Thursday, April 23, 2009

Studi di Belanda, Antara Geert Wilders dan Nasi Goreng

Mendengar nama Belanda, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Pertama yang benci tetapi rindu, dan kedua adalah mereka yang rindu tetapi dengan tanda tanya. Bisa dimaklumi, kalau benci tapi rindu, kebencian atau kedengkian masyarakat Indonesia dengan negara bekas penjajah itu. Kedua, mereka yang menganggap sejarah adalah masalah lalu, tetapi Belanda selalu menyimpan tanda tanya.

Nah, tanda tanya itu semakin menjadi-jadi pada awal 2008. Tepatnya ketika fim “Fitna” yang dirilis pada 27 Maret 2008 lalu dan beredar luas di internet, terutama situs Youtube. Kebencian sebagian masyarakat Indonesia terhadap Belanda meluap karena pembuat film tersebut merupakan anggota parlemen Belanda, Geert Wilders.

Dendam masa lalu yang selama ini terpendam, meledak hanya karena sebuah film. Anehnya, pelampias dendam itu tidaklah tepat. Demonstrasi besar-besaran mengecam Wilders pun disangkut pautkan dengan Belanda. Bahkan, saya masih ketika salah satu organisasi Islam berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dengan dengan melempari telur busuk. Lepas dari pro dan kontra film Fitna, saya tidak sepakat dengan demonstrasi yang terbilang anarkhis tersebut.

Bukannya kapok! Baru-baru ini, Geert Wilders pun berencana membuat sekuel film Fitna kembali. Seperti dilaporkan, harian terkemuka Inggris, Guardian, anggota parlemen yang dikenal sangat Islamfobia itu berencana membuat sekuel film Fitna yang berisi hujatan dan penistaan terhadap ajaran Islam.

Kabarnya, film baru itu bakal ditayangkan ke publik pada tahun depan. Parahnya lagi, Wilders mendapatkan bantuan dari sineas dari New York dan Hollywood untuk membuat film itu. “Kita harus menyerang lebih keras lagi, lebih ofensif,” tutur Wilders. Wah..wah... kalau film tersebut dirilis, di Indonesia bakal makin heboh menghujar Wilders yang diasosiasikan Belanda. Kita tunggu aja, tanggal mainnya....

Yang perlu diperhatikan sebenarnya, mengecam atau tidak suka dengan Wilders dan filmnya bukan dengan cara demonstrasi. Apalagi, kalau membakar bendera negara segala...wah parah kalau begitu. Walaupun saya tidak menyetujui apa yang dilakukan Wilders, saya tak perlu ikut demonstrasi. Padahal, ketika kuliah dulu, saya paling rajin ikut demonstrasi di kampus. Sering bentrok dengan polisi, keren bo. Sekarang, taubat lah...

Justru yang masih menjadi tanda tanya tentang Wilders adalah sosoknya. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Bukannya untuk melempar telur busuk atau tomat mentah ke mukanya. Tapi, saya ingin berdiskusi dengan Wilders tentang kenapa dia membuat film Fitna. Walaupun, media-media Belanda dan Eropa telah mengupasnya detail. Harapannya, saya ingin mendengarkan langsung dari mulutnya mengenai film itu.

Untuk bisa mewawancarai Wilders, wah...harus pergi ke Belanda dung... ya jelas lah! Masa pake tabungan sendiri, wah nggak cukup! Hutang ke bank, nggak kuat membayar kreditnya. Kalau minta uang ke orang tua, wah malu...apalagi, panen di kampung halaman gagal total karena dimakan tikus. Nah, karena itu lah saya mengikuti lomba kompetiblog, siapa kira rejeki berpihak padaku, amien....

Jika saya berhasil mewawancarai Wilders, pertanyaan pertama saya adalah why are you hate Islam? Setelah itu, saya justru akan menguasai pembicaraan. Saya ingin menjelaskan tentang Islam yang ada di Indonesia atau saya kenal dengan nama Islam Nusantara itu berbeda dengan Islam di negara lain. Saya ingin mengatakan pada Wilders, Islam di Indonesia sangat menghargai perbedaan. “Why you can do like Indonesian?,” pertanyaan pungkasnya.

Wilders memang masih menjadi fenomena. Dengan mencuatnya kasus Wilders, tidak akan berdampak dengan minta orang Indonesia belajar ke Belanda. Saya pikir, dengan adanya kasus Wilders akan semakin banyak orang yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai Belanda. Kenapa? Belanda merupakan salah satu tangga untuk meraih masa depan yang lebih baik, dan itu telah menjadi pandangan bagi para pemburu beasiswa.

Berangkat kembali dari kasus Wilders yang juga mendapatkan kecaman dari dalam negerinya sendiri. Ini merupakan sebuah keunikan dan keberagaman. Yah, masyarakat Belanda, saya kira, sama seperti masyarakat Indonesia. Yaitu, multikultur.

Dalam buku ‘tinggal dan studi 2009/2010’ yang saya peroleh gratis dari NESO, menuliskan bahwa ‘sejak beberapa dasawarsa yang lalu sejarah negara ini menyebabkan banyak warga dari negara lain yang hidup di Belanda.’ Hanya saja, bedanya multikultur di Belanda lebih mengarah pada bangsa, sedangkan di Indonesia lebih mengarah pada suku.

“Beragamnya budaya menyebabkan Belanda menjadi negara pertemuan ilmu pengetahuan, ide-ide dan budaya dari seluruh dunia,” demikian ditulis dalam buku panduan study in holland.

, kenapa di Indonesia juga kaya akan budaya, tetapi kok tidak menjadi pusat ilmu pengetahuan. Nah, untuk bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat budaya, alangkah baiknya jika belajar dari Belanda. Saya yakin, dalam beberapa dekade kedepan, Indonesia bakal bersaing dengan Belanda. Apalagi, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tingal memoles sumber daya manusianya saja.

Hal yang lain yang menjadikan Belanda menarik, selain karena faktor Wilders, adalah faktor kepribadian warganya. Ketika saya bekerja menjadi pemandu wisatawan di Bali, saya memiliki tamu wisatawan asal Belanda. Mereka sangat enak diajak komunikasi. Sedikit tegas, tetapi tidak mudah tersinggung seperti orang Jerman. Walaupun baru pertama kali kenal, mereka langsung cair dan bisa menjadi teman yang asyik. Dalam hatiku, mungkin mereka berpikir kasihan pada orang Indonesia yang pernah dijajah kakek buyut mereka.

Hal yang masih berkaitan dengan Wilders, walaupun dia sempat membuat kekacauan di Belanda. Tetapi, Belanda tidak kacau. Ini merupakan bukti bahwa Belanda merupakan negara yang aman. Beberapa teman saya yang pernah kuliah di Belanda bilang, Belanda merupakan negara yang paling aman. Jarang sekali terjadi tindak kekerasan dan kriminal di jalanan. Wah makin yakin belajar di Belanda dung....

Belanda sangat berbeda dengan AS. Padahal, minat mahasiswa Indonesia belajar di Negeri Paman Sam lebih tinggi dibandingkan minat ke Negeri Kincir Angin. Mulai dari aksi penembakan yang sering diberitakan di televisi dan koran berulang kali terjadi AS. Bahkan, Pemerintah China pada Maret 2008 lalu pernah menuduh AS tidak mampu menangani kemiskinan, dan memerangi kejahatan.

Laporan Xinhua menyebutkan, sebanyak 25 juta penduduk AS diatas usia 12 tahun ke atas terlibat kejahatan pada 2006. Kejahatan rata-rata per 24,6 orang menjadi korban kejahatan di Amerika per 1.000 orang. Sedangkan sebanyak 159,5 dari 1.000 juga menjadi korban pencurian dan perampokan. Setiap 22,2 detik selalu terjadi satu tindak kejahatan. Setiap 30,9 menit di Amerika dilaporkan terdapat satu orang tewas di bunuh.

Pemerkosaan di AS terjadi setiap 5,7 menit. Parahnya lagi sekitar 30.000 orang tewas karena senjata api di Negeri Paman Sam itu setiap tahun. Wah kok serem sekali, lebih baik kuliah di Belanda saja....aman coy...(kata Budi Anduk, Tawa Sutra).

Tema kali ini lepas dari kaitannya dengan Wilders. Saya akan membahas tentang makanan khas Belanda! Kuliner, mak nyus....seperti kata Bondan Winarno. Tapi, sepengetahuan saya kuliner Belanda tidak terlalu mendunia. Berbeda dengan Prancis. Jangan-jangan, orang Belanda tidak suka memasak, seperti orang Indonesia atau bangsa lainnya. Yah...berarti kalau ke Belanda, makannya Cuma kentang, sup, dan salad. Membosankan dung.... masa ke Belanda hanya untuk makan nasi goreng...hahahaha.

Meningat saya adalah orang desa yang merantau ke kota. Saya pingin sekali mengetahui sistem pertanian di Belanda. Dari buku panduan study in holland menyebutkan, Belanda mengekspor produk-produk pertanian ke seluruh dunia. Wah keren dung.... apalagi, seperlima ekspor belada adalah produk makanan dan bunga. Padahal, Indonesia mengekspor beras saja baru kemarin sore. Kita, sebagai bangsa Indonesia harus malu. Dengan negara yang luas, tetapi pertaniannya justru memble.

Saya ingin mengetahui lebih dekat bagaimana mekanisasi pertanian di Belanda. Dukungan dari para peneliti dan ilmuwan dalam hal pertanian sehingga kualitas dan kuantitas produk lebih terjaga. Walaupun, ilmu-ilmu cukup sulit diterapkan di kampung halaman saya nantinya. Maklum, sistem pertanian di kampung halaman saya masih tradisonal. Unsur mekanisasinya belum sepenuhnya dijalankan.

Yah...kepanjangan ya tulisan ini...tak apa lah yang penting memberikan manfaat. Yang penting, bagi Anda yang ingin studi ke Belanda, tetap semangat! Sampai ketemu di Belanda ya...amien...

Kredit foto:

guardian.jpg

hickerphoto.jpg

bbc

Referensi:

Guardian

Xinhua

Seputar-Indonesia

Tinggal dan studi 2009/2010 study in holland

1 comment:

ifta said...

halo, pak. salam kenal. Saya suka tulisan Anda ini. unik. Blognya juga bagus. Banyak pengetahuannya