Sunday, October 16, 2005

haiii

Tersangka
Aku mencoba untuk meraih impian dengan segala angan-anganku, tetapi apa aku mampu? Aku tak mampu.
##
“Benarkah namu Sunaryo? Warga Tegal Bata?” tanya hakim berkacamata.
“Benar,” aku tertunduk malu.
“Melihat bukti-bukti yang ada, menimbang pernyataan dari saksi, kami menjatuhi hukuman selama 14 bulan dan dipotong masa tahanan sementara.”
Aku berusaha tegar menghadapi ujian terberat dalam hidupku, aku pun mengatakan menerima putusan hakim, aku tidak mau berlama-lama berurusan dengan hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Sekarang aku tinggal di rumah tahanan, melamun seorng diri ditemani jeruji besi yang memisahkanku dari dunia luar yang penuh dengan kebebasan gerak. Disni uang pengap, ruang ukuran dua kali tiga, tembok berlukiskan gambar wanita telanjang, dan hitungan mundur akan harapan keluar dari dunia asing ini.
Aku menerawang jauh ke dalam angan yang akhirnya menjatuhkan hal ini, menjijikkan mendosakan dan memiluikan.
##
“Diam jangan menangis, jangan berteriak, ini adalah tahapan mental, kamu harus siap kamu harus tenang, ingat harus!” Cerdikku.
“Kenapa harus begini segala, apa tidak ada jalan lain, apa harus ditempat ini, gelap lagi,” keluh Ara.
“Sudahlah namanya juga latihan, kamu ingin tanpil di pentas atau tidak?”
“Mau dong, tapi..”
“Jadi protagonis, kamu dapat memainkan peran utama yang menggambarkan kecantikan sebagai simbol dalam hidup.”
Mataku memandang Ara, gadis masih belasan tahun yang tidak tahu apa-apa. Siang bolong ditengah suasana angin sepoi-sepoi, di gudang belakang, dipenuhi banyak kursi, kotor. Aku melampiasakan kebiasaan nafsuku padanya.
Bukannya Ara saja yang aku perlakukan begitu, ada susi, agi dan ati, semua adalah satu kelopok teman yang cantik dan manis-manis. Mereka semua trauma apa yang aku lakukan, tapi mereka pasti diam.
Jangan salahkan pada orang lain. Gumam hatiku.
Aku lulus SMA dengan predikat cukup memuaskan, banyak teman di di desaku yang tidak melanjutkan untuk kuliah di kota besar, tapi itu tidak berlaku padaku. Aku tetap teringat wajah-wajah Ara, Susi, Agi dan Ari. Wajah mereka selalu mengganggu konsentrasi tidurku. Kuliahku bahkan aktivitasku sehari-hari. Aku juga masih teringat apa yang kulakukan pada mereka. Sungguh nista.
Lara hati mencipta goresan abadi, Suka hati menutup pengalaman ngeri. Rekayasa atau bukan hanyalah sebuah fatamorgana, sikap dan kata bukanlah fakta untuk mengobati sakitku.
Goresan hati itu sering aku ucapkan dari malam ke siang. Belum ada yang bisa menutup luka akan masa lalu.
Di kota itu pula ada gadis yang mencintaiku, dia mengirimkan bunga mawar merah ke kosku. Aku semakin bingung, kenapa, seorang laki-laki diberi bunga, apa ini aku ini banci? Aku memang cowok romantis, tapi aku ini malu.
Dia itu cewek tak tahu malu, padahal aku juga adalah manusia tembok, tapi aku kalah. Suatu ada orasi politik di tengah kampus, yang aku sebagai koordiantor lapangannya merasa sangat dijebak olehnya. Waktu panas-panasnya suasana, emosi yang melonjak-lonjak, tapi kini kami langsung diam. Rita, gadis itu membawa megaphone yang direbutnya dari temanku. Dia menyuruhku untuk jongkok di depan nya. “Teman-teman seperjuangan, kursi itulah yang diperubutkan, kursi itulah yang kalian wacanakan, kursi itulah yang kalian banggakan sebagai seorang mahasiswa. Kursi itu pulalah yang telah membuta masalah pada kita semua. Kursi itu pulalah yang menidurkan semua orang akan daya magisnya. Tapi tapi yang lebih penting kursi itu adalah tempat para tersangka. Dialah Sunaryo yang menjadi tersangka cinta.”
Aku langsung berdiri, tersipu malau riuh tepuk tangan meyambutku, sebab pernyataan konyol yang keluar dari mulut manisnya ditengah suasana yang panas dan sedikit menghibur. Gelak tawa sebagai penghinaan ataupun penghargaan yang aku terima mentah-mentah atau aku lahap mentah-mentah sebagai bentuk apresiasi yang aku merasa mempunyai harga diri.
Aku sambar mikrofon dari tangannya, “Riuh riak gelombang di pantai menghantam batu pasir. Di sana ada kapal kecil dipermainkan ombak. Laut yang terasa jauh di tengah itu memberikan percikan kekuasaan padaku. Ombak, kapal itu dalam kuasa laut, dan lautlah yang berkuasa. Laut dapat membencanakan kita, laut juga dapat menguntungkan kita. Laut itu lebih berkuasa dari kita!”
Itu puisi impromtu yang aku buat di tempat itu juga, ajang orasi politik menjadi dagelan yang menghibur semua orang yang datang, aku langsung temui Rita di bawah panggung, aku ajak dia ke kantin kampus, sambil diteriaki banyak orang.
“Apa maksudmu, kau kacaukan orasi politik itu, kamu tahu aku sebagai koordinator, kacau, aku turut bertanggung jawab, apakah kau ungin menghancurkan reputasiku!”
“Kau sombong sekali! Itu arena umum, siapapun bisa ngomong! Disana sebagai warga negara. Apa hanya aktivis yang bisa seperti itu saja. Aku mahasiswa gaul pun bisa! Bisa!”
“Kau membuat malu saja!”
“Kamu saja yang bodoh. Kau terima cintaku atau tidak yang penting aku sudah mengungkapkannya, biar aku tidak mempunyai beban, biar aku lega.”
“Tidak!”
“Puisimu yang tadi kau lantangkan jelek sekali.”
Aku memang tealh menjadi tersangka cintanya, tapi aku punya penyakit lamaku.
Aku kembali mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab pentas di kotaku. Setiap minggu aku sempatkan pulang melihat anak didikku, mereka masih muda belia dan tidak tahu akan dunia nista. Bayangan kelakuanku setahun yang lalu selalu memberikan keresahan padaku.
Ari dan Ifa yang selalu menarik untuk dipandang. Mereka berdua cantik dari semua pengisi-pengisi pentas. Aku dekati mereka dengan halus, beri perhatian, mereka langsung melunak. Aku sering ajak mereka mengobrol sekitar seputar kekuasaanku dalam pentas ini, aku ceritakan bagaimana manajemen penokohan, meningkatkan sense of personal characteristic, mengimprovisasi diri kita kala bermain dan bagaimana mengendalikan emosi penonton, bukan pemain yan dikendali penonton. Mereka sangat terkagum-kagum padaku, seperti aku adalah dewa ilmu bagi mereka.
Ada kesempatan, aku beraksi, bayangan akan kepuasan yang tercapai selalu melonjak-lionjak. Dirumah kosong di desaku aku ajak meraka. Aku banyak bercerita tentang segal hal yang belum mereka kuasai sampai mereka terbuai khayalan tanpa batas, impian tak terkira.
“Berkorban adalah latihan yang penting dalam dunia pentas, tidak bisa semua orang bisa melakukannya, hanya dengan latihan, pengalaman dan pengetahuan kita bisa melaksanakan. Berkorban adalah tindakan yang sulit dilakukan, hanya orang yang ikhlas saja yang bisa. Berkorban bukanlah semata, ritual untuk dewa atau orang kuta, berkorban adalah sikap kita akan penghargaan terhadap orang yang kita hormati.”
“Tapi berkorban pasti akan menimbulkan korbanm,” sanggah Afi.
“Benar, tapi kepuasan batin, kerinduan akan pencapaian daya khayal dalam hidup akan tercipta.”
Apakah berkorban sama dengan menyerah?” tanya Ifa.
“Tidak berkorban datang dari hasil pemikian yang menyatu tidak dipengaruhi oleh situasi, menyerah itu didominasi oleh situasi.”
Mereka berdua mengangguk tanda setuu, mereka telah berhasil masuk dalam buaian jaringan perangkapku.
Mereka berdua terlentang, membujurkan rangkaian daya cipta nafsuku. Untuk kesekiankalinya aku mengulangi ini yang sudah satu tahun lamanya aku tinggalkan, aku kambuh karena mereka sendiri. Mereka hanya diam.
“Aku akan mengajarkan semua pengetahuanku untuk kalian dan kalian akan aku jadika tokoh utama dalam pentas nanti, sehingga kalian akan punya nama, karena kalian bisa, jangan menangis, berkorban sedikit tidak sakit, justru akan memberikan penghargaan yang tak terkira akan suatu rekayasa atas sutau kenginan,” bisikku pada mereka.
Yang menjadi satu hal yang menarik, aku tidak memperkosa. Karena aku tidak memaksa. Mereka tidak berkata untuk menolak sedikitpun karena mereka sadar.
Afi dan Ifa sudah memberikan suatu kepercayaan padaku, mareka sangat menganggapku sebagai guru dalam hidup. Aku tidak tahu kenapa mereka bisa menjadikanku sebagai pedoman dalam curahan hati mereka. Apakah aku yang telah memberika mereka kehidupan yang berbeda dnegan yang lain? Apakah aku adalah manusia dengan keunggulan yang jarang dimiliki orang lain? Apakah aku adalah sutradara dalam kehidupan mereka selamanya? Apakah aku hanya penata rias kostumnya saja? Dan aku adalah korban dalam kehidupan mereka?
##
Radi, manatan pacar Ifa, menunjukan ketidaksukaannya padaku, dia pernah mengancamku kalau tetap dekat dengan Ifa. Bagaimana mungkin ancaman akan menjadi suatu halangan dalam langkahku selanjutnya. Akhirnya Radi dan teman-temannya menghadangku dijalan sepi, aku berkelahi dengan sekuat tenaga, tapi jumlah mereka lebih banyak sehingga tak seimbang. Aku terkapar tak berdaya.
Aku pun kembali ke kota untuk melanjutkan kuliah di semester genap. Sampai disana betapa kaget. Sampai disana aku dan beberapa temanku di kantor polisi untuk diitrogarasi atas pelaksanaan orasi politik di depan kampus. Mereka menuduh kami telah mencemar nama baik pejabat pemerintahan, demostrasi yang diadakan itu tidak mempunyai ijin dan pelecehan terhadap Undang-Undang. Nasib, aku dijadikan tersangka, aku adalah korlap, dimana teman-teman seperjuanganku ternyata dalam setiap pernyataannya memberatkakku. Aku tak kuasa melihat ini semua. Aku mencoba mengkuatkan logika pernyataan yang memberatkan hatiku. Aku tak kuasa melihat ini semua. Tapi berikan aku kesempatan untuk meminta tolong. Tapi minta tolong pada siapa?
Rita datang dengan rombongan mahsiswa yang selama ini sering diklaim apatis, berdemostrasi untuk menunutut kebebasanku. Dia membawa pengacara dari LBH yang tidak mau menerima bayaran karena melihat kasusku. Rita datang membawa masakan buatannya sendiri, soto ayam lamongan dan telur dadar kesukaanku. Dia banyak memberikan harapan-harapan akan kebebasanku dengan tim pengacara yang handal.
“Aku tak mau berurusan dengan pengadilan!”
“Ini jalan terahir, kau sudah jadi tersngka satu-satunya dan kau tidak ada yang membela di temanmu, semua pada angkat tangan atas kasusmu dan itu semua justru memperberatmu nanti.
Tahanan kota diberlakukan untukku, aku hanya dududk di kos menunggu sidang pengadilan atas kasusuku. Hanya Rita seorang yang ikut berduka dengan permasalahan yang menimpa, dia selalu memberikan nuansa pada hatiku yang gersang.
“Kemarin kau sosok aktivis yang gagah, berani dan lantang di tengah kerumunan orang, teriakanmu bisa menggerakkna massa, bicaramu laksana panglima mengendalikan prajurit dalam peperangan, gerakan jarimu bisa memajukan dan memundurkan massa. Keringatmu untuk perjuangan, capekmu sebagai bentuk kepedulian. Tapi sekrang kau seperti jago yang kalang tanding. Mana daya magis kau punya?” marah rita.
“Setiap manusia adalah aktor, dia bisa berganti peran sesuai apa yang diinginkan atau sesuai dengan konteks di sekitarnya. Aktor itulah yang mengontrol psikoanlisisnya, mengupgrade kharakteristiknya dan memantangkannnya, tapi aktor tetap berada dalam pengarahan sutradara.”
“Terus kamu menyerah pada sutradaramu?”
“Ya.”
“Bodoh cari sutradara lain saja.”
“Jangan turut camur ini hiudpku, emangnya kau milikmu!”
“Aku masih berharap padamu, aku tidak mengatur hidupmu, aku cuma beri perhatian,”
“Apa... perhatian itu sama saja ngatur. Punya prinsip dikit dong! Dasar wanita memang tidak punya prinsip!”
“Ya sudah, terima kasih!”
“Maaf Rita, terima kasih”
##
Usaha Rita tak sia-sia, aku melenggang manis di pengadilan yang memojokkanku didepan hakim jaksa dan pengacara. Aku pun pengajukan pledoi.
“Hadirin semua yang saya hormati. Aku merasa apa yang yang saya lakukan bukanlah perjuangan yang murni. Apa yang saya lakukan hanya untuk menghibur diri dari rutinitas kuliah yang cenderung membosankan. Teriak-teriak, loncat-loncat, ditengah demonstrasi adalah hiburan yang menyegarkan otakku, karena hanya itu yang bisa menghilangkan akan dosa-dosa masa lalu yang aku lakukan. Aku ingin menghibur orang-orang tertindas. Hanya itu yang aku bisa. Hidup adalah jalan demi jalan untuk dilalui jalan aku harus mengalah, langkah demi langkah dan terakhir akan mencapai ribuan langkah. Aku tidak mengitung sudah berapa langkahku sekarang. Karena ribuan kilometer yang akan saya lampui akan berawal dari satu langkah. Menghibur dan melangkah adalah persembahanku.” Pembelaanku.
Tepuk tangan menggema dan aku tahu di luar Rita dan kawan-kawannya masih berdemo memberikan dukungan padaku
“Berdasarkan bukti-bukti yang ada, menimbang pernyataan dari saksi-saksi, tersangka Sunaryo dinyatakan bebas dari segala tuntutan.”
Aku pun tersenyum dan mendapatkan sanjungan, pujian dari teman-temanku. Aku keluar menemui Rita dan teman-temannya. Aku bak pahlawan. Aku membisikkan satu kost padanya, “Maaf” dia membalas ”aku sadar kau bukan orang yang normal, kau terlalu berani.”
##
Sesampainya di kos, seorang temanku menyampaikan ada surat yang baru datang dari pagi. Aku baca surat itu, kaget sekali, surat berkop kepolisian dan aku dibaca aku dipanggil ke kantor polisi di kotaku dan langsung dinyatakan sebagai tersangka untuk ketiga kalinya.
Akupun bertangungjawab apa yang telah kulakukan. Aku tahu akau berusaha takkan meneyarah dan meyesal.
Baru kemarin aku disanjung, sekarang aku dicaci. Aku akan menjadi orang nista yang terbuang dari dunia nyata. Aku menghadapi sidang tetutup hanya dihadiri saksi dan orang tua ku. Aku percaya ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, laksana bumi, tanah, air yang menyatu menjadi organisme yang besar berkembang seiring dengan waktu yang berlalu. Semua adalah kesatuan yang satu dalam hidup.

No comments: