Wednesday, April 22, 2009

Mimpi Sang Nenek yang Terpatri di Hati

Malam itu, saya bermimpi. Mimpi yang sungguh aneh! Dalam mimpi itu, saya dikejar-kejar pasukan kompeni yang membawa bedil laras panjang sambil berteriak dengan bahasa Belanda. Tak ketinggalan, mereka juga membentak-bentak dengan bahasa yang saya sendiri tak paham.

Ketika itu, saya hanya berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya, salah satu kompeni itu meletuskan timah panas dan mengenai pundakku. Darah mengucur deras dan saya hanya bisa memekik kesakitan. Eh, beberapa detik kemudian, saya terbangun dari mimpi. “Wuih, ternyata mimpi....!” (mimpi basah, lagi, hehehe. Mandi besar deh...).

Tumben banget, saya bisa bermimpi. Berlatar belakang cerita kolonial lagi. Kok asyik ya...! Jadi ketagihan! Tapi mimpi dikejar-kejar kompeni itu, sayangnya tak terulang. Tak masalah, yang penting pernah, mimpi basah lagi...

Melihat mimpi itu pun saya kembali teringat cerita dari nenek, yang usianya mungkin sudah lebih dari 100 tahun. Namanya Tarwiyah. Beliau pernah bercerita tentang kondisinya saat terjadi penjajahan. Bagaimana, nenak dan almarhum kakek harus mengungsi ke hutan setiap desingan peluru dan ledakan meriam bertubi-tubi menghantam Desa Penggarit.

Nenek juga kerap bercerita tentang salah satu anggota kompeni orang Belanda yang memaksa anak-anak desa untuk sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Bagi mereka yang tak mau bersekolah, para kompeni mengancam akan menembaknya. Namun, nenek dan kakek saya selalu menghindar ketika anggota Kompeni itu berpatroli. “Nyong emoh sekolah, gurune galak-galak (Saya tidak mau sekolah, gurunya sering marah-marah),” kata nenek ketika bercerita.

Akhirnya, nenek saya pun menyesal. Teman-teman yang mau bersekolah bisa menjadi carik (sekertaris desa), karyawan pabrik gula, dan lain sebagainya. Karena tak berbekal pendidikan, nenek dan kakek pun hanya menjadi petani di kampung. “Sinauo sing kiyeng, angger perlu karo wong Londo. (Belajarlah yang giat. Kalau perlu belajar dengan Orang Belanda),” dawuhnya.

Kembali ke masa kini, saya hanya bisa merenungi kembali petuah-petuah dari nenek saya yang telah berpikir ke depan bagi cucunya. Kini, nenek saya itu hanya bisa tidur-tiduran di ranjangnya karena penyakit usia yang makin menua. Ketika saya pulang kampung, saya selalu menjenguk nenek di rumahnya. Saya pun terus teringat, akan pesannya untuk terus belajar walaupun sama dengan Orang Belanda.

Peninggalan Belanda di Kampung Halaman

Saya sangat mengagumi karya-karya penjajah Belanda yang tertinggal di kampung halaman saya. Walaupun tidak monumental atau terkenal ke seluruh Nusantara, tetap saja itu menjadi inspirasi saya untuk bisa belajar ke Belanda.

Beberapa peninggalan Belanda itu antara lain leis, brug abang, dan sungai irigasi. Nenek saya selalu bercerita tentang ketiga peninggalan Belanda itu padaku. “Londo iku kuat. Leis, brug, lan kali sier iku lho contone. (Belanda itu kuat. Lesi, brug dan sungai irigasi itu contohnya),” petuah nenekku.

Leis. Saya tak paham asal muasal kenapa diberi nama Leis. Yang jelas, leis merupakan jembatan yang menghubungkan antara desa saya, Penggarit dengan Sungapan, tetangga desa. Maklum, kedua desa itu dipisahkan oleh sebuah sungai yang cukup lebar kurang lebih 60 meter (maaf kalau kurang tepat, saya belum pernah mengukurnya). Jembatan itu lebarnya hanya dua meter atau hanya cukup untuk satu mobil yang bisa melewati jembatan. Kalau truk dan bus besar tak boleh melewati jembatan karena merusak saja.

Leis didirikan Belanda sekitar tahun 1900an. Saya tak tahu persis kapan jembatan itu dibuat. Seingat saya, Leis hanya pernah ambruk ketika ada banjir besar yang terjadi pada 1990. Itu pun karena terhantam oleh kayu besar yang terhanyut bersama derasnya air sungai. Leis memang kuat dan tangguh. “Orang Belanda kalau membuat jembatan terkenal awet ratusan tahun,” demikian kata orang-orang tua di desa saya.

Leis pun dijadikan tempat pacaran bagi anak-anak di desa Penggarit. Bahkan, pasangan kekasih dari luar desa pun sering datang ke jembatan romantis itu di kala sore menjelang petang. Leis yang juga memiliki diitari bendungan juga sering jadi ajang pemancingan.

Brug Abang. Apa itu brug? Brug artinya jembatan. Sebenarnya diambil kata dari bridge yang jembatan dalam bahasa Inggris. Namanya orang desa, nyebutnya dianggap gampang ae...brug. Brug abang atau jembatan merah bukan menjadi media penghubung yang dimanfaatkan sebagian besar warga. Karena, brug abang itu sebenarnya digunakan sebagai jembatan untuk perlintasan kereta api tebu.

Dulu pas jaman Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) berkuasa, setiap tahun sebagian di desa saya pasti di-tebu. Kereta tebu yang terdiri dari satu lokomotif dan gerbong-gerbong telanjang yang membawa tebu selalu hilir mudik mengangkut bahan utama gula itu.

Jika warga yang ingin melalui brug abang itu, harus ekstra hati-hati. Kenapa? Pasalnya brug abang dikenal sebagai jembatan telanjang karena tidak ada pengaman sama sekali. Gampangnya, alas jembatan hanya terdiri kayu yang dipasang seenaknya tanpa dipaku. Biasanya, orang yang mengendarai sepeda motor pun tak berani melewatinya. Paling, mereka yang mengendari sepeda, itu pun harus dituntun. Semuanya pun maklum, brug abang dibangun sebenarnya untuk kereta tebu.

Seiring dengan jaman reformasi dan kebebasan yang kadang keblabasan. Sawah di desa saya semakin jarang ditebu. Akibatnya, kereta tebu pun makin jarang merambah desa saya dan brug abang. Petani di desa lebih suka sawahnya ditanami padi. Kalau ditebu, waktunya terlalu lama dan untungnya sedikit. Yah...makin jarang lihat kereta tebu melewati brug abang dengan asap hitam yang membumbung ke angkasa.

Sungai Irigasi. Sungai bukan tercipta karena aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sungai juga bukan alamiah semata, tetapi juga bisa dibuat. Kok bisa? Buktinya, di desaku Penggarit, sungai yang alami justru dimati hingga disebut kali mati (sungai mati). Kebetulan, kali mati itu letaknya di depan rumahku. Sungai itu sengaja dimatikan oleh Belanda. Hebatkan Belanda, sungai aja bisa dimatikan!

Sebagai gantinya, dibuatlah sungai baru. Kata nenekku, ratusan warga desa di paksa membuat sungai itu. Sayang, aku lupa kapan sungai baru itu dibuat. Sungai itu dibuat sepanjang beberapa kilometer hingga ke beberapa desa tetangga. Ada cerita unik, ketika sungai tersebut dialiri air dari bendungan leis, ternyata airnya tidak mau mengalir. Kok aneh!

Boleh percaya atau tidak, ternyata kompeni juga percaya takhayul. Ketika itu, ada salah satu warga di desaku yang bermimpin kalau air di sungai baru itu bisa mengalir, maka perlu dirayakan dengan hiburan tradisional yaitu tarian-tarian. Setelah digelar acara itu, besok paginya, air pun mengalir deras membajiri sungai baru itu. Sungai itu dikenal di desaku dengan kali sier, sebagian lainnya menyebutnya dengan kali kidul (sungai selatan).

Jika teman-teman ingin membuktikan, boleh kok main ke kampung halaman saya. Murah kok transportasinya. Naik kereta ekonomi Kertajaya (Ps Senen turun di stasiun Pemalang : 27ribu jam 16.15 sore) atau Tawang Jaya (Ps Senen turun di stasiun Pemalang: 27ribu jam 21.30 malam). Atau pakai bus Sinar Jaya, Dewi Sri, Dedy Jaya (ekonomi 40ribu, bisnis 45, eksekutif 50, berangkat pagi dan sore dari Jakarta turun di terminal Pemalang). Murah kan...

Entar, dari stasiun atau terminal pemalang bisa naik angkot berkode F (Pemalang-Penggarit). Turunnya di perbatasan desa Penggarit, kalau mau jalan kaki ya boleh, sekitar 15 menit. Kalau naik becak, bilang saja, temannya Andi. Semua tukang becak kenal sama saya, hehehe. Mantan preman kampung, hahaha. Kalau pas bapak saya lagi santai, bisa telpon aja, entar dijemput pakai mobil.... Udah banyak teman-teman yang membuktikan kok....

Hanya sekedar bermimpi

Akankah mimpi itu menjadi sebuah kenyataan? Sebagia manusia, kita hanya bisa berdoa dan berusaha untuk menggapai mewujudkan mimpi dan cita-cita sang nenek...

Studi di Belanda Bukan Hal Mustahil

Saya semakin terngiang akan pesan nenek setelah menghadiri pameran pendidikan Eropa beberapa bulan lalu. Ketika itu, saya mengunjungi stand NESO. Salah satu staf NESO mengatakan, Belanda merupakan pintu gerbang ilmu pengetahuan di Eropa. Dia melanjutkan, Belanda membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemuda Indonesia untuk menuntut pendidikan di sana.

Pandangan dan pemikiran saya pun terbuka. Ternyata, belajar di Belanda bukan hanya melulu tentang hukum. Maklum, Belanda banyak melahirkan tokoh-tokoh hukum Indonesia. Belanda juga menjadi sumber inspirasi bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Apalagi, dengan dukungan pemerintah Belanda dan kalangan swasta yang sangat antusias mendukung pendidikan yang menciptakan kualitas SDM yang mumpuni. Saya pun semakin yakin, Belanda memang pintu gerbang ilmu pengetahuan di Benua Eropa.

Kredit foto:

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13252&Itemid=34

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13500&Itemid=59


No comments: