Biasanya kita menggolongkan remaja pada usia sekitar 11-12 tahun hingga 20 tahun, ada yang menyebut usia 11-12 sebagai pra remaja, ada yang sudah memasukkan sebagai kategori remaja.
Ciri remaja:
1. Berbeda dengan anak-anak, dalam pegertian kemampuan berpikirnya jauh lebih abstrak dibandingkan pada masa kanak-kanak yang sangat konkret.
2. Berteman juga merupakan ciri yang khas pasa masa remaja, di mana sebelumnya remaja menggantungkan konsep dirinya pada anggapan yang diberikan orang tua sedangkan pada masa remaja sangat menggantungnya konsep dirinya pada penilaian yang diberikan oleh teman-temannya. Sehingga kita melihat pada masa remaja mereka lebih mementingkan teman daripada orangtua.
Dalam pembentukan jati dirinya, remaja harus melalui sekurang-kurangnya dua fase:
* Yang pertama fase pembedaan.
Artinya remaja mulai melihat dirinya berbeda dari orang tuanya, tidak mau dilihat terlalu sama dengan orang tua. Selain membedakan diri dengan orang tua, remaja juga mencoba membedakan diri dengan teman-temannya. Remaja melihat dirinya itu istimewa atau melihat dirinya itu unik. Pembentukan jati diri harus dilandasi dengan fondasi yang pertama ini yaitu keunikannya atau keistimewaannya.
* Yang kedua adalah fase perbandingan.
Perbandingan maksudnya, dia menyoroti dirinya dari segi persamaannya dengan orang lain, sebab dia akhirnya menyadari bahwa tidak terlalu banyak hal yang membedakan dirinya dari orang lain. Kalau fase pertama berhasil dilewati dan dia berhasil membedakan dirinya, mengakui keunikannya, dia akan bisa menemukan siapa dia berdasarkan keistimewaan atau keunikannya. Namun harus disertai dengan fase berikutnya yakni dia bisa mengakui keterbatasannya atau kekurangannya dan mampu menerima dirinya meskipun dia melihat kekurangan pada dirinya itu. Keduanya ini menjadi suatu keseimbangan, keseimbangan yang akan membuat dirinya sebagai diri yang utuh, dan inilah jati diri yang sehat.
Dalam menghadapi remaja melalui proses yang berat seperti itu, orang tua harus berperan dengan bijaksana.
1. Kita harus memahami apa yang sedang dilewati oleh remaja. Misalkan remaja mulai memberontak, jangan lekas-lekas kita mau menggilasnya, melarangnya, makin mengencangkan genggaman kita pada dia, itu makin merusakkan si remaja. Makin membuat si remaja itu tertekan dan ciut. Jadi orang tua harus menerima fakta bahwa remaja akan mulai melawan mereka, mempertanyakan, memberontak dan kalau kita bisa sesuaikan justru merupakan hal yang sehat bagi si remaja, menjadikan dia sebagai seorang yang dewasa.
2. Bimbingan rohani harus kita berikan pada mereka. Yang penting adalah anak-anak remaja perlu tahu bahwa dia bertanggung jawab langsung kepada Tuhan.
Masa remaja masa yang bisa berpotensi menimbulkan kecemasan karena remaja mulai memikirkan masa depan, mulai memikirkan hal-hal yang biasanya mereka yakini. Ditandai dengan banyak pergumulan, pergolakan, kecemasan, pertanyaan, dan kekhawatiran. Kita bisa menegaskan terus-menerus kepada anak remaja, bahwa tugas utamanya adalah mencari kerajaan Tuhan dan kebenarannya, maka semua yang mereka khawatirkan, pikirkan nanti akan Tuhan atur dan akan Tuhan jawab. Jadi penting sekali bagi orang tua membimbing anak remaja untuk mulai menyerahkan hidupnya kepada Tuhan di mana kecemasan dan kekhawatiran adalah bagian dari hidup ini.
Kenapa Anak menjadi Pemberontak
Perilaku pemberontakan anak adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat untuk melawan peraturan yang sah, yang pada dasarnya perilaku ini dapat digolongkan sebagai perilaku yang menyimpang dari seorang remaja. Menyimpang dari apa? Menyimpang terhadap peraturan orang tua yang diberikan, penyimpangan terhadap tata karma yang berlaku di masyarakat, penyimpangan dari norma-norma yang diajarkan oleh agama, dan penyimpangan dari hokum Negara yang berlaku. Mengapa demikian? Karena perilaku pemberontakan remaja ini sangat tidak mempedulikan tatanan social, norma-norma agama, dan hukum Negara yang berlaku.
Dewasa ini perilaku pemberontakan remaja telah menjadi perilaku yang sangat familiar dan popular dikalangan remaja. Perilaku pemberontakan seperti ini menunjuk pada suatau gaya hidup yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, hedonis, dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kesenangan sesaat sebagai ungkapan protes mereka terhadap peraturan yang sah.
Perilaku ini tidak lagi menjadi fenomena baru. Bahkan sekarang telah menjadi ideology sebagian besar remaja saat ini. Semakin sering mereka aktif dalam perilaku yang memberontak, maka semakin kuat pula status mereka sebagai anak muda yang gaul, funky, dan cool. pemberontakan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, pemerkosaan, penganiayaan, dll.
2.Perilaku pemberontakan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pemerasan, dll.
3. Perilaku pemberontakan yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran, penggunaan
4.Perilaku pemberontakan yang melawan status, misalnya mengingkari status remaja sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua dengan cara membantah dan melanggar perintah mereka, dll. Faktor
Penyebab Perilaku Pemberontakan Anak
1.Pada masa-masa yang lalu, masyarakat hidup dalam keluarga-keluarga besar, sehingga pendidikan anak di rumah tidak hanya diberikan oleh orangtua saja, tetapi juga bias dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang lain. Sementara saat ini para keluarga modern semakin bersifat individualistis, sehingga kelemahan orangtua dalam mendidik
anak tidak bisa dicover oleh anggota keluarga yang lain. Banyak orangtua yang tidak begitu serius dalam mendidik anak- anaknya. Mereka terlalu menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan atau lembaga-lembaga kursus, karena mereka berpikir sekolah/kampus atau lembaga kursus adalah satu-satunya yang
bertugas dalam memberikan pendidikan kepada seorang anak. Peranan orangtua modern tereduksi hanya ke masalah-masalah ekonomi. Focus perhatian mereka lebih tercurah pada aktivitas bisnis dan pekerjaan. Kalau disinggung masalah mendidik anak, mereka hanya mengelak dan mengatakan bahwa mereka sudah bekerja keras dan mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan anak dan untuk memasukan anak-anak itu ke sekolah atau perguruan tinggi. Begitulah dalih mereka mengenaipenyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada institusi-institusi pendidikan. Itu semua tidaklah sepenuhnya salah, tetapi masalahnya apakah sekolah, kampus, dan lembaga kursus juga mengajarkan anak bagaimana cara mereka bersikap kepada orang lain dan diri sendiri, bagaimana membentuk kepribadian yang baik, bagaimana beretika, bagaimana membangun visi hidup yang benar, dan bagaimana menjaga moral dan religius dengan bertanggungjawab?
Seharusnya ya! Tetapi banyak sekolah/kampus/lembaga kursus tidak begitu emperhatikan persoalan ini secara serius. Akhirnya dengan kondisi yang saling melempar tanggungjawab mendidik anak antara orangtua dengan lembaga pendidikan, maka si anak akan mudah terjerumus kepada perilaku pemberontakan karena ia sama sekali tidak
mendapatkan aspek-aspek vital pendidikan yaitu, tema-tema di luar persoalan akademik yang sangat dibutuhkannya seperti, memiliki rasa tanggung jawab. Padahal setiap anak perlu dipersiapkan untuk memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam hidupnya (tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, tanggung jawab terhadap Tuhan, dantanggung jawab terhadap hokum dan norma-norma yang berlaku. Sedangkan tanggung jawab itu sendiri adalahmentalitas kunci untuk memasuki dunia yang penuh dengan godaan ini.
2.Anak Orangtua sering tidak tahu bagaimana bersikap kepada anak terutama ketika anak-anak tadi menginjak usia remaja. Ada orangtua yang bersikap terlalu keras dan kasar kepada anak dalam upaya mendidik si anak menjadi baik. Orangtua seperti ini sering memberikan hukuman fisik yang berlebihan kepada anak dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada anak. Sikap seperti ini dapat mematikan kreativitas anak, membuat anak mengalami luka batin, dan mendorong si anak untuk melakukan pemberontakan. 3.
bahwa harapan-harapan mereka terhadap anak tidak mungkin terwujud kecuali mereka sendiri memberikan suri teladanyang baik. Sebagai contoh: Orangtua tidak dapat mengharapkan anak-anak menjadi orang yang jujur sementara mereka
sendiri suka berbohong. Orangtua tidak dapat mengharapkan anak-anak tidak merokok sementara mereka sendiri merokok.
4 Krisis Identitas dewasa. Tidak ada batasan usia yang jelas untuk masa transisi ini. Usia remaja ini diamati juga oleh para ahli sebagai masa yang penuh gejolak. Pencarian kaum remaja akan identitas dirinya serta budaya pertemanan yang mereka bangun
menjadikan mereka sulit untuk dikendalikan. perubahan psikologis juga menghinggapi diri mereka. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri.
Pertanyaan-pertanyaan seperti;siapa diri saya?;Apa tujuan hidup saya?;;Orang
macam apakah saya ini?;Apakah saya lebih jelek atau lebih cakap dari orang lain?;Apakah orang lain akan menyukai saya jika mereka tahu keadaan saya yang sesungguhnya ataukah mungkin mereka malah menolak saya?menjadi persoalan yang sangat penting. Persoalan ini akan menjadi serius ketika pertanyaan ini tidak bias dijawab dengan baik dan menjadi berlarut-larut. Semua pertanyaan itu muncul dari kebutuhan
akan pencarian identitas diri.
Namun ketika beranjak remaja, ia mendapati banyak sumber-sumber nilai lain disekitarnya dan makin banyak model- model peran yang disa ditiru. Baik peran yang bersifat positif maupun negative. sangat berpengaruh ketika seorang anak memasuki usia remaja dan usia remaja memasuki usia dewasa adalah teman susia dan figur-figur popular yang mereka kenal lewat berbagai media. Jika semua itu mengajukan nilai-nilai yang sama, maka upaya mencari identitas diri tidak akan menjadi masalah. Namun ketika nilai-nilai dari pandangan orangtua bertentangan dengan yang diberikan oleh teman-teman seusia maupun figur-figur popular tadi, maka besar kemungkinan terjadi konflik dan remaja akan mengalami apa yang disebut dengan role confusion (kebingungan peran)
Akhirnya disaat-saat seperti inilah biasanya banyak remaja yang memilih identitas menyimpang (Deviant identity)sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.
5 Group (Budaya teman seusia dan budaya pertemanan yang erat) istilah yang khas bagi remaja. Fenomena ini terjadi karena didorong oleh kesendirian dan semakin terasingnya anak- anak modern dari interaksi dengan orang dewasa. Para ahli menganggap ini sebagai;Penyangga krisis terhadap ketakutan remaja atas isolasi atau keterasingan
kehadiran orang dewasa, anak remaja yang mulai beranjak dewasa ini membutuhkan orang lain yang bias merekapercayaai sebagai tempat berbagi. Akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari pada teman-teman sebaya yang
bukan secara kebetulan banyak mereka dapati dalam lingkungan pergaulan mereka saat melakukan aktivitas tertentu yang sama. Akhirnya terjadilah sebuah akumulasi krisis yang saling menular dan mempengaruhi. erat dari remaja-remaja yang sedang bingung dengan identitas dirinya ini pada gilirannya mendorong terbentuknya budaya teman sebaya atau peer culture. Kelompok-kelompok teman sebaya tentu saja tidak selalu bersifat negative.
Namun karena anak-anak ini sama-sama sedang mengalami krisis identitas, maka berkumpulnya mereka lebih seringberdampak negative karena nyaris semua anak muda yang mengalami krisis identitas ini menjatuhkan pilihan pencarian jati dirinya kepada perilaku-perilaku memberontak terhadap orangtua, norma-norma, dan nilai-nilai yang ada.
6.Elektronik dan Cetak Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai hidup yang benar kepada anak seringkali dikalahkan oleh media-media yang masuk ke dalam rumah atau media-media yang mudah diakses oleh anak. Banyak media-media yang dapat diakses oleh anak pada saat ini bersifat negative. Media-media ini sebenarnya sangat tidak
layak untuk dilihat karena dapat mendorong mereka memiliki kemauan untuk memberontak terhadap orangtua, norma-norma dan nilai-nilai yang ada.
No comments:
Post a Comment