Maaf, Saya Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
Sebuah catatan maraknya aksi penolakan RUU APP di Bali
Berbagai elemen di Bali menolak pembahasan RUU anti pornografi dan pornoaksi.
Kalau ingin menyeragamkan Indonesia, berarti tidak mengakui keberagaman yang ada, dan pada gilirannya tidak mengakui keberadaan dasar terbentuknya negara ini. Kalau ingin memaksakan RUU itu, ubah dulu dasar negaranya. Wajah kalau teman-teman di Bali marah karena keberadaan mereka tak dihargai. Kalau mau diberlakukan, berlakukan di Jakarta sana, atau Surabaya. Tak semua daerah cocok, contohnya di Bali dan Papua. Di Papua misalnya, siapa yang mau berhentikan mereka berpakaian sesuai adatnya, lalu membelikan mereka, maaf, kutang. Ini tak masuk akal.
Ditekankannya, Islam sangat menekankan keberagaman. Kalau ada aturan yang diperuntukkan bagi kalangan intern, maka tak harus menyeret pihak lain untuk diwajibkan melakukan keharusan serupa. Masalah pornografi dan pornoaksi tetap tidak perlu diatur dalam sebuah UU khusus yang berlaku umum. Sebagai solusinya, bila hendak diatur, bisa dengan menggunakan Peraturan Daerah (Perda) masing-masing, sehingga tetap mencerminkan dan menghargai keragaman pandangan sosio-kultural-religius masing-masing daerah. Tetapi bila hanya Bali saja yang memberlakukannya di tengah UU yang berlaku umum, justru dapat berpotensi menimbulkan disintegrasi atau perpecahan.
Lalu bagaimana dengan daerah lain seperti Kalimantan dan Papua. RUU Porno ini justru mengandung potensi disintegrasi antar daerah. Tidak mungkin memilah-milahkan Bali sebagai satu bagian kesatuan negara RI, hanya karena hal yang tidak urgent ini. Karena itu, menurutnya langkah yang tepat adalah dengan tidak mengundangkan RUU yang kontroversial ini.
Untuk Bali, seperti yang pernah dipaparkan sebelumnya, banyak sekali faktor yang menyebabkan mengapa RUU ini tidak layak diberlakukan. Mulai dari masalah urgensinya, hingga permasalahan yang bertuburukan langsung dengan adat, budaya dan keagamaan. Sebagai solusinya dengan mengoptimalkan penegakan hukum dengan perangkat hukum yang selama ini sudah ada dan tetap berlaku yang juga mengatur perihal antipornografi dan pornoaksi, seperti: KUHP, UU Pokok Pers, UU Perfilman Nasional, UU Penyiaran, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga hingga UU Perlindungan Anak.
pasal-pasal yang ada dalam KUHP masih sangat relevan untuk mengatur hal ini, sehingga bisa lebih diprioritaskan perancangannya. Yang perlu ditingkatkan adalah low enforcement-nya. Pembahasan Rancangan KUHP baru ini yang perlu disegerakan. Apalagi, dalam RUU KUHP yang sudah disusun oleh pemerintah saat ini, terdapat dua belas pasal yang sudah secara spesifik mengatur tentang pornografi dan pornoaksi.
Begitu juga dengan langkah mengoptimalkan fungsi perangkat atau badan yang secara resmi diamanatkan, dibentuk, dan diberi wewenang untuk mengontrol dan ataupun menindak dengan penegakan hukum tegas setiap pelanggaran susila maupun kesopanan yang dikategorikan pornografi dan pornoaksi. Dalam hal ini adalah kepolisian, Dewan Pers, Badan Sensor Film Nasional, Komisi Penyiaran Indonesia hingga Komisi Perlindungan Anak.
Sementara dengan membuat UU yang baru, sama saja dengan membuat sistem dan perangkat yang baru di setiap tingkatan sehingga buang-buang waktu dan biaya. Bandem yang pada pertengahan Februari lalu berdialog langsung dengan Pansus RUU di Jakarta, yakin bahwa masih ada harapan bagi Bali. Sebagai wakil rakyat, papar Bandem, mereka pasti akan mendengar masukan dari rakyatnya yang minoritas sekalipun. RUU Anti
Pornografi, Bom III bagi Bali
Pembahasan rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi (RUU APP), mendapat respon penolakan dari elemen masyarakat Bali. Melihat dari apa yang dibahas dalam RUU APP ini sudah tidak ada substansial untuk tawar-menawar lagi, dan apabila diterapkan RUU APP ini akan menjadi Bom ke III Bagi Bali.
pariwisata Bali akan terpuruk kalau RUU APP tidak dibatalkan, budaya bali akan terpasung, seperti misalnya turis tidak boleh berjemur dengan bikini lagi. Bahkan tarian legong tambulilingan yang mengisahkan sebuah percintaan 2 insan, juga tidak bisa dipentaskan, apabila RUU APP ini diterapkan. Perempuan berhak atas tubuhnya sendiri dan tidak seorangpun yang boleh menjadikannya komoditi dan objek kepentingan atas nama moralitas sekelompok orang, perempuan bukan sumber kemaksiatan atau penggoda yang harus dipasung sensualitasnya atas nama moralitas pula dan perempuan bukan pelaku yang harus dikriminalkan tetapi perempuan adalah korban kekerasan seksual akibat pornografi. Walaupun ada nantinya klausul yang membebaskan Bali dari aturan UU APP, warga Bali yang di luar Bali akan kena juga, padahal mereka masih harus menjalankan budaya, kesenian ataupun berpakaian adat Bali (payas agung) yang memakai kain hanya se-dada.
Landasan berpikir para Perancang UU APP sangat berbeda dengan landasan berpikir masyarakat Bali, yang membuat pola pikir tentang yang mana disebut porno berbeda pula. Jadi untuk diterapkan di Bali sudah sangat tidak cocok, karena akan berdampak dengan pengekangan sebuah kebudayaan atau kesenian. Untuk itu saya bukan menolak, namun saya sangat tidak sependapat dengan RUU APP, untuk mengatur hal ini sebenarnya sudah ada Undang-undang penyiaran, Pers dan KUHP, dengan ini sudah cukup dan tidak perlu lagi ada UU APP.
Jangan Salahkan Jiwa Orang Bali Berpikiran Lain
Apa pun alasannya, RUU APP itu tidak perlu lagi dibahas, dan tidak perlu diundangkan, sebab akan menciptakan kerawanan social. Kerawatan social itu tak hanya di Bali, juga di beberapa daerah lainnya.
jika RUU itu sampai diundangkan baik langsung mau tidak langsung, Bali akan terkena dampaknya. Sebagai daerah wisata, Bali sangat terbuka, justru inilah yang membuat Bali sangat terkenal di dunia. Sebagai daerah wisata, Bali jelas memiliki budaya yang multikultur. Budaya Bali dan Budaya Barat sepertinya sudah menyatu, dan Bali memiliki kebudayaan yang sangat terbuka. Sebagai salah satu contoh, dalam RUU APP itu, disebut dilarang melakukan ciuman bibir di muka umum. Konteks kali ini dalam RUU APP tersebut bisa membuat orang asing ngeri datang ke Bali.
Bagaimana mungkin, kita bisa menangkap orang berciuman di muka umum, dan bagi wisatawan asing hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Contohnya.
Tak hanya itu, orang juga dilarang memperlihatkan bagian tubuhnya yang sensual, menurut Wiratha, bagian tubuh yang mana. Di pantai Kuta turis-turis hanya mengenakan bikini berjemur, dan jelas memperlihatkan bagian tubuhnya yang sensual, ini dapat dilarang jika RUU APP diundangkan.Jadi, daripada menimbulkan banyak persoalan, lebih baik distop saja pembicaraan mengenai RUU APP tersebut. Semua ini akan membuat bangsa ini terpecah belah.
Jika DPR RI maupun pemerintah memaksakan kehendaknya untuk menggolkan RUU APP ini menjadi undang-undang, maka jangan salahkan kalau nanti orang Bali bakal berpikiran lain.
No comments:
Post a Comment