
Friday, April 24, 2015
Rajanya Hortikultura

Raja Belanda Rajanya Air

Sunday, April 29, 2012
MARK RUTTE, Pemimpin Ber-“IPK” Cum Laude dari Belanda
Tuesday, April 28, 2009
Studi ke Belanda, Melanjutkan Cita-Cita Munir

Hanya ingin sedikit menguak kenangan kita saja. Ketika itu Senin malam (6/9/2004), Munir terbang ke Negeri Kincir Angin untuk mengejar cita-cita kuliah di Belanda. Namun tiga jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, atau pada Selasa pagi (7/9/2004), Munir tak sadarkan diri.
Laporan media-media menunjukkan bahwa Munir meninggal diracun dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Sejauh ini, Suciwati, istri Munir, dan teman-teman kontras dan aktivias LSM lainnya terus berjuang untuk mengetahui siapa dalang pembunuhan pejuang HAM tersebut.
Sebenarnya, saya hanya mengetahui perjuangan Munir dari televisi dan koran. Saya juga kaget ketika Munir menjadi korban. Kadang, saya tak habis pikir ada pihak yang mengasosiasikan Munir dengan ancaman atau rencana pembunuhan. “Awas lho, entar di-munirkan,” demikian akrab di kalangan teman-teman NGO (Non Governmental Organization). Masya Allah...
Secara langsung, saya tidak pernah bertemu dengan Munir ketika masih hidup. Saya hanya pernah sekali bertemu dengan istri Munir, Suciwati di sebuah forum 100 hari peringatan kematian Munir di kampus Brawijaya tahun 2004. Ketika itu, saya masih kuliah.
Pada acara yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu, Suciwati menceritakan dengan detail kronologis kematian sang suami. Acara itu tak berlangung lama. Salah satu teman saya, Agustinus Mujiraharjo, sontak berdiri setelah acara itu selesai. Dia mengambil satu tangkai bunga mawar merah.
“Untuk apa gus?” tanyaku padanya. “Aku mau kasih bunga mawar merah ini pada Suciwati,” jawab Agustinus. Agustinus tanpa canggung pun menyerahkan bunga mawar itu pada istri Munir. Tanpa obrolan, Suciwati hanya tersenyum atas simpati. Sayangnya, ketika itu, saya hanya terdiam dan termangu melihat aksi Agustinus tersebut.

Perjuangan Munir
Dari beberapa koran dan buku yang pernah saya baca tentang Munir, dia merupakan tokoh yang cukup kontroversi. Pria keturunan Arab ini lahir di Malang, pada Rabu, 8 Desember 1965. Dia meraih gelar sarjana hukum di Universitas Brawijaya Malang pada 1989.
Pada 1989, Munir masuk ke LBH Malang sebagai sukarelawan, lalu memutuskan total sebagai orang LBH. Pada tahun 1995, Munir mendapat promosi menjabat sebagai Direktur LBH Semarang selama tiga bulan. Lalu ditarik ke YLBHI, Jakarta, merangkap sebagai Koordinator Kontras pada 1998.
Saat menjadi ketua Kontras, namanya paling diingat ketika membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Pak Harto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Aktivitas Munir yang sangat berani itu kemudian mengantarnya memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Yang mengharukan, Man of the Year 1998 versi majalah Ummat itu tidak tergoda untuk memiliki semua hadiah yang didapatkannya itu. Majalah Asiaweek pada Oktober 1999 menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru.
Cita-Cita Munir
Yang perlu dicatat, Munir tewas dalam pesawat yang akan mengantarkannya studi di Belanda. Munir berencana kuliah di Universitas Utrecht atas undangan lembaga dana Belanda ICCO. Jelas, sekali bahwa cita-cita Munir untuk kuliah di Belanda tidak tercapai. Memang takdir yang berkata lain ketika manusia hanya bisa merencanakan, tetapi Tuhan lah yang menentukan....
Walaupun nama Munir sebelum meninggal telah menginternasional, tetap saja semangatnya untuk terus belajar dan mengkaji ilmu tak pernah berhenti. Munir tidak pernah merasa puas untuk belajar dan terus belajar, tanpa mengenal usia. Munir paham bahwa dengan ilmu, manusia akan terasa kecil karena luasnya ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pulalah, kita bisa berbagi dengan orang lain.
Jelas sekali, kuliah hukum di Utrecht hanya satu dari banyak sekali cita-cita sang Almarhum. Tentunya, cita-cita Munir dalam kehidupannya, yang pernah saya tahu, adalah bermanfaat bagi orang lain. “Hidup kami bersama Munir sangat bahagia. Ukuran kami bukan materi, melainkan seberapa besar hidup ini berguna bagi orang lain,” kata Suciwati istri Alm Munir seperti dikutip dari Harian Suara Merdeka. Sungguh mulia cita-cita sang Munir.
Kenapa Munir bercita-cita kuliah di Belanda. Saya pribadi tak mengetahui itu. Browsing bersama prof google pun, saya tak menemukannya. Hanya saja, berdasarkan cerita teman-teman saya di NGO, Belanda dikenal sebagai gudang ilmu para aktivis Indonesia. Belanda dikenal menampung para aktivis yang sering menyuarakan suara hati masyarakat tanpa kenal lelah dan takut. Saya pikir, Munir memilih Belanda, disebabkan karena faktor tersebut.
Ditambah lagi, sistem pendidikan di Belanda sangat membuka kesempatan untuk mengembangkan pemikiran dan kreativitas dalam konteks ilmu pengetahuan. Sangat kontas dengan pendidikan di Indonesia yang lebih mengarah pada teacher mainstream. “Guru atau dosen adalah segalanya di depan kelas,” pendapatku. Para aktivis dan orang yang bergelut dengan dunia sosial sangat menolak ide seperti. Saya pikir termasuk Munir.
Dalam buku study in holland terbitan NESO, dijelaskan dengan gamblang. Mungkin ini adalah jawaban kenapa Munir memilih kuliah di Belanda. “Sistem pengajaran di Belanda
Menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan negara Belanda yang mampu memperkokoh akar masyarakat negara ini yang dikenal dengan keragaman dan masyarakat yang pluralistik. Ini juga merupakan landasan utama dari metode pengajaran yang diberlakukan di universitas Belanda. Gaya pengajaran yang demikian memberikan perhatian dan kebebasan bagi siswa untuk mengembangkan pendapat dana kreativtas dalam aplikasinya.”
Terus, kuliah di Belanda lebih mudah. Karena 1.391 program berbahasa inggris. Belanda merpakan negara non berbahasa inggris pertama yang menawarkan program studi berbahasa inggris. Lebih dari 1.391 program berbahasa inggris untuk berbagai bidang yang ditawarkan universitas Belanda. Jadi Belanda memang t o p....dalam hal pendidikan.
Apalagi, pendidikan tinggi Belanda telah diakui reputasinya di duia. Hal ini tercipta melalu sistem nasional dan jaminan mutu. The Times Higher Education Supplement menempatkan 11 universitas di Belanda sebagai bagian dari 200 universitas terpopuler di dunia. Belanda juga diakui dunia intrnasional sebagai pencetus sistem problem-based learning yang mengajarkan siswa untuk dapat menganalisis dan memecahkan masalah secara mandiri dengan menitikberatkan pada belajar mandiri dan disiplin.
Yang membedakan dengan Indonesia, Sistem pendidikan tinggi di belanda tersedia dua jenis pendidikan regular yang utama yaitu universitas riset dan university of applied sciences. Di Belanda ada 14 universitas riset, tiga diantaranya memiliki spesialisasi di bidang teknik. Pada prinsipnya, universitas tersebut melatih mahasiswa menjadi ilmuwan dan pakar di salah satu bidang, namun banyak program studi juga mengarah ke lingkungan profesional. Sedangkan university of applied sciences lebih berorientasi ke praktek, mahasiswa langsung diarahkan untuk meraih jenjang karir di bidangnya.
Sumber
Harian Suara Indonesia
Harian Suara Merdeka
Study in holland
Foto:
Daylife
Eurostep
nuffic
Thursday, April 23, 2009
Studi di Belanda, Antara Geert Wilders dan Nasi Goreng

Nah, tanda tanya itu semakin menjadi-jadi pada awal 2008. Tepatnya ketika fim “Fitna” yang dirilis pada 27 Maret 2008 lalu dan beredar luas di internet, terutama situs Youtube. Kebencian sebagian masyarakat Indonesia terhadap Belanda meluap karena pembuat film tersebut merupakan anggota parlemen Belanda, Geert Wilders.
Dendam masa lalu yang selama ini terpendam, meledak hanya karena sebuah film. Anehnya, pelampias dendam itu tidaklah tepat. Demonstrasi besar-besaran mengecam Wilders pun disangkut pautkan dengan Belanda. Bahkan, saya masih ketika salah satu organisasi Islam berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dengan dengan melempari telur busuk. Lepas dari pro dan kontra film Fitna, saya tidak sepakat dengan demonstrasi yang terbilang anarkhis tersebut.
Bukannya kapok! Baru-baru ini, Geert Wilders pun berencana membuat sekuel film Fitna kembali. Seperti dilaporkan, harian terkemuka Inggris, Guardian, anggota parlemen yang dikenal sangat Islamfobia itu berencana membuat sekuel film Fitna yang berisi hujatan dan penistaan terhadap ajaran Islam.
Kabarnya, film baru itu bakal ditayangkan ke publik pada tahun depan. Parahnya lagi, Wilders mendapatkan bantuan dari sineas dari New York dan Hollywood untuk membuat film itu. “Kita harus menyerang lebih keras lagi, lebih ofensif,” tutur Wilders. Wah..wah... kalau film tersebut dirilis, di Indonesia bakal makin heboh menghujar Wilders yang diasosiasikan Belanda. Kita tunggu aja, tanggal mainnya....
Yang perlu diperhatikan sebenarnya, mengecam atau tidak suka dengan Wilders dan filmnya bukan dengan cara demonstrasi. Apalagi, kalau membakar bendera negara segala...wah parah kalau begitu. Walaupun saya tidak menyetujui apa yang dilakukan Wilders, saya tak perlu ikut demonstrasi. Padahal, ketika kuliah dulu, saya paling rajin ikut demonstrasi di kampus. Sering bentrok dengan polisi, keren bo. Sekarang, taubat lah...
Justru yang masih menjadi tanda tanya tentang Wilders adalah sosoknya. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Bukannya untuk melempar telur busuk atau tomat mentah ke mukanya. Tapi, saya ingin berdiskusi dengan Wilders tentang kenapa dia membuat film Fitna. Walaupun, media-media Belanda dan Eropa telah mengupasnya detail. Harapannya, saya ingin mendengarkan langsung dari mulutnya mengenai film itu.
Untuk bisa mewawancarai Wilders, wah...harus pergi ke Belanda dung... ya jelas lah! Masa pake tabungan sendiri, wah nggak cukup! Hutang ke bank, nggak kuat membayar kreditnya. Kalau minta uang ke orang tua, wah malu...apalagi, panen di kampung halaman gagal total karena dimakan tikus. Nah, karena itu lah saya mengikuti lomba kompetiblog, siapa kira rejeki berpihak padaku, amien....
Jika saya berhasil mewawancarai Wilders, pertanyaan pertama saya adalah why are you hate Islam? Setelah itu, saya justru akan menguasai pembicaraan. Saya ingin menjelaskan tentang Islam yang ada di Indonesia atau saya kenal dengan nama Islam Nusantara itu berbeda dengan Islam di negara lain. Saya ingin mengatakan pada Wilders, Islam di Indonesia sangat menghargai perbedaan. “Why you can do like Indonesian?,” pertanyaan pungkasnya.
Wilders memang masih menjadi fenomena. Dengan mencuatnya kasus Wilders, tidak akan berdampak dengan minta orang Indonesia belajar ke Belanda. Saya pikir, dengan adanya kasus Wilders akan semakin banyak orang yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai Belanda. Kenapa? Belanda merupakan salah satu tangga untuk meraih masa depan yang lebih baik, dan itu telah menjadi pandangan bagi para pemburu beasiswa.

Dalam buku ‘tinggal dan studi 2009/2010’ yang saya peroleh gratis dari NESO, menuliskan bahwa ‘sejak beberapa dasawarsa yang lalu sejarah negara ini menyebabkan banyak warga dari negara lain yang hidup di Belanda.’ Hanya saja, bedanya multikultur di Belanda lebih mengarah pada bangsa, sedangkan di Indonesia lebih mengarah pada suku.
“Beragamnya budaya menyebabkan Belanda menjadi negara pertemuan ilmu pengetahuan, ide-ide dan budaya dari seluruh dunia,” demikian ditulis dalam buku panduan study in holland.
, kenapa di Indonesia juga kaya akan budaya, tetapi kok tidak menjadi pusat ilmu pengetahuan. Nah, untuk bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat budaya, alangkah baiknya jika belajar dari Belanda. Saya yakin, dalam beberapa dekade kedepan, Indonesia bakal bersaing dengan Belanda. Apalagi, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tingal memoles sumber daya manusianya saja.
Hal yang lain yang menjadikan Belanda menarik, selain karena faktor Wilders, adalah faktor kepribadian warganya. Ketika saya bekerja menjadi pemandu wisatawan di Bali, saya memiliki tamu wisatawan asal Belanda. Mereka sangat enak diajak komunikasi. Sedikit tegas, tetapi tidak mudah tersinggung seperti orang Jerman. Walaupun baru pertama kali kenal, mereka langsung cair dan bisa menjadi teman yang asyik. Dalam hatiku, mungkin mereka berpikir kasihan pada orang Indonesia yang pernah dijajah kakek buyut mereka.
Hal yang masih berkaitan dengan Wilders, walaupun dia sempat membuat kekacauan di Belanda. Tetapi, Belanda tidak kacau. Ini merupakan bukti bahwa Belanda merupakan negara yang aman. Beberapa teman saya yang pernah kuliah di Belanda bilang, Belanda merupakan negara yang paling aman. Jarang sekali terjadi tindak kekerasan dan kriminal di jalanan. Wah makin yakin belajar di Belanda dung....
Belanda sangat berbeda dengan AS. Padahal, minat mahasiswa Indonesia belajar di Negeri Paman Sam lebih tinggi dibandingkan minat ke Negeri Kincir Angin. Mulai dari aksi penembakan yang sering diberitakan di televisi dan koran berulang kali terjadi AS. Bahkan, Pemerintah China pada Maret 2008 lalu pernah menuduh AS tidak mampu menangani kemiskinan, dan memerangi kejahatan.
Laporan Xinhua menyebutkan, sebanyak 25 juta penduduk AS diatas usia 12 tahun ke atas terlibat kejahatan pada 2006. Kejahatan rata-rata per 24,6 orang menjadi korban kejahatan di Amerika per 1.000 orang. Sedangkan sebanyak 159,5 dari 1.000 juga menjadi korban pencurian dan perampokan. Setiap 22,2 detik selalu terjadi satu tindak kejahatan. Setiap 30,9 menit di Amerika dilaporkan terdapat satu orang tewas di bunuh.
Pemerkosaan di AS terjadi setiap 5,7 menit. Parahnya lagi sekitar 30.000 orang tewas karena senjata api di Negeri Paman Sam itu setiap tahun. Wah kok serem sekali, lebih baik kuliah di Belanda saja....aman coy...(kata Budi Anduk, Tawa Sutra).
Tema kali ini lepas dari kaitannya dengan Wilders. Saya akan membahas tentang makanan khas Belanda! Kuliner, mak nyus....seperti kata Bondan Winarno. Tapi, sepengetahuan saya kuliner Belanda tidak terlalu mendunia. Berbeda dengan Prancis. Jangan-jangan, orang Belanda tidak suka memasak, seperti orang Indonesia atau bangsa lainnya. Yah...berarti kalau ke Belanda, makannya Cuma kentang, sup, dan salad. Membosankan dung.... masa ke Belanda hanya untuk makan nasi goreng...hahahaha.
Meningat saya adalah orang desa yang merantau ke kota. Saya pingin sekali mengetahui sistem pertanian di Belanda. Dari buku panduan study in holland menyebutkan, Belanda mengekspor produk-produk pertanian ke seluruh dunia. Wah keren dung.... apalagi, seperlima ekspor belada adalah produk makanan dan bunga. Padahal, Indonesia mengekspor beras saja baru kemarin sore. Kita, sebagai bangsa Indonesia harus malu. Dengan negara yang luas, tetapi pertaniannya justru memble.
Saya ingin mengetahui lebih dekat bagaimana mekanisasi pertanian di Belanda. Dukungan dari para peneliti dan ilmuwan dalam hal pertanian sehingga kualitas dan kuantitas produk lebih terjaga. Walaupun, ilmu-ilmu cukup sulit diterapkan di kampung halaman saya nantinya. Maklum, sistem pertanian di kampung halaman saya masih tradisonal. Unsur mekanisasinya belum sepenuhnya dijalankan.
Yah...kepanjangan ya tulisan ini...tak apa lah yang penting memberikan manfaat. Yang penting, bagi Anda yang ingin studi ke Belanda, tetap semangat! Sampai ketemu di Belanda ya...amien...
Kredit foto:
guardian.jpg
hickerphoto.jpg
bbc
Referensi:
Guardian
Xinhua
Seputar-Indonesia
Tinggal dan studi 2009/2010 study in holland
Wednesday, April 22, 2009
Mimpi Sang Nenek yang Terpatri di Hati

Ketika itu, saya hanya berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya, salah satu kompeni itu meletuskan timah panas dan mengenai pundakku. Darah mengucur deras dan saya hanya bisa memekik kesakitan. Eh, beberapa detik kemudian, saya terbangun dari mimpi. “Wuih, ternyata mimpi....!” (mimpi basah, lagi, hehehe. Mandi besar deh...).
Tumben banget, saya bisa bermimpi. Berlatar belakang cerita kolonial lagi. Kok asyik ya...! Jadi ketagihan! Tapi mimpi dikejar-kejar kompeni itu, sayangnya tak terulang. Tak masalah, yang penting pernah, mimpi basah lagi...
Melihat mimpi itu pun saya kembali teringat cerita dari nenek, yang usianya mungkin sudah lebih dari 100 tahun. Namanya Tarwiyah. Beliau pernah bercerita tentang kondisinya saat terjadi penjajahan. Bagaimana, nenak dan almarhum kakek harus mengungsi ke hutan setiap desingan peluru dan ledakan meriam bertubi-tubi menghantam Desa Penggarit.
Nenek juga kerap bercerita tentang salah satu anggota kompeni orang Belanda yang memaksa anak-anak desa untuk sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Bagi mereka yang tak mau bersekolah, para kompeni mengancam akan menembaknya. Namun, nenek dan kakek saya selalu menghindar ketika anggota Kompeni itu berpatroli. “Nyong emoh sekolah, gurune galak-galak (Saya tidak mau sekolah, gurunya sering marah-marah),” kata nenek ketika bercerita.
Akhirnya, nenek saya pun menyesal. Teman-teman yang mau bersekolah bisa menjadi carik (sekertaris desa), karyawan pabrik gula, dan lain sebagainya. Karena tak berbekal pendidikan, nenek dan kakek pun hanya menjadi petani di kampung. “Sinauo sing kiyeng, angger perlu karo wong Londo. (Belajarlah yang giat. Kalau perlu belajar dengan Orang Belanda),” dawuhnya.
Kembali ke masa kini, saya hanya bisa merenungi kembali petuah-petuah dari nenek saya yang telah berpikir ke depan bagi cucunya. Kini, nenek saya itu hanya bisa tidur-tiduran di ranjangnya karena penyakit usia yang makin menua. Ketika saya pulang kampung, saya selalu menjenguk nenek di rumahnya. Saya pun terus teringat, akan pesannya untuk terus belajar walaupun sama dengan Orang Belanda.
Peninggalan Belanda di Kampung Halaman
Saya sangat mengagumi karya-karya penjajah Belanda yang tertinggal di kampung halaman saya. Walaupun tidak monumental atau terkenal ke seluruh Nusantara, tetap saja itu menjadi inspirasi saya untuk bisa belajar ke Belanda.
Beberapa peninggalan Belanda itu antara lain leis, brug abang, dan sungai irigasi. Nenek saya selalu bercerita tentang ketiga peninggalan Belanda itu padaku. “Londo iku kuat. Leis, brug, lan kali sier iku lho contone. (Belanda itu kuat. Lesi, brug dan sungai irigasi itu contohnya),” petuah nenekku.

Leis. Saya tak paham asal muasal kenapa diberi nama Leis. Yang jelas, leis merupakan jembatan yang menghubungkan antara desa saya, Penggarit dengan Sungapan, tetangga desa. Maklum, kedua desa itu dipisahkan oleh sebuah sungai yang cukup lebar kurang lebih 60 meter (maaf kalau kurang tepat, saya belum pernah mengukurnya). Jembatan itu lebarnya hanya dua meter atau hanya cukup untuk satu mobil yang bisa melewati jembatan. Kalau truk dan bus besar tak boleh melewati jembatan karena merusak saja.
Leis didirikan Belanda sekitar tahun 1900an. Saya tak tahu persis kapan jembatan itu dibuat. Seingat saya, Leis hanya pernah ambruk ketika ada banjir besar yang terjadi pada 1990. Itu pun karena terhantam oleh kayu besar yang terhanyut bersama derasnya air sungai. Leis memang kuat dan tangguh. “Orang Belanda kalau membuat jembatan terkenal awet ratusan tahun,” demikian kata orang-orang tua di desa saya.
Leis pun dijadikan tempat pacaran bagi anak-anak di desa Penggarit. Bahkan, pasangan kekasih dari luar desa pun sering datang ke jembatan romantis itu di kala sore menjelang petang. Leis yang juga memiliki diitari bendungan juga sering jadi ajang pemancingan.

Dulu pas jaman Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) berkuasa, setiap tahun sebagian di desa saya pasti di-tebu. Kereta tebu yang terdiri dari satu lokomotif dan gerbong-gerbong telanjang yang membawa tebu selalu hilir mudik mengangkut bahan utama gula itu.
Jika warga yang ingin melalui brug abang itu, harus ekstra hati-hati. Kenapa? Pasalnya brug abang dikenal sebagai jembatan telanjang karena tidak ada pengaman sama sekali. Gampangnya, alas jembatan hanya terdiri kayu yang dipasang seenaknya tanpa dipaku. Biasanya, orang yang mengendarai sepeda motor pun tak berani melewatinya. Paling, mereka yang mengendari sepeda, itu pun harus dituntun. Semuanya pun maklum, brug abang dibangun sebenarnya untuk kereta tebu.
Seiring dengan jaman reformasi dan kebebasan yang kadang keblabasan. Sawah di desa saya semakin jarang ditebu. Akibatnya, kereta tebu pun makin jarang merambah desa saya dan brug abang. Petani di desa lebih suka sawahnya ditanami padi. Kalau ditebu, waktunya terlalu lama dan untungnya sedikit. Yah...makin jarang lihat kereta tebu melewati brug abang dengan asap hitam yang membumbung ke angkasa.
Sungai Irigasi. Sungai bukan tercipta karena aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sungai juga bukan alamiah semata, tetapi juga bisa dibuat. Kok bisa? Buktinya, di desaku Penggarit, sungai yang alami justru dimati hingga disebut kali mati (sungai mati). Kebetulan, kali mati itu letaknya di depan rumahku. Sungai itu sengaja dimatikan oleh Belanda. Hebatkan Belanda, sungai aja bisa dimatikan!
Sebagai gantinya, dibuatlah sungai baru. Kata nenekku, ratusan warga desa di paksa membuat sungai itu. Sayang, aku lupa kapan sungai baru itu dibuat. Sungai itu dibuat sepanjang beberapa kilometer hingga ke beberapa desa tetangga. Ada cerita unik, ketika sungai tersebut dialiri air dari bendungan leis, ternyata airnya tidak mau mengalir. Kok aneh!
Boleh percaya atau tidak, ternyata kompeni juga percaya takhayul. Ketika itu, ada salah satu warga di desaku yang bermimpin kalau air di sungai baru itu bisa mengalir, maka perlu dirayakan dengan hiburan tradisional yaitu tarian-tarian. Setelah digelar acara itu, besok paginya, air pun mengalir deras membajiri sungai baru itu. Sungai itu dikenal di desaku dengan kali sier, sebagian lainnya menyebutnya dengan kali kidul (sungai selatan).
Jika teman-teman ingin membuktikan, boleh kok main ke kampung halaman saya. Murah kok transportasinya. Naik kereta ekonomi Kertajaya (Ps Senen turun di stasiun Pemalang : 27ribu jam 16.15 sore) atau Tawang Jaya (Ps Senen turun di stasiun Pemalang: 27ribu jam 21.30 malam). Atau pakai bus Sinar Jaya, Dewi Sri, Dedy Jaya (ekonomi 40ribu, bisnis 45, eksekutif 50, berangkat pagi dan sore dari Jakarta turun di terminal Pemalang). Murah kan...
Entar, dari stasiun atau terminal pemalang bisa naik angkot berkode F (Pemalang-Penggarit). Turunnya di perbatasan desa Penggarit, kalau mau jalan kaki ya boleh, sekitar 15 menit. Kalau naik becak, bilang saja, temannya Andi. Semua tukang becak kenal sama saya, hehehe. Mantan preman kampung, hahaha. Kalau pas bapak saya lagi santai, bisa telpon aja, entar dijemput pakai mobil.... Udah banyak teman-teman yang membuktikan kok....
Hanya sekedar bermimpi
Akankah mimpi itu menjadi sebuah kenyataan? Sebagia manusia, kita hanya bisa berdoa dan berusaha untuk menggapai mewujudkan mimpi dan cita-cita sang nenek...
Studi di Belanda Bukan Hal MustahilSaya semakin terngiang akan pesan nenek setelah menghadiri pameran pendidikan Eropa beberapa bulan lalu. Ketika itu, saya mengunjungi stand NESO. Salah satu staf NESO mengatakan, Belanda merupakan pintu gerbang ilmu pengetahuan di Eropa. Dia melanjutkan, Belanda membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemuda Indonesia untuk menuntut pendidikan di sana.
Pandangan dan pemikiran saya pun terbuka. Ternyata, belajar di Belanda bukan hanya melulu tentang hukum. Maklum, Belanda banyak melahirkan tokoh-tokoh hukum Indonesia. Belanda juga menjadi sumber inspirasi bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Apalagi, dengan dukungan pemerintah Belanda dan kalangan swasta yang sangat antusias mendukung pendidikan yang menciptakan kualitas SDM yang mumpuni. Saya pun semakin yakin, Belanda memang pintu gerbang ilmu pengetahuan di Benua Eropa.
Kredit foto:
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13252&Itemid=34
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13500&Itemid=59