Atau hanya menuruti kata pujangga dan buku-buku kuno yang ditafsirkan secara tekstual tidak secara kontekstual?
Apapun itu beristri dua atau tiga akan ada pihak yang dilemahkan dan pihak dikuatkan, ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan, karena menjadi manusia sempurna adalah suatu yang sulit terwujud. Bagaimanpunyang terjadi bapakku kawin lagi adalah sebuah tragedi yang menyayat hati dan memeras air mata dalam hidupku, ibuku dan adikku.
Tapi aku tidak mengerti bagaimana pendapat ibuku tentang beristri dua, apakah juga sama dengan pelajaran matematika?
Pemalang, Februari 2004

Sebuah PERMAINAN

Sebuah Permainan
Oleh : Andika ‘Nyong’ H Mustaqim*
Menjelang pengumuman kelulusan SMU, banyak siswa yang cemas, bingung, bimbang dan beragam carut marut penyakit otak yang menjadikannya sebuah awal untuk melangkah ke dunia yang lebih mantap. Tidak hanya masalah lulus dan tidak lulus saja yang menjadi sesuatu yang begitu mereka pikirkan, tetapi ada sesuatu yang lain yaitu akan kemana mereka pergi untuk melanjutkan sekolah atau untuk mencari pekerjaan, apa akan keluar kota atau akan mengembangkan bakatnya di dalam kota saja.
“Aku sudah ada kepastian tentang masa depanku,” Bambang mengelurkan pernyataan.
“Aku masih bingung, apa kau akan ke Jawa atau tetap disini? Jawab Shinta.
“Malang, salah satu pilihanku, disana aku akan mencari ilmu, menempa bakat dan kemampuanku untuk menjadi yang lebih baik,” tanggap Bambang.
Mata berkaca-kaca, meneteskan air mata yang bening bak tetesan embun di pagi hari, dan kepala Shinta tertunduk seperti kepala kerbau yang sedang bengong mencari rumput di padang rumput yang sangat luas. Shinta tidak berkata sepatah katapun, tidak bertindak sekecil apapun, dan dia hanya menjadi patung.
***
Kepergian Bambang ke Malang, menjadi suatu hal yang dilema bagi Shinta, dilema yang memasok bukan hanya separoh otaknya tetapi seluruh memori yang ada di otaknya, dipenuhi kebimbangan, pertanyaan, keraguan tentang Bambang. Otak saja tidak cukup, hati dan perasaan bagi perempuan seperti radar tentara yang sering digunakan dalam peperangan, hati dan perasaan perempuan akan mencari tanda-tanda pada sasaran yang akan dituju, kemanapun pergi walaupun hasilnya tidak dapat dipastikan hanya bersifat empati saja. Radar yang selalu berputar-putar untuk mengetahui keberadaan mangsa dengan tujuan untuk mendeteksi kemudian menginformasikan dan setelah itu memikirkan apa yang akan dilakukan nanti. Bagaimana dengan radar yang dimiliki Shinta? Bagaimanapun juga radar memiliki jangkuan tertentu, berapa radius kilometer atau berapa mil untuk mencari sasarannya. Tetapi radarnya tidak mempunyai jangkauan, bahkan sangat luas jangkaunnya meliputi segala sesuatu yang berada dibawah langit ini. Dan apakah radarnya masih berfungsi dengan baik? Radarnya juga banyak dipengaruhi berbagai faktor, emosional, psikologi, lingkungan teman, keluarga, dan situasi dan kondisi yang ada pada dirinya.
***
Bunglon yang ada di sawah dapat berubah-ubah warna kulitnya sesuai dengan benda atau sesuatu yang ada pada sekitanya, juga dedaunan ada disekitarnya maka warna kulitnya akan berubah menjadi hijau, jika tanah yang berada di sekitarnya tubuhnya akan berubah menjadi coklat kehitam-hitaman. Bunglon dapat meloncat dari dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan lihainya, bunglon dapat berlari dengan cepatnya dari tempat yang dia anggap berbahaya ke tempat yang dia anggap aman demi menjaga keselamatannya. Bunglon dapat mencari mangsa dengan mudahnya karena bunglon sangat cocok dimanapun dia berada tanpa merasa bersalah, mempunyai kesan yang sangat bersahabat, mudah bergaul dalam lingkuannya sehingga kesan positif sangat mudah dia dapatkan untuk mencapai kesuksesannya. Tetapi dia mempunyai keunikan yang hampir semua binatang mengetahui bahwa dia sangat mudah beradaptasi, jeleknya dia sangat memanfaatkan lingkungan demi kepentingan sesaat, terutama untuk mencari makan, dia sangat mudah untuk mencari lawan, juga sangat mudah untuk mencari lawan. Hal yang unik lain yaitu dia mudah sekali tidak konsisiten, ketidak konsisitenan itu dapat dia sembunyikanny dengan manis menggunakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, dan kesan terpukau, kagum, dan tersipu akan menjadi kebiasaan binatang lain jika melihat bunglon.
Bambang sama dengan bunglon, itulah yang pantas dikatakan setelah apa yang dilakukannya, yang dia lamunkan, yang dia mimpikan.
Setelah Bambang sekian lama di Malang, banyak perubahan pada dirinya. Dia mempunyai pacar baru, yang menjadi mangsanya adalah kakak tingkatnya sendiri dalam satu jurusan. Bambang mencintai Ani, hanya masalah sederhana karena tidak ada tempat pelarian cinta baginya, selama di Malang. Cewek yang menjadi mangsa Bambang tidak terlalu cantik untuk ukurannya dibandingkan dengan Shinta, dari segi manapun. Cuma yang membuat menarik pada sosok Ani yaitu cewek yang berfikir sangat perfectionist dan selalu mengutamakan apa yang namanya idealisme yang menjadi genggamannya. Uniknya lagi, dia bukan tipe cewek yang senang berorganisasi di kampus atau pun yang lain, dia hanya senang bermain catur.
“Mau main catur? Tanya Ani.
“Bisa... bisa, tapi ada syaratnya’” jawab Bambang.
“Apa syaratnya, asal jangan macam-macam, it’s no problem,” jawab Ani.
“Tidak, kok. Aku hanya mau kenapa kamu kok membuatku selalu spot jantung terus, jika didekatmu?” Bambang bertanya.
“Hi...hi..., itu semua karena ketololanmu yang tetap kamu pertahankan, ganti ketololanmu dengan kedewasaanmu.” Ani dengan bijaknya.
“Main catur merupakan salah satu bentuk kedewasaan?” tanya Bambang.
“Tidak, sangat naif jika kita berbicara tentang permainan mencerminkan atau segala sesuatu untuk menunjukan bahwa kita ini sudah dewasa, walaupun banyak orang yang beranggapan bahwa catur merupakan salah satu untuk mencapai kedewasaan, tetapi saya tidak perlu dengan semua itu,” terang Ani.
“Tetapi banyak hal yang dapat kita ambil pelajaran dari sebuah papan catur dan segala kelengkapannya,” bantah Bambang.
“Tentu, strategi dalam percintaan dengan cowok atau sebaliknya, strategi dalam menghadapi berbagai tantangan, halangan dan rintangan yang ada dalam kehidupan, dan strategi dalam menghadapi berbagai kharakteristik dari prajurit sampai raja,” jelas.
Bambang selalu bertanya-tanya dalam hatinya, apa sih bedanya antara Ani dan Shinta. Walaupun banyak perbedaan yang mencolok, tetapi dia masih dibuat bingung oleh Ani, karena ucapannnya, tingkah laku dan sikapnya tidak dijumpai pada sembarang cewek.
Belajar strategi atau taktik dalam percintaan merupakan hal-hal yang tidak terpikirkan dalam hidup Bambang. Karena yang ada pada dirinya hanya just do it ,tidak ada istilah-istilah yang membuatnya pusing dengan kehidupannya. Baginya bisa hidup, kuliah, makan, punya pacar saja sudah cukup, karena kalau berfikir terlalu berat baginya hanya akan membuang waktu percuma saja. Pandangan hidup sangat terpaku pada pemikiran-pemikiran dia sendiri, jarang sekalu dia mau menerima pandangan hidup orang lain, karena dia tidak membuka mata untuk meihat dunia, membuka mulut untuk berbicara dengan dunia, mengefektifkan telinga untuk mendengarkan apa kata dunia, mengefesienkan hidung untuk merasakan bau-bau dunia, dan membuka syaraf-syaraf yang ada pada kulitnya untuk ikut merasakan sentuhan-sentuhan dunia. Panca inderanya jarang digunakan secara optimal sehingga dia menjalani hidup apa adanya.
Dia itu seperti orang berjalan menuju ke satu tempat, tetapi dia tidak tahu tempat itu sebenarnya, tetapi dia tidak bertanya kepada orang lain, tidak membawa peta bahkan tidak mempunyai peta sehingga jalan terakhir yang ditempuhnya adalah melakukan apa adanya. Kompas yang diberikan kakeknya tidak digunakan sama sekali. Apa lagi menyentuhnya, yang menjadi ironi kompas itu diberikan kepada adiknya untuk mainan. Padahal maksud kakeknya memberikan kompas pada Bambang agar dapat digunakan dalam keadaan darurat, setiap orang pasti akan mengalaminya dan akan membutuhkannya dalam hidup. Tanda-tanda dia akan tersesat dalam hidupnya sudah didepan mata tetapi dia hanya dengan jujurnya Cuma dengan senyum aku akan menghadapi apapun kenyataan yang ada di kehidupanku.
***
Obrolan-obrolan serius selama berpacaran dengan Ani bergulir begitu saja, bahkan dari obrolan serius akan mencari pemaknaan dari sebuah kehidupan. Karena cinta, Bambang melayani apapun yang akan dibicarakan oleh Ani.
Bambang sangat memegang filosofi air, walaupun dia mempunyai kadang salah pemaknaan terhadap fiosofi air itu. Dia akan selalu mengikuti arus kemanapun arus itu akan pergi, tidak memilih tempat-tempat yang ekslusif, temapt yang dipilihnya adalah tempat yang lebih rendah sehingga arus yang itu berjalan dengan lancar menuju sasaran yang dimaksud. Kalau ada tempat yang lebih tinggi dan sulit untuk dilalui arus itu maka dia kan meilih alur lain, tetapi tempat yang tinggi itu lama-kelamaan akan hancur sedikit demi sedikit.
Karena seringnya berbicara tentang hal-hal yang berbau serius, sehingga masa lalu Bambang tidak pernah diungkap oleh Ani, begitu sebaliknya. Mungkin Ani yang cenderung cuek dengan apa yang namanya masa lalu. Hal ini yang membuat Bambang bingung, kenapa dia tidak mau bertanya tentang masa lalunya? Apakah dia malas untuk bertanya atau apakah dia malu untuk bertanya? Mungkinkah dia sangat tertutup dengan masa lalu? Ataukah dia sendiri yang harus memancingnya?
Bambang mulai berfikir waktu yang tepat untuk menceritakan masa lalunya, tentang cinta masa lalunya kepada Ani. Malam minggu pun dipilih Bambang memilih tempat di kafe langganannya, dibilang kafe ya.. dibilang warung makan juga ya, tetapi tulisan yang tertera pada papannya adalah kafe. Tempatnya sangat strategis, nyaman tidak terlalu bising untuk mengobrol lama-lama. Disamping faktor makanan yang enak rasanya dan harganya tidak terlalu banyak merogoh kantong mahasiswa.
Setelah mantap dengan rencananya yang diatur sedemikian rupa, Bambang pun tinggal menyaipakan mental untuk mengahadapi kenyataan apapun namanya nanti, diputus oleh Ani atau terus sama Ani.
***
“Aku mau bercerita tentang masa laluku, walaupun aku tahu kamu sangat tidak suka tentang masalah ini,” Bambang memulai.
“Stop, kamu sudah tahu ‘kan, aku orang yang sangat sulit untuk berbicara tentang masa lalu orang lain, kecuali masa lalu indahku saja,” Ani menjawab.
“Please, ini masalah krusial sekali dalam hubungan kita,” Bambang bersikeras.
“Untuk kali ini tidak apa-apa, tapi ingat hanya untuk kali ini saja, Ok,” Ani mulai melunak.
“Kamu adalah cinta kedua dalam hidupku, dan mungkin akan menjadi cinta yang terakhir, tapi yang menjadi pertanyaan, aku belum memutuskan pacar pertamaku, dia masih berada dikota kelahiranku. Aku sangat sulit untuk memutuskannya, karena...karena” Bambang terpatah-patah.
“Karena apa? Terus terang saja,” Ani mulai tegang.
“Karena dia mempunyai sisi emosional dan sisi psikologi yang mengkuatirkan, bukan hanya aku saja tetapi sahabat-sahabatnya, teman-temannya, dan keluarganya yang selalu memberikan perhatian kepada anak sulungnya,” jelas Bambang.
“Apa itu?” tanya Ani.
“Dia sangat mudah shock, jika mendengarkan kata-kata atau pernyataan yang menyakitkan hatinya atau menyindirnya, apa lagi masalah cinta,” terang Bambang.
“Apa bentuk shock-nya, pingsan atau ..” Ani bertamabah bingung.
“Bukan, dia mudah sekali menggampangkan nyawanya sendiridan dia mempunyai kebiasaan aneh yaitu, dia senang sekali balap sepeda motor, karena dia adalah pembalap wanita dikotaku, aku sangat takut kalau dia mendengar kalau aku disini mempunyai pacar lagi. Dan pastinya kabar itu sudah tersiar sampai kesana, karena banyak teman-temanku yangsekaligus menjadi temannya kuliah disini megetahui tentang aku mempunyai affair denganmu. Itulah yang membuatku bingung,” jelas Bambang.
“Oh.. sekarang aku tahu permasalahanmu, kamu layak menjadi buah simalakama, disatu sisi kamu sulit untuk melepaskan pacar pertamamu, di sisi lain kamu masih mencintaiku, aku tahu seberapa sulit kamu menghadapi permasalahan ini, tapi saya serahkan segala sesuatunya kepadamu,” tegas Ani
“Terus bagaiman dengan solusinya,” tanya Bambang.
“Ya..kamu harus menjelaskan apa adanya ini, kalau kamu ingin membunuhnya, lebih baik putuskan aku saja,” putus Ani.
“Tapi kabar ini pasti sudah sampai kesana’” bimbang Bambang.
***
Pada waktu yang bersamaan, Shinta mendengar kabar bahwa Bambang selingkuh dengan cewek lain di Malang, kabar itu dia dapat dari Dita. Dita sebetulnya tidak mau menceritakan hal itu, tetapi karena Shinta memaksanya akhirnya Dita menceritkan apa yang ia ketahui tentang perselingkuhan Bambang.
Tetapi ada yang aneh pada diri Shinta, dia tidak menangis. Apalagi mengeluarkan airmata dari kelopak mata indah nan elok. Justru tawa kecil yang yang keluar dari bibir yang merah tanpa lipstik yang ia pakai, tawa kecil yang mencerminkan bahwa dia terkesan cuek dengan perselingkuhan itu.
“Apakah aku akan gila karena cinta, betapa memalukannya diriku. Apakah aku akan bunuh diri hanya karena cinta, betapa memilukannya diriku. Apakah aku akan menerima dia kembali kepangkuanku, betapa bodohnya diriku. Apakah aku akan segera memutuskannya dalam kehidupanku, betapa bersangka-sangkanya diriku. Apakah aku akan melupakannya dalam kehidupanku, betapa naifnya dirtiku. Apakah aku akan selalu mengingatnya dalamm kehidupanku, betapa bijaksananya diriku. Apakah aku akan memaafkannya, betapa dewasanya diriku,” Ani bermonolog.
Shinta mengendarai sepeda motornya menuju ketempat favoritnya, diujung kota, dimana ada jembatan yang panjang, disana dapat melihat sungai yang lebar dengan air yang jerih sehingga ikan-ikan kelihatn dengan jelas. Dapat melihat hutan rimba dengan dedaunan yang kehijauan nsangat menyejukkan hati yang melihatnya. Dapat melihat nelayan yang sedang menjala ikan dan banyak orang memancing ikan di sungai itu. Dapat meliaht lalu lalang kendaraan bermotor dengan kecepatan sedang.
Shinta semakin kencang mengendarai sepeda motornya, sampai batas normal mengendarai sepeda motor di jalan umum. Pikirannya semakin kacau memikirkan tentang masa lalunya bersama Bambang, tentang impian bersamanya, tentang masa depannya. Dan dia hilang kendali dalam mengendarai sepeda motornya dan di jalur yang berlawanannya mobil dengan kecepatan sedang melaju dari arah jembatan, dan tabrakan pun tidak dapat dihindarkan. Shinta terkapar berlumuran darah dari kepalanya dan seluruh tulang kaki dan pahanya remuk. Dia pun meninggal dunia di jembatan yang menjadi tempat favoritnya sekaligus sebagai tempat dia pulang ke sisi Tuhannya.
Suasana duka menyelimuti teman-temannya, dan keluarga yang sangat merasa kehilangan.
“Kenapa meninggalmu begitu cepat, Shinta, kamu masih muda, masa depan ada didepanmu kebahagian belum kau raih, pahit manis hidup belum kau rasakan sepenuhnya Shinta, kenapa meninggalmu begitu tragis? Tragis sekali, apakah arti hidup bagimu, anakku?” tangis Ibu Shinta
***
Hand phone Bambang berdering dan dilayar HP tertulis Dita. Setelah diangkat Bambang, Dita menceritakan tentang hal ihwal Shinta meninggal dunia, dengan deru isak tangis, dan dia minta maaf karena telah menceritakan tentang perselingkuhan antara Bambang dengan Ani kepada Shinta.
Wajah Bambang sedikit masam memandang wajah Ani yang berada tepat berada di depannya. Sedih terpancar dari wajahnya yang tidak dapat disembunyikan.
“Apakah permainanmu sudah berakhir?” tanya Ani.
“Belum,” jawab Bambang.
“Mari kta lanjutkan permainan dalam kehidupan ini denganku, tinggalkan masa lalumu, tanggalkan Bambang yang dulu gantilah dengan Bambang yang baru. Dan Bambang yang sekarang harus siap mengahadapi dan menjalani permainan yang baru, yang lebih nyata, tidak sekedar romantika belaka,” Ani menantang.
* Penulis adalah Pimpinan Umum Mimbar Mahasiswa

Sunday, October 16, 2005

haiii

Tersangka
Aku mencoba untuk meraih impian dengan segala angan-anganku, tetapi apa aku mampu? Aku tak mampu.
##
“Benarkah namu Sunaryo? Warga Tegal Bata?” tanya hakim berkacamata.
“Benar,” aku tertunduk malu.
“Melihat bukti-bukti yang ada, menimbang pernyataan dari saksi, kami menjatuhi hukuman selama 14 bulan dan dipotong masa tahanan sementara.”
Aku berusaha tegar menghadapi ujian terberat dalam hidupku, aku pun mengatakan menerima putusan hakim, aku tidak mau berlama-lama berurusan dengan hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Sekarang aku tinggal di rumah tahanan, melamun seorng diri ditemani jeruji besi yang memisahkanku dari dunia luar yang penuh dengan kebebasan gerak. Disni uang pengap, ruang ukuran dua kali tiga, tembok berlukiskan gambar wanita telanjang, dan hitungan mundur akan harapan keluar dari dunia asing ini.
Aku menerawang jauh ke dalam angan yang akhirnya menjatuhkan hal ini, menjijikkan mendosakan dan memiluikan.
##
“Diam jangan menangis, jangan berteriak, ini adalah tahapan mental, kamu harus siap kamu harus tenang, ingat harus!” Cerdikku.
“Kenapa harus begini segala, apa tidak ada jalan lain, apa harus ditempat ini, gelap lagi,” keluh Ara.
“Sudahlah namanya juga latihan, kamu ingin tanpil di pentas atau tidak?”
“Mau dong, tapi..”
“Jadi protagonis, kamu dapat memainkan peran utama yang menggambarkan kecantikan sebagai simbol dalam hidup.”
Mataku memandang Ara, gadis masih belasan tahun yang tidak tahu apa-apa. Siang bolong ditengah suasana angin sepoi-sepoi, di gudang belakang, dipenuhi banyak kursi, kotor. Aku melampiasakan kebiasaan nafsuku padanya.
Bukannya Ara saja yang aku perlakukan begitu, ada susi, agi dan ati, semua adalah satu kelopok teman yang cantik dan manis-manis. Mereka semua trauma apa yang aku lakukan, tapi mereka pasti diam.
Jangan salahkan pada orang lain. Gumam hatiku.
Aku lulus SMA dengan predikat cukup memuaskan, banyak teman di di desaku yang tidak melanjutkan untuk kuliah di kota besar, tapi itu tidak berlaku padaku. Aku tetap teringat wajah-wajah Ara, Susi, Agi dan Ari. Wajah mereka selalu mengganggu konsentrasi tidurku. Kuliahku bahkan aktivitasku sehari-hari. Aku juga masih teringat apa yang kulakukan pada mereka. Sungguh nista.
Lara hati mencipta goresan abadi, Suka hati menutup pengalaman ngeri. Rekayasa atau bukan hanyalah sebuah fatamorgana, sikap dan kata bukanlah fakta untuk mengobati sakitku.
Goresan hati itu sering aku ucapkan dari malam ke siang. Belum ada yang bisa menutup luka akan masa lalu.
Di kota itu pula ada gadis yang mencintaiku, dia mengirimkan bunga mawar merah ke kosku. Aku semakin bingung, kenapa, seorang laki-laki diberi bunga, apa ini aku ini banci? Aku memang cowok romantis, tapi aku ini malu.
Dia itu cewek tak tahu malu, padahal aku juga adalah manusia tembok, tapi aku kalah. Suatu ada orasi politik di tengah kampus, yang aku sebagai koordiantor lapangannya merasa sangat dijebak olehnya. Waktu panas-panasnya suasana, emosi yang melonjak-lonjak, tapi kini kami langsung diam. Rita, gadis itu membawa megaphone yang direbutnya dari temanku. Dia menyuruhku untuk jongkok di depan nya. “Teman-teman seperjuangan, kursi itulah yang diperubutkan, kursi itulah yang kalian wacanakan, kursi itulah yang kalian banggakan sebagai seorang mahasiswa. Kursi itu pulalah yang telah membuta masalah pada kita semua. Kursi itu pulalah yang menidurkan semua orang akan daya magisnya. Tapi tapi yang lebih penting kursi itu adalah tempat para tersangka. Dialah Sunaryo yang menjadi tersangka cinta.”
Aku langsung berdiri, tersipu malau riuh tepuk tangan meyambutku, sebab pernyataan konyol yang keluar dari mulut manisnya ditengah suasana yang panas dan sedikit menghibur. Gelak tawa sebagai penghinaan ataupun penghargaan yang aku terima mentah-mentah atau aku lahap mentah-mentah sebagai bentuk apresiasi yang aku merasa mempunyai harga diri.
Aku sambar mikrofon dari tangannya, “Riuh riak gelombang di pantai menghantam batu pasir. Di sana ada kapal kecil dipermainkan ombak. Laut yang terasa jauh di tengah itu memberikan percikan kekuasaan padaku. Ombak, kapal itu dalam kuasa laut, dan lautlah yang berkuasa. Laut dapat membencanakan kita, laut juga dapat menguntungkan kita. Laut itu lebih berkuasa dari kita!”
Itu puisi impromtu yang aku buat di tempat itu juga, ajang orasi politik menjadi dagelan yang menghibur semua orang yang datang, aku langsung temui Rita di bawah panggung, aku ajak dia ke kantin kampus, sambil diteriaki banyak orang.
“Apa maksudmu, kau kacaukan orasi politik itu, kamu tahu aku sebagai koordinator, kacau, aku turut bertanggung jawab, apakah kau ungin menghancurkan reputasiku!”
“Kau sombong sekali! Itu arena umum, siapapun bisa ngomong! Disana sebagai warga negara. Apa hanya aktivis yang bisa seperti itu saja. Aku mahasiswa gaul pun bisa! Bisa!”
“Kau membuat malu saja!”
“Kamu saja yang bodoh. Kau terima cintaku atau tidak yang penting aku sudah mengungkapkannya, biar aku tidak mempunyai beban, biar aku lega.”
“Tidak!”
“Puisimu yang tadi kau lantangkan jelek sekali.”
Aku memang tealh menjadi tersangka cintanya, tapi aku punya penyakit lamaku.
Aku kembali mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab pentas di kotaku. Setiap minggu aku sempatkan pulang melihat anak didikku, mereka masih muda belia dan tidak tahu akan dunia nista. Bayangan kelakuanku setahun yang lalu selalu memberikan keresahan padaku.
Ari dan Ifa yang selalu menarik untuk dipandang. Mereka berdua cantik dari semua pengisi-pengisi pentas. Aku dekati mereka dengan halus, beri perhatian, mereka langsung melunak. Aku sering ajak mereka mengobrol sekitar seputar kekuasaanku dalam pentas ini, aku ceritakan bagaimana manajemen penokohan, meningkatkan sense of personal characteristic, mengimprovisasi diri kita kala bermain dan bagaimana mengendalikan emosi penonton, bukan pemain yan dikendali penonton. Mereka sangat terkagum-kagum padaku, seperti aku adalah dewa ilmu bagi mereka.
Ada kesempatan, aku beraksi, bayangan akan kepuasan yang tercapai selalu melonjak-lionjak. Dirumah kosong di desaku aku ajak meraka. Aku banyak bercerita tentang segal hal yang belum mereka kuasai sampai mereka terbuai khayalan tanpa batas, impian tak terkira.
“Berkorban adalah latihan yang penting dalam dunia pentas, tidak bisa semua orang bisa melakukannya, hanya dengan latihan, pengalaman dan pengetahuan kita bisa melaksanakan. Berkorban adalah tindakan yang sulit dilakukan, hanya orang yang ikhlas saja yang bisa. Berkorban bukanlah semata, ritual untuk dewa atau orang kuta, berkorban adalah sikap kita akan penghargaan terhadap orang yang kita hormati.”
“Tapi berkorban pasti akan menimbulkan korbanm,” sanggah Afi.
“Benar, tapi kepuasan batin, kerinduan akan pencapaian daya khayal dalam hidup akan tercipta.”
Apakah berkorban sama dengan menyerah?” tanya Ifa.
“Tidak berkorban datang dari hasil pemikian yang menyatu tidak dipengaruhi oleh situasi, menyerah itu didominasi oleh situasi.”
Mereka berdua mengangguk tanda setuu, mereka telah berhasil masuk dalam buaian jaringan perangkapku.
Mereka berdua terlentang, membujurkan rangkaian daya cipta nafsuku. Untuk kesekiankalinya aku mengulangi ini yang sudah satu tahun lamanya aku tinggalkan, aku kambuh karena mereka sendiri. Mereka hanya diam.
“Aku akan mengajarkan semua pengetahuanku untuk kalian dan kalian akan aku jadika tokoh utama dalam pentas nanti, sehingga kalian akan punya nama, karena kalian bisa, jangan menangis, berkorban sedikit tidak sakit, justru akan memberikan penghargaan yang tak terkira akan suatu rekayasa atas sutau kenginan,” bisikku pada mereka.
Yang menjadi satu hal yang menarik, aku tidak memperkosa. Karena aku tidak memaksa. Mereka tidak berkata untuk menolak sedikitpun karena mereka sadar.
Afi dan Ifa sudah memberikan suatu kepercayaan padaku, mareka sangat menganggapku sebagai guru dalam hidup. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa menjadikanku sebagai pedoman dalam curahan hati mereka. Apakah aku yang telah memberika mereka kehidupan yang berbeda dnegan yang lain? Apakah aku adalah manusia dengan keunggulan yang jarang dimiliki orang lain? Apakah aku adalah sutradara dalam kehidupan mereka selamanya? Apakah aku hanya penata rias kostumnya saja? Dan aku adalah korban dalam kehidupan mereka?
##
Radi, manatan pacar Ifa, menunjukan ketidaksukaannya padaku, dia pernah mengancamku kalau tetap dekat dengan Ifa. Bagaimana mungkin ancaman akan menjadi suatu halangan dalam langkahku selanjutnya. Akhirnya Radi dan teman-temannya menghadangku dijalan sepi, aku berkelahi dengan sekuat tenaga, tapi jumlah mereka lebih banyak sehingga tak seimbang. Aku terkapar tak berdaya.
Aku pun kembali ke kota untuk melanjutkan kuliah di semester genap. Sampai disana betapa kaget. Sampai disana aku dan beberapa temanku di kantor polisi untuk diitrogarasi atas pelaksanaan orasi politik di depan kampus. Mereka menuduh kami telah mencemar nama baik pejabat pemerintahan, demostrasi yang diadakan itu tidak mempunyai ijin dan pelecehan terhadap Undang-Undang. Nasib, aku dijadikan tersangka, aku adalah korlap, dimana teman-teman seperjuanganku ternyata dalam setiap pernyataannya memberatkakku. Aku tak kuasa melihat ini semua. Aku mencoba mengkuatkan logika pernyataan yang memberatkan hatiku. Aku tak kuasa melihat ini semua. Tapi berikan aku kesempatan untuk meminta tolong. Tapi minta tolong pada siapa?
Rita datang dengan rombongan mahsiswa yang selama ini sering diklaim apatis, berdemostrasi untuk menunutut kebebasanku. Dia membawa pengacara dari LBH yang tidak mau menerima bayaran karena melihat kasusku. Rita datang membawa masakan buatannya sendiri, soto ayam lamongan dan telur dadar kesukaanku. Dia banyak memberikan harapan-harapan akan kebebasanku dengan tim pengacara yang handal.
“Aku tak mau berurusan dengan pengadilan!”
“Ini jalan terahir, kau sudah jadi tersngka satu-satunya dan kau tidak ada yang membela di temanmu, semua pada angkat tangan atas kasusmu dan itu semua justru memperberatmu nanti.
Tahanan kota diberlakukan untukku, aku hanya dududk di kos menunggu sidang pengadilan atas kasusuku. Hanya Rita seorang yang ikut berduka dengan permasalahan yang menimpa, dia selalu memberikan nuansa pada hatiku yang gersang.
“Kemarin kau sosok aktivis yang gagah, berani dan lantang di tengah kerumunan orang, teriakanmu bisa menggerakkna massa, bicaramu laksana panglima mengendalikan prajurit dalam peperangan, gerakan jarimu bisa memajukan dan memundurkan massa. Keringatmu untuk perjuangan, capekmu sebagai bentuk kepedulian. Tapi sekrang kau seperti jago yang kalang tanding. Mana daya magis kau punya?” marah rita.
“Setiap manusia adalah aktor, dia bisa berganti peran sesuai apa yang diinginkan atau sesuai dengan konteks di sekitarnya. Aktor itulah yang mengontrol psikoanlisisnya, mengupgrade kharakteristiknya dan memantangkannnya, tapi aktor tetap berada dalam pengarahan sutradara.”
“Terus kamu menyerah pada sutradaramu?”
“Ya.”
“Bodoh cari sutradara lain saja.”
“Jangan turut camur ini hiudpku, emangnya kau milikmu!”
“Aku masih berharap padamu, aku tidak mengatur hidupmu, aku cuma beri perhatian,”
“Apa... perhatian itu sama saja ngatur. Punya prinsip dikit dong! Dasar wanita memang tidak punya prinsip!”
“Ya sudah, terima kasih!”
“Maaf Rita, terima kasih”
##
Usaha Rita tak sia-sia, aku melenggang manis di pengadilan yang memojokkanku didepan hakim jaksa dan pengacara. Aku pun pengajukan pledoi.
“Hadirin semua yang saya hormati. Aku merasa apa yang yang saya lakukan bukanlah perjuangan yang murni. Apa yang saya lakukan hanya untuk menghibur diri dari rutinitas kuliah yang cenderung membosankan. Teriak-teriak, loncat-loncat, ditengah demonstrasi adalah hiburan yang menyegarkan otakku, karena hanya itu yang bisa menghilangkan akan dosa-dosa masa lalu yang aku lakukan. Aku ingin menghibur orang-orang tertindas. Hanya itu yang aku bisa. Hidup adalah jalan demi jalan untuk dilalui jalan aku harus mengalah, langkah demi langkah dan terakhir akan mencapai ribuan langkah. Aku tidak mengitung sudah berapa langkahku sekarang. Karena ribuan kilometer yang akan saya lampui akan berawal dari satu langkah. Menghibur dan melangkah adalah persembahanku.” Pembelaanku.
Tepuk tangan menggema dan aku tahu di luar Rita dan kawan-kawannya masih berdemo memberikan dukungan padaku
“Berdasarkan bukti-bukti yang ada, menimbang pernyataan dari saksi-saksi, tersangka Sunaryo dinyatakan bebas dari segala tuntutan.”
Aku pun tersenyum dan mendapatkan sanjungan, pujian dari teman-temanku. Aku keluar menemui Rita dan teman-temannya. Aku bak pahlawan. Aku membisikkan satu kost padanya, “Maaf” dia membalas ”aku sadar kau bukan orang yang normal, kau terlalu berani.”
##
Sesampainya di kos, seorang temanku menyampaikan ada surat yang baru datang dari pagi. Aku baca surat itu, kaget sekali, surat berkop kepolisian dan aku dibaca aku dipanggil ke kantor polisi di kotaku dan langsung dinyatakan sebagai tersangka untuk ketiga kalinya.
Akupun bertangungjawab apa yang telah kulakukan. Aku tahu akau berusaha takkan meneyarah dan meyesal.
Baru kemarin aku disanjung, sekarang aku dicaci. Aku akan menjadi orang nista yang terbuang dari dunia nyata. Aku menghadapi sidang tetutup hanya dihadiri saksi dan orang tua ku. Aku percaya ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, laksana bumi, tanah, air yang menyatu menjadi organisme yang besar berkembang seiring dengan waktu yang berlalu. Semua adalah kesatuan yang satu dalam hidup.