Bapakku Kawin Lagi
“Siapa yang peduli denganku! Aku bekerja mulai fajar menyingsing ditambah satu ukuran tongkat yang ditancapkan ditanah di tengah lapangan, pulang ketemu istri yang cemberut dan suka marah-marah, memangnya saya sebagaii suami hanya diciptakan menjadi robot penggaruk uang, setelah uang didapat, diserahkan lalu ...” suara lantang bapakku.
“Aku ini istrimu! Sudah delapan belas tahun aku disampingmu, kok bicara tentang peduli atau peduli, itu ‘kan sudah kuno! Peduli itu masalah waktu kita pacaran dulu, tapi sekarang kita bicara tentang realita, Pak!” tegar ibuku.
“Aku tahu realita adalah andalanmu! Yang selalu kau gunakan sebagai mortir penghancur setiap kita ada masalah,” jawab bapakku.
“Akhir-akhir ini, Bapak sering marah-marah, kadang aku pun tidak masalah kenapa Bapak marah. Dulu Bapak jarang begitu, selalu periang, setiap hari selalu menjadi oarang yang bijaksana sekaligus pengayom keluarga, dan setiap pembicaraanmu selalu menyejukkan dan memberikan kedamaian, tapi kini....” bantah ibuku.
“Memangnya kenapa kalau ada perubahan!” bantah Bapakku.
“Tidak ada salahnya, tetapi kalau perubahan menuju kebaikan itu akan sangat dihargai, tetapi kalau perubahan menuju kehancuran itu yang menjadi tanda tanya,” bimbangnya ibuku.
Suara lantang bapakku dan lengkingan suara ibu menjadi saingan sound system dikamarku, dan hampir setiap hari. Herannya mereka adu mulut setelah bapakku pulang dari sumber uang yang memberi penghidupan kepada kami sekeluarga. Sore menjelang malam, insiden itu pasti terjadi, ketika bintang siang mulai kembali keperaduannya dan binatang malam menempati posisi favoritnya untuk menghabiskan malam indah. Tetapi sejauh ini, bapak dan ibuku belum sampai dalam fase pisah ranjang, yang kadang bagi pasangan suami istri menjadi suatu tanda akan terjadinya titik kehancuran.
Bapakku adalah orang biasa, aku sangat kagum padanya akan sikap kejujurannnya. Hal yang selalu aku ingat wejangan bapakku “Orang sukses, orang kaya, orang cerdas, orang yang menjadi penguasa tidak akan mempunyai harga diri jika tidak mempunyai kejujuran.” Dia bekerja pada sebuah bank swasta ternama di kotaku, tepatnya di bagian perkreditan yang merupakan lahan basah di institusi itu. Dia sering ditawari suap oleh nasabahnya agar mendapatkan kelancaran kredit, sebenarnya itu merupakan peluang emas di depan mata, tetapi selalu ditolak bapakku. Walaupun banyak teman sekantornya yang sudah bermobil berkelas menengah, tetapi bapakku dengan percaya dirinya memakai sepeda motor butut buatan tahun delapan puluhan. Karena kejujurannya dia sempat ditawari jabatan ditingkat pusat, tetapi dia menolaknya karena ingin memberikan perhatian pada aku dan adikku.
Kalau ibu merupakan orang desa yang sangat desa dan dia juga orang desa pernah mengenyam bau pendidikan, sehingga dia rajin membaca mulai dari buku menu masakan sampai novel-novel Shidney Sheldon, dan novel favoritnya adalah The Lead Plan, kisah tentang seorang pimpanan umum sebuah media yang berusaha keras memperjuangakan medianya sampai banting tulang dan banting pemikiran yang disusun dengan rencana-rencana yang sempurna, yang dia sewa dari persewaan buku di kota. Aku akui ibuku memang suka memasak, sampai-sampai kami sekeluarga tidak pernah sama sekali makan di warung, misalnya kalau aku berangkat sekolah aku selalu membawa bekal yang disiapkan ibu, dan ibuku selalu berpesan jangan makan sembarangan. Tumis kacang hijau, sayur lodeh dan tempe goreng selalu aku rindukann dimanapun aku berada. Ibuku disamping ibu di rumah, dia juga seorang petani yang hebat, dia mengembangkan sawah yang dulu milik kakekku, memiliki bisnis pertokoan obat-obat dan pupuk pertanian, dan perusahaan penggilingan padi yang dia geluti.
Kalau dilihat dari segi penghasilan, uang yang didapatkan bapakku jauh lebih kecil dari apa yang didapat ibuku. Mungkin karena hal itu atau hal yang lain setiap adu mulut, ibu selalu bisa menangkis semua serangan.
Bagiku ibu dan bapakku adalah teman yang baik, walaupun umur memisahkan, tetapi hati menyatukan.
***
Aku selalu ingat bagaimana ibu selalu menuangkan segala perasaan yang yang dia alami kepadaku, kalau kami berdua curhat bisa berjam-jam. Waktu itu aku pernah bercerita tentang seorang cewek yang menembakku. Gadis itu sudah SMA, sementara aku masih sekolah dengan celana pendek. Cewek itu anak orang kaya dan cantik, tetapi ada hal yang membuatku bimbang karena cewek itu berlainan keyakinan denganku. Hal aneh dia katakan padaku pada menembak adalah dia menyukaiku karena aku orangnya cool dan cuek. Dalam hatiku, aku ingin menolak tembakan cinta itu, tetapi ibuku malah memberikan saran agar aku menerima tembakan asmara itu. “Cinta itu seperti kita belajar matematika, kalau kamu jarang latihan mengotk-atik rumus, kamu tidak akan bisa, jadi kamu harus mencoba, dan tidak ada salahnya mencoba,” itulah nasehat ibuku. Cinta itu datangnya bukan dari uang, tetapi dari hati. Dalam hatiku kenapa ibuku bisa berkata seperti itu? Wah.. paling ini pengaruh kebanyakan baca novel. Tetapi aku senang saja karena lampu hijau dari ibuku sudah menyala. Jika aku bercerita tentang masalah cewek kepada bapakku, dia langsung naik pitam, karena saya tahu bahwa bapakku selalu menekan kepada anaknya yaitu pendidikan dan agama, berbeda dengan ibu yang selalu menekankan pada perhatian dan pemberian rasa tanggungjawab.
Tapi itu dua tahun yang lalu, sekarang suasana harmoni sudah hampir sirna yang ada hanya suara suasana tanda tanya yang menyelimuti keluarga kami. Cuma adikku yang baru kelas enam Sekolah Dasar saja yang sangat cuek, tertawa seperti tanpa beban, menangis jika tidak dibelikan mainan dan selalu bermain sepanjang hari tanpa mengenal jam, Cuma dia mengenal teriakan ibuku yang memintanya untuk pulang.
Jam tidur rumah yang biasanya jam sepuluh malam, tetapi sekarang jam setengan sembilan malam saja sudah sepi. Habis makan malam, kami sudah mengambil posisi masing-masing ditempat tidur masing-masing.
Semua hal berubah di dalam keluarga. Aku harus bagaimana lagi?
Apa ini musibah yang bagi keluargaku, kenapa tanda-tanda akan datangnya musibah ini begitu cepat, kenapa tidak dari dulu saja, kenapa harus sekarang?
***
Hari minggu, kecuali kalau kami tidak pergi ke sawah hanya sekedar untuk mengecek dan memberikan semangat kepada pekerja, kami biasanya duduk diteras, sekedar mengobrol bersama, bercerita pengalaman yang kami lalui selama satu minggu, disamping kami biasanya bercerita pada waktu makan malam. Tetapi hari minggu ini, benar-benar garing tidak ada sesuatu yang membuat segar kembali dari aktivitasku selama minggu ini, karena setiap aku lihat wajah-wajah yang dulu mencerminkan aura kebahagian, sekarang aura itu hampir-hampir musnah, kecuali adikku.
“Bu, bapakku kemana?” tanyaku.
“Sejak pagi dia pergi,” jawab ibuku singkat.
“Kemana, biasanya dia ‘kan selalu bilang kemana dia pergi,” cerewetku.
“Tidak tahu.”
“Ada masalah apa? Sepertinya disembunyikan sekali?”
“Nanti kamu akan tahu dengan sendirinya.”
“Ibu sudah tidak percaya lagi padaku?”
“Ini bukan sembarang masalah.”
Ibuku yang sangat aku banggakan sekarang hanya bisa diam, diam yang penuh beban, beban permasalahan keluarga yang dia pikul. Ibu yang selalu bercerita tentang segala hal, bahkan dia pernah bercerita tentang kisah percintaannya dengan bapakku. Dimana dulu ibuku adalah murid dari bapakku waktu belajar mengaji di Mushala di desa. Ibu dan bapakku merupakan pemuda dan pemudi yang aktif dalam kegiatan kepemudaan, mulai dari karang taruna sampai persatuan sepak bola desa ikut mereka tangani. Dan kata nenekku bahwa pasangan ibu dan bapakku merupakan pasangan abadi. Tetapi ini kembali kepada mereka sendiri dan aku sebagai anak.
Aku sangat senang dengan prediksi nenekku, tetapi kenyataannya dalam minggu ini keadaan benar-benar genting. Selama delapan belas tahun, yang aku tahu tidak ada kejadian-kejadian yang benar-benar mengkuatirkan. Apakah ini hanya merupakan lika-liku kehidupan yang harus dijalani dalam menempuh bahtera rumah tangga. Keluarga itu seperti kapal layar yang mengarungi samudra nan luas, dilengkapi dengan layar yang lebar menambah kecepatan, gayuh sebagai bantuan untuk menambah kecepatan, ban karet yang digunakan jika keadaan benar-benar membahayakan. Pemimpin perahu layar adalah nahkoda yang bertanggungjawab penuh terhadap kapal itu, dan dia mempunyai awak perahu layar yang ikut mendukung keberhasilan pelayaran. Gelombang arus laut yang ganas, kadang disertai badai yang begitu mengerikan, bisa mencapai lima kali lipat tinggi perahu layar. Pemimpin dan awak perahu harus bersatu dengan strategi dan pengalaman yang ada untuk bisa mengatasi keadaan bencana ini. Biasanya gelombang arus yang ganas biasanya dialami jika mau melewati batas segara (laut) biru yang berad ditengah samudra atau lautan luas, dimana airnya bening sekali tanpa kotoran, dan ikan yang hidup disana adalah ikan-ikan besar.
***
Rumor tidak sedap pun sudah menjadi pendengaran yang umum tentang keluargaku, ibu-ibu di arisan sela-sela perbincangan mereka, sampai-sampai hampir semua penduduk kampung tempat tinggalku sudah mengetahui tentang beih-benih keretekan pada keluargaku. Tetapi hari berlalu rumor itu menjadi pendengaran yang tidak sedap bagiku.
“Kenapa banyak orang yang memperbincangkan keluarga kita? tanya ibuku.
“Ini semua salahmu, kaulah penyebabnya!” jawab ibuku.
“Apa, wanita hanya bisa menyalahkan!” tegas bapakku, “semua orang pasti mempunyai kesalahan, tidak ada manusia yang sempurna, manusia bosa sempurna hanya menurutnya saja, tetapi belem tentu menurut orang lain, untuk menggapai kesempurnaan manusia harus berkorban dan ada yang dikorbankan.”
“Hoo...Hoo..., kamu ingin mengorbankan keluargamu yang sudah kau bina bertahun-tahun untuk menggapai impian dan tujuanmu, tujuan gilamu, hanya untuk memenuhi egomu,” tegas ibuku. Manusia itu memang mempunyai ego tetapi bagaimana cara kita saja memberikan batasan dari ego kita, jika ego tetap dipaksakan bukan lagi bukannya vitamin yang kita dapatkan tetapi virus. Apakah kamu sudah sangat bergantung pada ucapan pujangga dan kata-kata dalam buku tua.”
“Penyakit pasti ada obatnya, aku ingin obatnya, aku sudah beli obat, kenyataannya tidak kamu minum?”
“Bagaimanapun yang terjadi penyakit sangat bergantung pada orang yang menderitanya, karena semangat untuk sempuh dari penyakit itu akan membangunkan antibodi dalam tubuh untuk melawan virus-virus ganas yang bisa merenggut nyawa.”
Pertengkaran yang sangat membingungkan, yidak menuju ke arah titik terang, sehingga sangat sulit bisa membanyangkan apa yang akan terjadi nanti. Apa aku akan membiarkan mereka, seiring waktu berjalan dengan permasalahan yang aku sendiri sulit untuk mengerti. Penyatuan persepsi itulah yang paling sulit dibangun, karena ini merupakan masalah yang cukup riskan dalam suatu keluarga. Padahal mereka ‘kan sudah tua, kenapa tidak sadar-sadar.
Akhirnya rumor tidak sedap itu sampai ditelinga kakek dan nenekku, mereka datang kerumah untuk mendengarkan kebenarannya. Tetapi yang aku lihat bapak dan ibuku tidak jujur mengatakan hal yang sebenarnya, bahkan terkesan menutupi-nutupi. Bapak dan ibuku tidak ingin melibatkan pihak ketiga dalam konflik yang mereka alami, karena turut campurnya pihak ketiga dapat memicu ledakan-ledakan baru. “Rumah adalah tabungan masa depan. Tabungan untuk menghadapi masa tua, bayangkan bagaimana jika orang tidak mempunyai keluarga, betapa menderitanya dia, tidak ada yang merawat di kala sakit, tidak ada yang memperingatkan kala salah, tidak ada yang mendoakan kala mati dan tidak ada yang mewarisi harta dan nama baik keluarga jika orang sudah tidak ada,” ujar kakekku.
Nenekku sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, bahkan dia sudah hidup di banyak jaman, mualai jaman belanda, jaman jepang, jaman kemerdekaan, jaman pembangunan, sampai jaman reformasi. “Aku tidak ingin keluarga yang sempurna ini akhirnya hancur karena ego kalian itu. Jangan hanya turuti nafsu kalian yang bermain dalam gejolak jiwa. Lihatlah kedepan, anak-anak kalian yang belem terlalu siap menghadapi dunia nyata akan kalian abaikan begitu saja hanya karena masalah ini, apakah kalian akan ikut menghancurkan mereka? Seperti hancurnya kalian nanti, pikirkan itu?”
Nasehat yang diberikan kakek dan nenekku seolah-olah seperti angin semilir yang berlalu, aku masih ingat dalam memoriku ketika nenek dan kakekku ikut campur tangan dalam masalah keluarga bibiku, aku tidak mengeri mengapa akhir-akhirnya keluarga bibiku hancur, apa ini akibat campur tangan orang tua? Tapi ini ‘kan beda permasalahan dengan keluarganya bibiku. Kalau masalah yag dialaminya adalah masalah sepele, yaitu masalah penjualan tanah warisan oleh suaminya bibiku, dan ini dipermasalahkan oleh bibiku, karena uang hasil penjualan itu tidak jelas kemana larinya. Terus kakek dan nenekku menyarankan untuk bercerai karena mempunyai suam yang tidak jelas alur hidupnya. Mungkin kakek dan nenenku menyarankan bercerai sebagai jaln terakhir dan yang terbaik dalam menyelesaikan permasalahan. Herannya suami bibiku tidak mau menceraikan bibiku, sehingga bibiku hidup tanpa kejelasan dalam rumah tangga karena ditinggal suami. Karena trauma dalam kegagalan rumah tangga, akhirnya bibiku tidak mau menikah lagi, dia hanya mengurusi anak-anaknya yang masih kecil, dan kalau dia pergi ke sawah anaknya dititipkan ke tetangga. Betapa tragis hidupnya.
Tapi dalam hati orang tua akan sangat senang jika anak-anaknya hidup bahagia dalam meniti tangga dunia yang kadang kita harus terpeleset dan kalau berhasilnya kita akan mencapai puncak. Cuma kadang-kadang pendekatan yang dilakukan orang tua tidak tepat sehingga hasilnya juga kurang tepat.
Apakah kehancuran keluarga bibiku akan terjadi pada keluargaku?
***
Aku menatap langit yang sedang menurunkan air hujannya ke bumi. Aku melihat bayang-bayang disana, tampak bapak, ibu, adikku dan aku sendiri sedang bercanda tanpa henti di sserambi depan rumah, yang menunjukan keharmonisan keluarga yang dapat dijadikan obat penyejuk hati dan menjadi penyemangat yang membara dalam hati untuk menggapai cita-cita yang belum tercapai. Bayang-bayang itu hangus begitu saja, digantikan oleh bayang-bayang rumahku terbakar dengann api yang menjilat semua barang-barang dirumah yang menjadi kenanganku, ibuku tampak menggendong adikku mengajaknya segera keluar dari rumah, dan bapakku hanya tertawa di luar, tidak menolong kami.
Ahhh.. apa itu semua hanya sebuah fatamorgana saja, kenapa harus dibuat pusing.
Aku pun menatap langit yang kelam itu, aku lihat bayangan bapakku sedang mengkemasi barang-barang dan pakaiannya, lalu setelah tanpa pamit dia meninggalkan kami, dengan wajah muram.
***
Pagi yang cerah, secerah harapan akan hari ini yang lebih baik. Burung-burung berhinggapan di ranting-ranting pohon disekitar rumah yang bernyayi ria menyambut pagi nan indah. Mereka saling bersahut sahutan seolah-olah memberikan semangat untuk menjalani hari ini. Mereka beterbangan kesan semari lincah, tanpa beban, hanya dengan mengepakkan sayapnya kemana tujuan mereka yang diingini.
Pagi-pagi itu, ada yang mengetuk pintu. Kenapa pagi seperti ini ada tamu ya? Aku pun langsung membukakan pintu. Seperti disambar petir aku melihat bapakku datang dengan seoarng wanita cantik, lebih cantik daripada ibuku.
“Dimana ibumu? Tanya bapakku. Akupun langsung memanggil ibu dan adikku. Kami semua berada di ruang tamu.
Tanpa basa basi lebih adahulu bapakku langsung berkata, ”Aku akan menikah lagi, tapi aku tidak mau menceraikan kamu, akau mau menjadikan kamu sebagai istri pertama, dan Sulasmi sebagai istri keduaku.”
Aku pun tertegun, ibu dengan tegarnya hanya bisa diam. Adikku pun berceloteh, “Bapakku kawin lagi.”
Apakah dengan bapakku kawin lagi adalah sumber permasalahan selama ini? Apakah mempunyai istri sebagai suatu kebanggaan bagi bapakku? Atau hanya menuruti kata pujangga dan buku-buku kuno yang ditafsirkan secara tekstual tidak secara kontekstual?
Apapun itu beristri dua atau tiga akan ada pihak yang dilemahkan dan pihak dikuatkan, ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan, karena menjadi manusia sempurna adalah suatu yang sulit terwujud. Bagaimanpunyang terjadi bapakku kawin lagi adalah sebuah tragedi yang menyayat hati dan memeras air mata dalam hidupku, ibuku dan adikku.
Tapi aku tidak mengerti bagaimana pendapat ibuku tentang beristri dua, apakah juga sama dengan pelajaran matematika?
Pemalang, Februari 2004
1 comment:
klo gtu sma donk pa,,,,
Post a Comment