Tuesday, April 28, 2009

Studi ke Belanda, Melanjutkan Cita-Cita Munir

Tak terasa, dunia terus berputar dan waktu terus menggelinding. Kenangan terhadap almarhum Munir, tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus berjalan seiring dengan jarum jam. Tak terasa telah empat tahun sudah, Munir telah meninggalkan kita.

Hanya ingin sedikit menguak kenangan kita saja. Ketika itu Senin malam (6/9/2004), Munir terbang ke Negeri Kincir Angin untuk mengejar cita-cita kuliah di Belanda. Namun tiga jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, atau pada Selasa pagi (7/9/2004), Munir tak sadarkan diri.

Laporan media-media menunjukkan bahwa Munir meninggal diracun dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Sejauh ini, Suciwati, istri Munir, dan teman-teman kontras dan aktivias LSM lainnya terus berjuang untuk mengetahui siapa dalang pembunuhan pejuang HAM tersebut.

Sebenarnya, saya hanya mengetahui perjuangan Munir dari televisi dan koran. Saya juga kaget ketika Munir menjadi korban. Kadang, saya tak habis pikir ada pihak yang mengasosiasikan Munir dengan ancaman atau rencana pembunuhan. “Awas lho, entar di-munirkan,” demikian akrab di kalangan teman-teman NGO (Non Governmental Organization). Masya Allah...

Secara langsung, saya tidak pernah bertemu dengan Munir ketika masih hidup. Saya hanya pernah sekali bertemu dengan istri Munir, Suciwati di sebuah forum 100 hari peringatan kematian Munir di kampus Brawijaya tahun 2004. Ketika itu, saya masih kuliah.

Pada acara yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu, Suciwati menceritakan dengan detail kronologis kematian sang suami. Acara itu tak berlangung lama. Salah satu teman saya, Agustinus Mujiraharjo, sontak berdiri setelah acara itu selesai. Dia mengambil satu tangkai bunga mawar merah.

“Untuk apa gus?” tanyaku padanya. “Aku mau kasih bunga mawar merah ini pada Suciwati,” jawab Agustinus. Agustinus tanpa canggung pun menyerahkan bunga mawar itu pada istri Munir. Tanpa obrolan, Suciwati hanya tersenyum atas simpati. Sayangnya, ketika itu, saya hanya terdiam dan termangu melihat aksi Agustinus tersebut.

Perjuangan Munir

Dari beberapa koran dan buku yang pernah saya baca tentang Munir, dia merupakan tokoh yang cukup kontroversi. Pria keturunan Arab ini lahir di Malang, pada Rabu, 8 Desember 1965. Dia meraih gelar sarjana hukum di Universitas Brawijaya Malang pada 1989.

Pada 1989, Munir masuk ke LBH Malang sebagai sukarelawan, lalu memutuskan total sebagai orang LBH. Pada tahun 1995, Munir mendapat promosi menjabat sebagai Direktur LBH Semarang selama tiga bulan. Lalu ditarik ke YLBHI, Jakarta, merangkap sebagai Koordinator Kontras pada 1998.

Saat menjadi ketua Kontras, namanya paling diingat ketika membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Pak Harto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Aktivitas Munir yang sangat berani itu kemudian mengantarnya memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Yang mengharukan, Man of the Year 1998 versi majalah Ummat itu tidak tergoda untuk memiliki semua hadiah yang didapatkannya itu. Majalah Asiaweek pada Oktober 1999 menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru.

Cita-Cita Munir

Yang perlu dicatat, Munir tewas dalam pesawat yang akan mengantarkannya studi di Belanda. Munir berencana kuliah di Universitas Utrecht atas undangan lembaga dana Belanda ICCO. Jelas, sekali bahwa cita-cita Munir untuk kuliah di Belanda tidak tercapai. Memang takdir yang berkata lain ketika manusia hanya bisa merencanakan, tetapi Tuhan lah yang menentukan....

Walaupun nama Munir sebelum meninggal telah menginternasional, tetap saja semangatnya untuk terus belajar dan mengkaji ilmu tak pernah berhenti. Munir tidak pernah merasa puas untuk belajar dan terus belajar, tanpa mengenal usia. Munir paham bahwa dengan ilmu, manusia akan terasa kecil karena luasnya ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pulalah, kita bisa berbagi dengan orang lain.

Jelas sekali, kuliah hukum di Utrecht hanya satu dari banyak sekali cita-cita sang Almarhum. Tentunya, cita-cita Munir dalam kehidupannya, yang pernah saya tahu, adalah bermanfaat bagi orang lain. “Hidup kami bersama Munir sangat bahagia. Ukuran kami bukan materi, melainkan seberapa besar hidup ini berguna bagi orang lain,” kata Suciwati istri Alm Munir seperti dikutip dari Harian Suara Merdeka. Sungguh mulia cita-cita sang Munir.

Kenapa Munir bercita-cita kuliah di Belanda. Saya pribadi tak mengetahui itu. Browsing bersama prof google pun, saya tak menemukannya. Hanya saja, berdasarkan cerita teman-teman saya di NGO, Belanda dikenal sebagai gudang ilmu para aktivis Indonesia. Belanda dikenal menampung para aktivis yang sering menyuarakan suara hati masyarakat tanpa kenal lelah dan takut. Saya pikir, Munir memilih Belanda, disebabkan karena faktor tersebut.

Ditambah lagi, sistem pendidikan di Belanda sangat membuka kesempatan untuk mengembangkan pemikiran dan kreativitas dalam konteks ilmu pengetahuan. Sangat kontas dengan pendidikan di Indonesia yang lebih mengarah pada teacher mainstream. “Guru atau dosen adalah segalanya di depan kelas,” pendapatku. Para aktivis dan orang yang bergelut dengan dunia sosial sangat menolak ide seperti. Saya pikir termasuk Munir.

Dalam buku study in holland terbitan NESO, dijelaskan dengan gamblang. Mungkin ini adalah jawaban kenapa Munir memilih kuliah di Belanda. “Sistem pengajaran di Belanda

Menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan negara Belanda yang mampu memperkokoh akar masyarakat negara ini yang dikenal dengan keragaman dan masyarakat yang pluralistik. Ini juga merupakan landasan utama dari metode pengajaran yang diberlakukan di universitas Belanda. Gaya pengajaran yang demikian memberikan perhatian dan kebebasan bagi siswa untuk mengembangkan pendapat dana kreativtas dalam aplikasinya.”

Terus, kuliah di Belanda lebih mudah. Karena 1.391 program berbahasa inggris. Belanda merpakan negara non berbahasa inggris pertama yang menawarkan program studi berbahasa inggris. Lebih dari 1.391 program berbahasa inggris untuk berbagai bidang yang ditawarkan universitas Belanda. Jadi Belanda memang t o p....dalam hal pendidikan.

Apalagi, pendidikan tinggi Belanda telah diakui reputasinya di duia. Hal ini tercipta melalu sistem nasional dan jaminan mutu. The Times Higher Education Supplement menempatkan 11 universitas di Belanda sebagai bagian dari 200 universitas terpopuler di dunia. Belanda juga diakui dunia intrnasional sebagai pencetus sistem problem-based learning yang mengajarkan siswa untuk dapat menganalisis dan memecahkan masalah secara mandiri dengan menitikberatkan pada belajar mandiri dan disiplin.

Yang membedakan dengan Indonesia, Sistem pendidikan tinggi di belanda tersedia dua jenis pendidikan regular yang utama yaitu universitas riset dan university of applied sciences. Di Belanda ada 14 universitas riset, tiga diantaranya memiliki spesialisasi di bidang teknik. Pada prinsipnya, universitas tersebut melatih mahasiswa menjadi ilmuwan dan pakar di salah satu bidang, namun banyak program studi juga mengarah ke lingkungan profesional. Sedangkan university of applied sciences lebih berorientasi ke praktek, mahasiswa langsung diarahkan untuk meraih jenjang karir di bidangnya.

Sumber

Harian Suara Indonesia

Harian Suara Merdeka

Study in holland

Foto:

Daylife

Eurostep

nuffic

1 comment:

Unknown said...

terima kasih tulisan yang menarik. salam kenal.
Adityawan - Grafisosial.wordpress.com