Monday, December 28, 2009

Hebatnya Pemikiran Manajemen Pendidikan Al-Mawardi

Imam Al-Mawardi menghendaki bahwa seorang guru benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Mendidik dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, mengajar dan mendidik, merupakan aktivitas keilmuan yang mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi, yang tidak bisa disejajarkan dengan materi Imam Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi. Keikhlasan dan kesadaran seorang guru dalam mendidik adalah kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal.

A. Pendahuluan
Menurut catatan sejarah Imam Al-Mawardi dilahirkan di Bashroh tahun 364 H, wafat di Baghdad pada tahun 450 H. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Habib Al-Basry.
Dalam dunia pendidikan, pada awalnya Al-Mawardi menempuh pendidikan dinegeri kelahirannya sendiri, yaitu Bashroh. Di kota tersebut Al-Mawardi sempat mempelajari hadits dari beberapa ulama terkenal seperti Al-Hasan Ibnu Ali Ibnu Muhammad Ibn Al-Jabaly, Abu Khalifah Al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibnu Zuhar Al-Marzy, Muhammad Ibnu Al-Ma’aly Al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad Ibn Al-Fadl Al-Baghdadi. Menurut pengakuan muridnya, Ahmad Ibn Ali Al-Khatib, bahwa dalam bidang Al-Hadits, Al-Mawardi termasuk tsiqot.1 Selain mendalami bidang Al-Hadits, Al-Mawardi juga mendalami bidang fiqh pada syekh Abu Al-Hamid Al-Isfarayani, sehingga ia tampil salah seorang ahli fiqh terkemuka dari madzhab syafi’i. Keahlian Al-Mawardi selanjutnya juga dalam bidang sastra dan sya’ir, nahwu, filsafat dan ilmu sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia mempelajari ilmu kebahasaan tersebut.
Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, Al-Mawardi dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim dibeberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad.2 Dalam hubungan ini Al-Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam madzhab syafi’I yang dinamai Al-Iqra’. Al-Mawardi mempunyai latar belakang sosiologis yang berguna untuk menjelaskan pemikiran siyasah/politik sebagaimana dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-Ahkam as Sulthoniyah.
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai Qodhi, Al-Mawardi juga sempat menggunakan sebagian waktunya untuk mengajar selama beberapa tahun di Bashroh dan di Baghdad. Al-Mawardi juga banyak memanfaatkan waktunya untuk banyak membuat karya tulis/ilmiah tidak kurang dari 12 judul yang secara keseluruhan dapat dibagi tiga kelompok pengetahuan, yaitu;
Kelompok pengetahuan agama antara lain; kitab Tafsir yang berjudul An-Nukat wa al’uyun, al hawi al-kabir, al-iqra’, adab al-qodhi, ‘alam an-nubuwah. Kelompok pengetahuan politik tentang politik dan ketatanegaraan antara lain; Al-Ahkam as Sulthoniyah termasuk karya baliau yang sangat populer dikalangan dunia Islam. Selanjutnya adalah kelompok pengetahuan bidang akhlak yang termasuk kelompok bidang ini adalah kitab an-Nahwu, al-Ausat wa’alhikam dan al-Bughyah fi adab ad-Dunnya waddin. Buku Adab ad-Dunya wa ad-Din dinilai sebagai buku yang amat bermanfaat. Buku ini pernah ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa, sementara itu ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud Al-Zarjany pernah mensyarahkan buku ini dan diterbitkan pada tahun 1328. 3

B. Pemikiran Al-Mawardi dan Peran Guru yang Strategis
Dalam bidang pendidikan, pemikiran Al-Mawardi lebih banyak berfokus masalah etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru mempunyai peranan sangat penting, bahkan pada posisi terdepan. Keberhasilan pendidikan sebagian besar bergantung pada kualitas guru, baik dari segi penguasaan materi maupun metodologinya, dan kepribadiannya yang terpadu antara ucapan dan perbuatan yang harmonis.
Al-Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap rendah hati (tawadlu’) serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Menurut beliau sikap tawadlu’ akan menimbulkan simpatik dari anak didik, sedangkan sikap ujub akan berdampak pada guru kurang mendapat simpati. 4
Sikap tawadlu’ menurut Al-Mawardi bukanlah sikap merendahkan diri ketika berhadapan dengan orang lain, karena sikap ini akan menyebabkan orang lain meremehkan. Sikap tawadlu’ yang dimaksud adalah sikap rendah hati dan sederajat dengan orang lain dan saling menghargai. Sikap yang demikian akan menumbuhkan rasa persamaan dan menghormati orang lain, toleransi serta rasa senasib dan cinta keadilan. 5
Dengan sikap tawadlu’ tersebut seorang guru akan menghargai muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi atau dengan kata lain merupakan bagian sumber belajar. Prinsip ini sejalan dengan prinsip yang digunakan para pendidik di zaman modern, yaitu bahwa dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) dimasa sekarang seorang murid dan guru berada dalam kebersamaan.
Pada perkembangan selanjutnya sikap tawadlu’ tersebut akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis mengandung pengertian bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru tersebut menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan fleksibel/luwes, dimana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Pelaksanaan prinsip demokratis di dalam kegiatan KBM dapat diwujudkan dalam bentuk timbal balik antara siswa dan siswa dan antara siswa dan guru. 6
Dalam interaksi tersebut seorang guru akan lebih banyak memberikan motivasi sehingga murid menjadi bersemangat dan bergairah serta merasa mempunyai harga diri, karena potensi, kemauan, prakarsa dan kreatifitasnya merasa dihargai. Dengan demikian sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya belajar siswa aktif.
Selanjutnya Al-Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain harus bersikap ikhlas. Secara harfiah berarti menghindari riya’. Sedangkan dari segi istilah “ikhlas” berarti pembersihan hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya. 7 Keikhlasan ini ada kaitannya dengan motivasi seseorang. Diketahui bahwa guru yang mengajar adakalanya bermotif ekonomi, memenuhi harapan orang tua, dorongan teman atau mengharapkan status dan penghormatan dan lain-lain.
Diatas motif-motif tersebut, seorang guru harus mencintai tugasnya. Kecintaan ini akan tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati. Namun demikian motif yang paling utama menurut Al-Mawardi adalah karena panggilan jiwanya untuk berbakti pada Allah SWT dengan tulus ikhlas. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa diantara akhlak yang harus dimiliki para gurulah menjadikan keridhoan dan pahala dari Allah SWT sebagai tujuan dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik muridnya, bukan mengharapkan balasan berupa materi. 8
Pernyataan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa Al-Mawardi menghendaki bahwa seorang guru benar-benar ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Menurut beliau bahwa tugas mendidik dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni keridhoan dan pahala Allah. Sebagai konsekwensi dari orientasi semacam ini adalah pelaksanaan tugas guru dengan sebaik-baiknya serta penuh tanggung jawab.
Selanjutnya Al-Mawardi melarang seorang mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik merupakan aktifitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi tidak dapat disejajarkan dengan materi. Dalam kaitan ini Al-Mawardi mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu adalah puncak segala kepuasan dan pemuas segala keinginan. Siapa yang mempunyai niat ikhlas dalam ilmu, maka ia tidak akan mengharap mendapatkan balasan dari ilmu itu. 9
Dengan demikian tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan Al-Mawardi merupakan luhur dan mulia. 10 Itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-mata mengharapkan keridloan Allah. Apabila yang dituju dari tugas mengajar itu materi, maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya. Selain itu ia sangat peka terhadap hal-hal atau persoalan yang ditemukan dalam tugasnya, misalnya soal administrasi, kenaikan pangkat, hubungan dengan kepala sekolah dan sebagainya. Tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal ini selanjutnya dapat merusak atau mengurangi hasil atau nilai pendidikan yang diterima anak didik.11
Dengan kata lain, seorang guru dalam pandangan Al-Mawardi bukanlah orang yang berorientasi pada nilai ekonomi yang diterimanya sebagai akibat atau imbalan dari tugasnya. 12
Dari uraian tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa makna makna keiklasan seorang guru dalam mendidik adalah kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal. Keikhlasan inilah yang akan menentukan keberhasilan tugas sehari-hari, tanpa merasakannya sebagai suatu beban, melainkan sebaliknya justru akan merasa bahagia, penuh harapan dan motivasi karena dari tugas mengajar dan mendidik itu ia kelak akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
Berdasarkan sikap ikhlas tersebut, maka seorang guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:
a. Selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti dalam hal penguasaan terhadap bahan pelajaran, pemilihan metode, penggunaan sumber dan media pengajaran, pengelolaan kelas dan lain sebagainya.
b. Disiplin terhadap peraturan dan waktu. Dalam keseluruhan hubungan sosial dan profesionalnya, seorang guru yang ikhlas akan bertindak tepat dalam janji dan penyelesaian tugas-tugasnya. Guru yang ikhlas akan mampu mengelola waktu bekerja dan waktu lainnya dengan perencanaan yang rasional (serta disiplin yang tinggi.
c. Penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesionalnya. Guru yang ikhlas dalam keseluruhan waktunya akan digunakan secara efisien, baik kaitannya dengan tugas keguruan, maupun dalam pengembangan kariernya, sehingga ia akan mencapai peningkatan. Bila sebagian waktu luangnya digunakan juga untuk hal-hal yang berada diluar bidang tugasnya, maka guru yang ikhlas akan menggunakannya secara bijaksana dan produktif serta menganggu tugas pokoknya.
d. Ketekunan, keuletan dalam bekerja. Guru yang ikhlas akan menyadari pentingnya ketekunan dan keuletan bekerja dalam pencapaian keberhasilan tugasnya. Oleh karenanya ia akan selalu berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan mengatasi segala kesulitan dengan penuh kesabaran, sehingga akhirnya program pendidikan yang telah ditetapkan akan berjalan sebagaimana mestinya serta mencapai sasaran. Disamping itu, keuletan dan ketekunan yang ditampilkan guru sebagai pribadi yang utuh akan terbiasa melakukan sesuatu tugas atau pekerjaan yang ulet, tekun penuh kesungguhan dan ketelitian.
e. Memiliki daya inovasi dan kreasi yang tinggi. Hal ini timbul dari kesadaran dan akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan pendidikan masa mendatang sejalan dengan kemajuan IPTEK. Guru yang ikhlas akan terus mengevaluasi dan mengadakan perbaikan proses belajar mengajar yang telah digunakannya selama ia bertugas. Lebih jauh dari itu, guru tersebut akan mempelajari kelemahan dan kelebihan dari berbagai teori dan konsep yang dapat digunakan dalam proses KBM yang diterapkan para pendahulunya, untuk selanjutnya dilakukan penyempurnaan dan pengayaan. Mengingat tugas keguruan tidak dapat dipolakan secara mekanis, eksak, dan dengan resep tunggal serta tak terbatasnya variasi tindakan keguruan, maka guru dituntut mampu bertindak kreatif. 13
Dalam kaitannya dengan keikhlasan tersebut, Al-Mawardi juga berbicara tentang gaji dalam hubungan ini Al-Mawardi mengatakan bahwa diantara akhlak yang dimiliki seorang guru adalah membersihkan diri dari pekerjaan-pekerjaan syubhat dan menguras tenaga. Hendaknya ia merasa cukup atas penghasilan yang dicapai dengan mudah, daripada penghasilan yang dicapai dengan susah payah guru harus meninggalkan pekerjaan yang syubhat, karena pekerjaan syubhat akan berakibat dosa. Pahala lebih baik daripada dosa dan kemuliaan lebih pantas dibandingkan dengan kehinaan. 14
Pernyataan Al-Mawardi tersebut mengingatkan kepada kita tentang peranan dan figur strategis yang dimiliki seorang guru. Menurut Al-Mawardi bahwa seorang guru harus merupakan figur yang dicontoh oleh murid dan masyarakat. Oleh karena itu segala tingkah laku guru harus sesuai dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran agama yang berasal dari wahyu.
Sejalan dengan uraian tersebut diatas, maka seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekadar komunikator nilai, melainkan sekaligus sebagai pelaku nilai yang menuntut adanya tanggung jawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini Al-Mawardi mengatakan hendaknya seorang guru menjadikan amal atas ilmu yang dimilikinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia termasuk golongan yang dinilai tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi Taurat tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya seperti seekor keledai yang membawa kitab dipunggungnya. 15
Pernyataan Al-Mawardi tersebut mengisyaratkan bahwa bagian dari kegiatan mendidik adalah memberikan teladan. Oleh karena itu dalam memberikan ilmu kepada muridnya seorang guru dituntut untuk memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya, dengan kata lain seorang guru harus konsekuen serta konsisten dalam menjaga keharmonisan antara ucapan, larangan dan perintah dengan amal perbuatannya sendiri.
Selain tampil sebagai teladan seorang guru harus tampil sebagai penyayang. Guru merupakan aktor kedua setelah orang tua dalam memberikan modal dasar kepada anak-anaknya. Oleh karenanya guru sebagai pendidik profesional dituntut untuk berperan sebagai orang tua di sekolah. Dengan kedudukannya yang demikian, maka seorang guru harus memiliki sifat kasih sayang dan lemah lembut terhadap muridnya. Dalam hubungan ini Al-Mawardi mengatakan bahwa diantara akhlak seorang guru adalah berlaku kasar kepada muridnya tidak boleh menghina murid-muridnya, karena semua itu akan membuat mereka lebih tertarik terkesan dan bersemangat. 16
Kasih sayang dan lemah lembut yang ditujukan oleh guru tersebut, sejalan dengan psikologis manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan semangat belajar seorang murid atau sebaliknya amat bergantung kepada adanya murid dan guru. Apabila guru bersikap kasar dan keras hati serta menggunakan cara-cara mengajar yang tidak tepat, seperti mengancam, menyesali, menghina, maka hal itu dapat menyebabkan para murid kurang senang kepada guru dan tidak mau menerima pelajaran yang diberikannya. Secara psikologis, manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus, daripada diperlakukan dengan cara keras dan kasar.
Selanjutnya seorang guru harus tampil sebagai motifator. Seorang murid akan belajar sungguh-sungguh dan ulet dengan mencurahkan pikiran, tenaga, biaya dan waktu yang cukup demi mencapai kesuksesan. Jika ia menyadari manfaat belajar, kegiatan itu dapat dirasakan sebagai suatu kebutuhan dan suatu hal yang penting baginya. Dalam kaitan ini diantara akhlak guru adalah tidak menghadapi muridnya dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena semua itu akan menghilangkan rasa simpati pada gurunya, dan pada gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika ini terus berlangsung maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu yang disebabkan kelalaian para guru.
Peranan guru sebagai motifator penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Mengingat mengajar seperti yang dikatakan William Burton adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar.
Selanjutnya Al-Mawardi menegaskan tugas dan peran guru sebagai pembimbing. Bimbingan dapat diartikan sebagai kegiatan memantau murid dalam perkembangannya dengan jalan menciptakan lingkungan dan arahan sesuai dengan tujuan pendidikan. Sedangkan dari segi bentuknya bimbingan tersebut dapat berupa pemberian petunjuk, teladan, bantuan, latihan, penerangan, pengetahuan, pengertian, kecakapan dan keterampilan, nilai-nilai, norma dan sikap yang positif. Dalam kaitan ini Al-Mawardi mengatakan diantara kewajiban guru adalah memberikan nasihat atau bimbingan, kasih sayang, mempermudah jalan bagi muridnya, berusaha keras menolong dan membantu muridnya. Semua itu akan menghasilkan pahala yang besar, keluhuran namanya, serta semakin bertambah dan menyebar ilmunya. 17
Bentuk-bentuk bimbingan tersebut selanjutnya adalah dengan jalan membantu murid-murid untuk mengembangkan pemahaman diri sesuai dengan kecakapan, minat, pribadi hasil belajar serta kesempatan yang ada membantu proses sosialisasi dan sensivitas kepada kebutuhan orang lain, mengembangkan motif-motif intrinsik dalam belajar sehingga tercapai kemajuan pengajaran memberikan dorongan dalam pengembangan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan keterlibatan diri dalam proses pendidikan, mengembangkan nilai dan sikap secara menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan diri sendiri, memahami tingkah laku manusia, membantu murid-murid untuk memperoleh kepuasan pribadi dan dalam penyesuaian diri secara maksimum terhadap masyarakat serta aspek pisik, mental dan sosial. 18
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian seorang guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Sebenarnya seorang guru bukanhanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi harus memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran yang akan diajarkan. Namun jika hal tersebut dibandingkan dengan kepribadian, tampaknya Al-Mawardi lebih mengutamakan kepribadian. Hal ini dapat dipahami, karena penguasaan terhadap ilmu dan latar belakang pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang sulit dibentuk.
sumber: berbagai sumber

No comments: