Showing posts with label Studi di Belanda. Show all posts
Showing posts with label Studi di Belanda. Show all posts

Friday, April 24, 2015

Rajanya Hortikultura

Sekitar enam tahun lalu, saya kebetulan mudik ke kampung halaman. Cuti sejenak dari rutinitas kantor yang menyita waktu dan pikiran. Menjalin silaturahmi dengan keluarga dan teman lama. Ternyata, di situlah saya menemukan satu pencerahan yang luar biasa yang menyadarkan jiwa. Yah, pengalaman sepele namun menggugah pemikiran saya tentang apa yang bisa saya lakukan di masa mendatang. Apa itu? Balik ke kampung dan menjadi petani. Adalah Murni, seorang teman SMA saya. Seorang sarjana pertanian dari UNS Solo. Ketika kebanyakan kawan-kawannya memilih untuk merantau ke Jakarta, termasuk saya, selepas lulus kuliah, Murni tidak demikian. Dia tetap kembali ke kampung. Dan dia menjadi petani. Dia tak malu. Dia berani. Padahal dia seorang perempuan. “Saya lahir di keluarga petani. Aku ingin mati pun saat aku jadi petani. Tani itu hidupku,” yakin Murni kepadaku. Aku hanya bengong. Ketika ada tawaran menjadi PNS di Dinas Pertanian, Murni masih bertahan dengan pilihan dengan menjadi petani. Ketika ada ajakan dari dosennya untuk menjadi asistennya, Murni tetap menetapkan diri dengan pilihan hidupnya. Tawaran untuk bekerja di Jakarta sebagai peneliti pun ditampiknya. “Menjadi kaya itu tidak harus bekerja di Jakarta! Siapa bilang petani tak bisa kaya! Kaya itu bukan masalah harta. Tetapi yang penting kaya itu bisa menikmati hidup dan memberi manfaat!” nasehat Murni kepada saya. Murni itu seorang perempuan. Bukan lelaki. Visinya yang agung ternyata terwujud dalam waktu empat tahun. Bukan waktu yang singkat. Dia sudah menjadi bos! Sudah memiliki brand! Sudah punya karyawan! Asetnya sudah banyak. Dia membuktikannya kepada saya dan kawan-kawannya. Kalau jadi petani itu pilihan tepat! Jadi petani bukan pilihan yang salah! “Kapan kamu jadi petani?” tantang Murni kepada saya setiap saya berkunjung ke ladang milik Murni yang terhampar luas. Saya sengaja tak menjawabnya. “Nunggu pensiun?” ejek Murni lagi. Saya mencoba tersenyum dan menghindari jawaban itu. “Nunggu punya modal?” sindir Murni lagi. Saya hanya melihat hamparan kebun kacang panjang milik Murni yang terhampar luas. “Aku ajarin agar kamu sukses jadi petani! Tetapkan berinovasi. Itulah kuncinya!” yakin Murni. Saya tersentak. Hanya diam. Aku tak berkutik. Hanya mengamini saja. Murni memang berinovasi. Ketika banyak orang di kampungnya mengembangkan pertanian organik, dia memulainya. Ketika banyak petani di kampungnya menjual hasil bumi ke tengkulak, Murni memilih memasarkannya sendiri. Ketika banyak orang masih terjebak dengan retenir, dia mendirikan koperasi untuk para petani! Ketika banyak petani terjebak dengan tradisi, Murni berinovasi dengan memadukan antara ilmu pengetahuan dengan pertanian. Dan saya teringat dengan pernyataan Murni ketika membaca berita tentang hortikultura di Belanda. Tepatnya profil tentang Rob Baan, CEO Koppert Cress. Ternyata, inovasi adalah kuncinya dalam mengembangkan pertanian. Selama ini, di otak saya, yang namanya pertanian identik dengan kuno, tradisi, dan turun temurun. Paling-paling inovasinya hanya traktor dan kombinasi pupuk. Ternyata tidak! “Untuk menjadi pelopor di hortikultura seharusnya berkonsentrasi pada produk yang segar yang mengandung diet sehat dan obat penyakit seperti kanker dan diabetes,” kata Rob Baan, yang saya kutip dari webnya langsung www.koppertcress.com. Rob sukses mengembangkan perusahaannya dengan memproduksi herbal dengan kualitas tinggi di Belanda. Teknologi juga dikembangkan untuk mendukung hortikulturanya dengan spesifikasi di bidang herbal aromaterapi. Apa saja inovasi yang diterapkan Rob? Rob tidak menggunakan lampu LED untuk menerangi kebun rumah kacanya. Namun, dia membeli lampu yang mampu bertahan 20 tahun. Warna lampu yang dipilihnya adalah merah muda, bukan hijau. Untuk mengurangi biaya energi, Rob tidak menanam herbalnya dengan tanah, tetapi dia menggunakan popok yang mampu menyerap air dengan baik. Tidak ada tanah sama sekali yang digunakan Rob dalam menanam herbalnya. Dia mengembangkan selulosa putih yang dijadikan sebagai media untuk penanaman herbalnya. Tidak berhenti sampai di situ saja, Rob juga mengemas produk tanaman herbalnya di dalam kotak ketika dikirim ke pelanggannya. Satu kotak terdiri dari 16 kup tanaman dengan rasa yang berbeda-beda. Tanaman itu dapat bertahan hidup selama beberapa pekan. Kotak herbal itu diekspor ke 70 negara. Misi pendidikan yang diajarkan Rob adalah mengajak masyarakat untuk mengonsumsi herbal yang sehat untuk mencegah penyakit berbagai penyakit berbahaya. Ternyata itu bisa dihadirkan tanaman herbal. Bukan herbal yang telah kering dan dikemas layaknya obat. Rob menghadirkan herbal dalam kondisi segar sehingga memberikan manfaat yang lebih terasa dibandingkan dengan kemasan olahan. Untuk mewujudkan mimpinya seperti saat ini, Rob membutuhkan waktu dan proses yang lama. Selama 25 tahun, dia berkeliling dunia, khususnya Asia. Di sanalah pulalah dia menermukan inspirasi. “Saya kagum dengan tekstur dan rasa sayuran Asia yang tak dimasak,” katanya. Dari situlah, dia menemukan inspirasi untuk memproduksi sayuran yang sehat dan langsung dalam dimakan. Memang tidak bisa dibandingkan antara apa yang dilakukan Rob dan Murni. Masih bumi dan langit. Saya kagum dengan Rob yang notabene sudah goes international dengan inovasinya. Tapi saya tidak akan meremehkan Murni yang terus berinovasi. PING Saya melihat ponselku. Ternyata Murni mengirimkan pesan. Kapan balik kampung? Pertanyaan yang dikirim Murni. Saya sengaja tak menjawabnya. Masih nunggu pensiun kalau jadi petani? Provokasi Murni. Inovasi, jangan nunggu takdir Tuhan. Sindir Murni. Referensi Teks: 1. http://www.biobasedpress.eu/2013/12/rob-baan-koppert-cress-horticulture-should-be-more-innovative/ 2. http://centraleurope.koppertcress.com/en/content/cressformation-4 Referensi Foto: stichtingsamensterk.nl

Raja Belanda Rajanya Air

Pada 30 April 2013 silam, seperti biasa saya mengakses situs berita BBC. Bukan sekedar ingin tahu tentang berita internasional yang sedang tren. Tapi kebutuhan. Adalah saya sangat terkejut ketika membaca berita pelantikan Raja Belanda Willem-Alexander. Setelah dilantik, biasanya raja baru akan pawai keliling kota. Umumnya mereka mengenakan kereta kencana dengan kuda yang kekar. Tapi saya tak melihat hal itu pada perayaan pelantikan Raja Belanda Willem-Alexander. Apa yang terjadi? Pawai penyambutan raja baru itu dilakukan di sungai! Aneh bukan main. Maklum, aku belum pernah ke Belanda. Di Indonesia, sungai identik dengan kotor dan jorok. Segala sesuatu yang bersifat buangan dan sampah diidentikkan dengan sungai. Tapi, pawai raja baru justru dilakukan di Belanda. Berarti orang Belanda memiliki pola pikir dan persepsi yang berbeda tentang sungai. Buktinya pawai raja baru saja digelar di sungai! Adalah Sungai IJ di Amsterdam yang digunakan sebagai lokasi raja baru Belanda itu menyambut rakyat yang mengucapkan selamat dan mengelu-elukan. Saat saya melihat video pawai itu di YouTube, saya dibuatnya merinding. Lebih dari 200 kapal yang dihias dengan mayoritas warna orange ikut dalam pawai itu. Sepanjang tepian sungai, ribuan warga Belanda melambaikan tangan dan berteriak histeris menyambut haru raja baru mereka. Saya pun membayangkan bagaimana jika perayaan pelantikan presiden Indonesia mendatang, tidak menggunakan kereta kencana dan mengeliling jalanan protokol di Jakarta. Bukan mencontek dan meniru. Akan sangat atraktif jika perayaan presiden Indonesia diarak dengan menggunakan kapal di Sungai Ciluwung yang membelah Jakarta. Saya menjamin orientasi Indonesia tidak lagi ke darat, tetapi ke air, bisa sungai dan laut. Apalagi, program pemerintah berkuasa di Indonesia berorientasi ke air, terutama maritim. Maaf, itu hanya saran saya sebagai warga negara biasa. Ternyata dalam pelantikan Raja Willem-Alexander juga diperdengarkan sebuah lagu yang didedikasikan untuk raja baru itu. Lagu itu cukup bagus, menurut saya. Meskipun, lagu cukup mendapatkan kritikan pedas di Belanda. Saya tak membahas hal itu, karena saya tidak suka mengkritik karya orang, saya lebih suka berkarya. Judul lagu penghormatan itu berjudul "Het Koningslied" atau diterjemahkan dalam bahasa Inggris “King's Song”, saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Lagu untuk Raja”. Lagu itu dinyanyikan Marco Borsato dan Trijntje Oosterhuis dengan alunan rap dari Lange Frans. John Ewbank merupakan pencipta lagu tersebut. Saya tak mampu menjelaskan kepiawaian mereka, karena saya tak mengenal mereka. Maaf... Lagu versi bahasa Belanda itu saya dengarkan dan saya rasa cukup asyik. Tapi, karena saya tak paham Bahasa Belanda, saya memilih mencari terjemahan dalam Bahasa Inggris. Dan itu saya temukan di situs berita DutchNews. “I will build a dyke with my bare hands / And keep the water away from you.... The W for water we won’t give way to / We’ll drain it and build dykes...” demikian beberapa bait dalam lagu itu. Saya mencoba menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia. “Saya akan membangun bedungan dengan tangan kosong / Anda menjauhkan air dari kamu.... W untuk air, kita tidak akan kalah/ Kita akan membedungnya dan membangun bendungan...” Berdasarkan analisis lagu itu, secara kasat mata sangat jelas, salah satu tanggungjawab utama seorang Raja Belanda adalah mengurusi air. Faktanya? Raja Willem-Alexander adalah seorang pakar manajemen air. Salut untuk Sang Raja. Kepakaran dalam bidang manajemen air itu ditunjukkan Willem-Alexander dengan keterlibatannya secara aktif dalam manajemen air baik di tingkatan Belanda hingga dunia. Pada 2000, dia ditunjuk sebagai kepala Komisi Manajemen Air Terintegrasi Belanda. Salah satu kontribusi nyata Willem-Alexander adalah Program Delta yang sukses menyelamatkan Belanda dari dampak perubahan iklim. Apa itu Program Delta? Dalam satu paragraf saya berusaha menjelaskannya. Program Delta merupakan proyek raksasa membendung Laut Zuiderzee dengan tanggul sepanjang 30 km. Program itu telah dimulai sejak 1937 dan terus berkembang sekarang. Terbosan inovatif yang dilakukan Willem-Alexander adalah mendirikan "Future Fund" untuk memberikan kredit bagi pengusaha kecil dan menengah. Menariknya, hasil dari "Future Fund" akan digunakan untuk membiayai penelitian dasar dan terapan, khususnya berkaitan dengan teknologi Delta. "Teknologi Delta merupakan salah satu sektor inovasi yang mampu menyelamatkan Belanda dari banjir," klaim Willem-Alexander pada pidato kenegaraan pada 16 September 2014 silam. Inovasi Delta menjadikan Belanda sebagai pemimpin di bidang manajemen air. Boleh saya katakan, berkat inovasi Delta juga, Raja Belanda merupakan satu-satunya pemimpin dunia yang ahli dalam bidang manajemen air. Bukan hanya jaminan inovasi yang diberikan Willem-Alexander. Dia juga menjamin Program Delta akan memiliki anggaran yang cukup. "Delta akan membuat negara kita semakin aman dan memberikan sektor air Belanda semakin kuat," janjinya. Raja Willem-Alexander memang selalu menekankan pentingnya inovasi. Belanda memang identik dengan inovasi sejak dahulu kalu. Inovasi itulah yang menjadikan produktivitas orang Belanda lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan negara-negara Eropa lainnya. Menakjubkan! Bagaimana dengan Indonesia? Hanya jadi penonton atas kesuksesan Willem-Alexander memimpin inovasi Program Delta? Tidak. Pada September 2013, Jakarta telah menjadi sister city dari Kota Rotterdam yang ditandatangani oleh Walikota Rotterdam, Aboutaleb, dan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Ketika posisi gubernur dilanjutkan kepada kerjasama itu tetap dilanjutkan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Fokus kerjasama adalah mengintegrasikan pengelolaan air perkotaan, termasuk pengembangan kapasitas dan pertukaran pengetahuan. Referensi Teks: 1. http://www.hollandtrade.com/media/features/special-reports/investiture/?bstnum=5226 2. https://www.rabobank.com/en/about-rabobank/background-stories/food-agribusiness/royal-vision-on-innovative-future-of-farming.html 3. http://www.nesoindonesia.or.id/berita/2014/september/jakarta-dan-rotterdam-perkuat-hubungan-dalam-pengelolaan-air-perkotaan Referensi Foto: www.hollandtrade.com

Sunday, April 29, 2012

MARK RUTTE, Pemimpin Ber-“IPK” Cum Laude dari Belanda

Saya sangat terkejut ketika membaca berita di beberapa kantor berita asing yang menyatakan kalau Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengundurkan diri pada beberapa waktu lalu. Awalnya, saya tidak berpikir bahwa Rutte mengundurkan diri. Maklum, berita perpolitikan Belanda memang tidak menghangat saat ini, karena Eropa sedang berkonsentrasi ke Prancis yang sedang menggelar pemilu presiden. Kenapa Rutte mengundurkan diri? Ternyata dia mundur karena berseberangan pendapat dengan mitra koalisinya Partai Kebebasan yang dipimpin oleh Geert Wilders. Keduanya berpendapat mengenai pemangkasan anggaran negara. Aneh ya! Beda pendapat kok bisa mundur! Usut demi usut, ternyata pengunduran diri Rutte disetujui oleh Ratu Beatrix. Terus terang, apa yang dilakukan oleh Rutte itu sangatlah mengherankan. Kenapa? Sebagai orang Indonesia, setiap hari saya disuguhkan oleh pemberitaan politik Indonesia yang menjemukan di mana semua orang di kekuasaan justru ingin mempertahankan kekuasaan, tetapi kok Rutte justru ingin melepaskan jabatannya. Sebagai orang yang awam, keputusan yang diambil oleh Rutte memang benar, jika kebijakan pemangkasan anggaran tidak disepakati oleh mitra koalisinya, berarti pemerintahannya bubar. Tanpa ragu, saya menyimpulkan kalau Rutte merupakan pemimpin yang ber-“IPK” Cum Laude! “IPK” yang saya maksud bukanlah Indeks Prestasi Kumulatif seperti yang diributkan oleh mahasiswa. Yang saya maksud “IPK” adalah Indeks Prestasi Kreativitas! Sebagai pemimpin dengan “IPK” tinggi, Rutte layak diteladani oleh siapa saja yang ingin menjadi pemimpin sebuah bangsa. Menurut saya, sebaik-baiknya pemimpin adalah dia yang mampu menjadi inspirasi oleh generasi selanjutnya. Dan itu Rutte. Rutte ber-IPK tinggi karena dia merupakan pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan pribadi . Dia tidak ingin menempatkan negerinya terus terombang-ambing di tengah ketidakjelasan anggaran. Pemimpin yang kreatif adalah pemimpin yang berani menyatakan pendapatnya dan tidak tunduk pada hegemoni yang sedang berkuasa. Ketika Rutte bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Januari 2012 saat berkunjung ke Belanda, Rutte menyarankan agar Netanyahu menghentikan pembangunan pemukiman Israel di Tepi Barat. Saya sangat memuji keberanian sikap Rutte itu. Jarang sekali pemimpin Barat yang berani melawan “hegemoni” Israel di dunia. “IPK” cum laude layak dipegang oleh Rutte karena dia merupakan pemimpin yang berani mengatakan salah adalah salah dan benar adalah benar. Apa contoh? Sangat nyata contohnya, yakni ketika Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf atas pembantaian terhadap 430 pemuda dan anak laki-laki dalam Tragedi Rawa Gede pada 1947. Itu terjadi pada pemerintahan yang dipimpin Rutte. Saya pikir, Rutte merupakan salah satu orang yang menyetujui permintaan maaf itu setelah keputusan pengadilan di Den Haag yang menyebutkan bahwa Belanda bertanggungjawab atas tragedi itu.
Terakhir, pemimpin yang ber-IPK tinggi adalah pemimpin yang hidupnya sederhana. Saya sangat tersentuh ketika melihat foto yang dijepret fotografer kantor berita di mana Rutte mengendarai sepeda menuju kantor. Dalam beberapa situs internet yang saya baca, Rutte menyempatkan diri mengajar di salah kampus selama dua jam dalam satu pekan. Pria yang masih lajang itu juga tidak malu berlibur bersama ibunya. Kelak, ketika saya menjadi pemimpin, saya menjadikan Rutte sebagai salah inspirasi saya, pemimpin ber-IPK cum laude. //// keterangan foto foto atas diambil dari www.dutchnews.nl foto bawah diambil dari www.yclingevolution.blogspot.com

Tuesday, April 28, 2009

Studi ke Belanda, Melanjutkan Cita-Cita Munir

Tak terasa, dunia terus berputar dan waktu terus menggelinding. Kenangan terhadap almarhum Munir, tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus berjalan seiring dengan jarum jam. Tak terasa telah empat tahun sudah, Munir telah meninggalkan kita.

Hanya ingin sedikit menguak kenangan kita saja. Ketika itu Senin malam (6/9/2004), Munir terbang ke Negeri Kincir Angin untuk mengejar cita-cita kuliah di Belanda. Namun tiga jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, atau pada Selasa pagi (7/9/2004), Munir tak sadarkan diri.

Laporan media-media menunjukkan bahwa Munir meninggal diracun dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Sejauh ini, Suciwati, istri Munir, dan teman-teman kontras dan aktivias LSM lainnya terus berjuang untuk mengetahui siapa dalang pembunuhan pejuang HAM tersebut.

Sebenarnya, saya hanya mengetahui perjuangan Munir dari televisi dan koran. Saya juga kaget ketika Munir menjadi korban. Kadang, saya tak habis pikir ada pihak yang mengasosiasikan Munir dengan ancaman atau rencana pembunuhan. “Awas lho, entar di-munirkan,” demikian akrab di kalangan teman-teman NGO (Non Governmental Organization). Masya Allah...

Secara langsung, saya tidak pernah bertemu dengan Munir ketika masih hidup. Saya hanya pernah sekali bertemu dengan istri Munir, Suciwati di sebuah forum 100 hari peringatan kematian Munir di kampus Brawijaya tahun 2004. Ketika itu, saya masih kuliah.

Pada acara yang digelar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu, Suciwati menceritakan dengan detail kronologis kematian sang suami. Acara itu tak berlangung lama. Salah satu teman saya, Agustinus Mujiraharjo, sontak berdiri setelah acara itu selesai. Dia mengambil satu tangkai bunga mawar merah.

“Untuk apa gus?” tanyaku padanya. “Aku mau kasih bunga mawar merah ini pada Suciwati,” jawab Agustinus. Agustinus tanpa canggung pun menyerahkan bunga mawar itu pada istri Munir. Tanpa obrolan, Suciwati hanya tersenyum atas simpati. Sayangnya, ketika itu, saya hanya terdiam dan termangu melihat aksi Agustinus tersebut.

Perjuangan Munir

Dari beberapa koran dan buku yang pernah saya baca tentang Munir, dia merupakan tokoh yang cukup kontroversi. Pria keturunan Arab ini lahir di Malang, pada Rabu, 8 Desember 1965. Dia meraih gelar sarjana hukum di Universitas Brawijaya Malang pada 1989.

Pada 1989, Munir masuk ke LBH Malang sebagai sukarelawan, lalu memutuskan total sebagai orang LBH. Pada tahun 1995, Munir mendapat promosi menjabat sebagai Direktur LBH Semarang selama tiga bulan. Lalu ditarik ke YLBHI, Jakarta, merangkap sebagai Koordinator Kontras pada 1998.

Saat menjadi ketua Kontras, namanya paling diingat ketika membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Pak Harto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Aktivitas Munir yang sangat berani itu kemudian mengantarnya memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Yang mengharukan, Man of the Year 1998 versi majalah Ummat itu tidak tergoda untuk memiliki semua hadiah yang didapatkannya itu. Majalah Asiaweek pada Oktober 1999 menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru.

Cita-Cita Munir

Yang perlu dicatat, Munir tewas dalam pesawat yang akan mengantarkannya studi di Belanda. Munir berencana kuliah di Universitas Utrecht atas undangan lembaga dana Belanda ICCO. Jelas, sekali bahwa cita-cita Munir untuk kuliah di Belanda tidak tercapai. Memang takdir yang berkata lain ketika manusia hanya bisa merencanakan, tetapi Tuhan lah yang menentukan....

Walaupun nama Munir sebelum meninggal telah menginternasional, tetap saja semangatnya untuk terus belajar dan mengkaji ilmu tak pernah berhenti. Munir tidak pernah merasa puas untuk belajar dan terus belajar, tanpa mengenal usia. Munir paham bahwa dengan ilmu, manusia akan terasa kecil karena luasnya ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pulalah, kita bisa berbagi dengan orang lain.

Jelas sekali, kuliah hukum di Utrecht hanya satu dari banyak sekali cita-cita sang Almarhum. Tentunya, cita-cita Munir dalam kehidupannya, yang pernah saya tahu, adalah bermanfaat bagi orang lain. “Hidup kami bersama Munir sangat bahagia. Ukuran kami bukan materi, melainkan seberapa besar hidup ini berguna bagi orang lain,” kata Suciwati istri Alm Munir seperti dikutip dari Harian Suara Merdeka. Sungguh mulia cita-cita sang Munir.

Kenapa Munir bercita-cita kuliah di Belanda. Saya pribadi tak mengetahui itu. Browsing bersama prof google pun, saya tak menemukannya. Hanya saja, berdasarkan cerita teman-teman saya di NGO, Belanda dikenal sebagai gudang ilmu para aktivis Indonesia. Belanda dikenal menampung para aktivis yang sering menyuarakan suara hati masyarakat tanpa kenal lelah dan takut. Saya pikir, Munir memilih Belanda, disebabkan karena faktor tersebut.

Ditambah lagi, sistem pendidikan di Belanda sangat membuka kesempatan untuk mengembangkan pemikiran dan kreativitas dalam konteks ilmu pengetahuan. Sangat kontas dengan pendidikan di Indonesia yang lebih mengarah pada teacher mainstream. “Guru atau dosen adalah segalanya di depan kelas,” pendapatku. Para aktivis dan orang yang bergelut dengan dunia sosial sangat menolak ide seperti. Saya pikir termasuk Munir.

Dalam buku study in holland terbitan NESO, dijelaskan dengan gamblang. Mungkin ini adalah jawaban kenapa Munir memilih kuliah di Belanda. “Sistem pengajaran di Belanda

Menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan negara Belanda yang mampu memperkokoh akar masyarakat negara ini yang dikenal dengan keragaman dan masyarakat yang pluralistik. Ini juga merupakan landasan utama dari metode pengajaran yang diberlakukan di universitas Belanda. Gaya pengajaran yang demikian memberikan perhatian dan kebebasan bagi siswa untuk mengembangkan pendapat dana kreativtas dalam aplikasinya.”

Terus, kuliah di Belanda lebih mudah. Karena 1.391 program berbahasa inggris. Belanda merpakan negara non berbahasa inggris pertama yang menawarkan program studi berbahasa inggris. Lebih dari 1.391 program berbahasa inggris untuk berbagai bidang yang ditawarkan universitas Belanda. Jadi Belanda memang t o p....dalam hal pendidikan.

Apalagi, pendidikan tinggi Belanda telah diakui reputasinya di duia. Hal ini tercipta melalu sistem nasional dan jaminan mutu. The Times Higher Education Supplement menempatkan 11 universitas di Belanda sebagai bagian dari 200 universitas terpopuler di dunia. Belanda juga diakui dunia intrnasional sebagai pencetus sistem problem-based learning yang mengajarkan siswa untuk dapat menganalisis dan memecahkan masalah secara mandiri dengan menitikberatkan pada belajar mandiri dan disiplin.

Yang membedakan dengan Indonesia, Sistem pendidikan tinggi di belanda tersedia dua jenis pendidikan regular yang utama yaitu universitas riset dan university of applied sciences. Di Belanda ada 14 universitas riset, tiga diantaranya memiliki spesialisasi di bidang teknik. Pada prinsipnya, universitas tersebut melatih mahasiswa menjadi ilmuwan dan pakar di salah satu bidang, namun banyak program studi juga mengarah ke lingkungan profesional. Sedangkan university of applied sciences lebih berorientasi ke praktek, mahasiswa langsung diarahkan untuk meraih jenjang karir di bidangnya.

Sumber

Harian Suara Indonesia

Harian Suara Merdeka

Study in holland

Foto:

Daylife

Eurostep

nuffic

Thursday, April 23, 2009

Studi di Belanda, Antara Geert Wilders dan Nasi Goreng

Mendengar nama Belanda, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Pertama yang benci tetapi rindu, dan kedua adalah mereka yang rindu tetapi dengan tanda tanya. Bisa dimaklumi, kalau benci tapi rindu, kebencian atau kedengkian masyarakat Indonesia dengan negara bekas penjajah itu. Kedua, mereka yang menganggap sejarah adalah masalah lalu, tetapi Belanda selalu menyimpan tanda tanya.

Nah, tanda tanya itu semakin menjadi-jadi pada awal 2008. Tepatnya ketika fim “Fitna” yang dirilis pada 27 Maret 2008 lalu dan beredar luas di internet, terutama situs Youtube. Kebencian sebagian masyarakat Indonesia terhadap Belanda meluap karena pembuat film tersebut merupakan anggota parlemen Belanda, Geert Wilders.

Dendam masa lalu yang selama ini terpendam, meledak hanya karena sebuah film. Anehnya, pelampias dendam itu tidaklah tepat. Demonstrasi besar-besaran mengecam Wilders pun disangkut pautkan dengan Belanda. Bahkan, saya masih ketika salah satu organisasi Islam berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta dengan dengan melempari telur busuk. Lepas dari pro dan kontra film Fitna, saya tidak sepakat dengan demonstrasi yang terbilang anarkhis tersebut.

Bukannya kapok! Baru-baru ini, Geert Wilders pun berencana membuat sekuel film Fitna kembali. Seperti dilaporkan, harian terkemuka Inggris, Guardian, anggota parlemen yang dikenal sangat Islamfobia itu berencana membuat sekuel film Fitna yang berisi hujatan dan penistaan terhadap ajaran Islam.

Kabarnya, film baru itu bakal ditayangkan ke publik pada tahun depan. Parahnya lagi, Wilders mendapatkan bantuan dari sineas dari New York dan Hollywood untuk membuat film itu. “Kita harus menyerang lebih keras lagi, lebih ofensif,” tutur Wilders. Wah..wah... kalau film tersebut dirilis, di Indonesia bakal makin heboh menghujar Wilders yang diasosiasikan Belanda. Kita tunggu aja, tanggal mainnya....

Yang perlu diperhatikan sebenarnya, mengecam atau tidak suka dengan Wilders dan filmnya bukan dengan cara demonstrasi. Apalagi, kalau membakar bendera negara segala...wah parah kalau begitu. Walaupun saya tidak menyetujui apa yang dilakukan Wilders, saya tak perlu ikut demonstrasi. Padahal, ketika kuliah dulu, saya paling rajin ikut demonstrasi di kampus. Sering bentrok dengan polisi, keren bo. Sekarang, taubat lah...

Justru yang masih menjadi tanda tanya tentang Wilders adalah sosoknya. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Bukannya untuk melempar telur busuk atau tomat mentah ke mukanya. Tapi, saya ingin berdiskusi dengan Wilders tentang kenapa dia membuat film Fitna. Walaupun, media-media Belanda dan Eropa telah mengupasnya detail. Harapannya, saya ingin mendengarkan langsung dari mulutnya mengenai film itu.

Untuk bisa mewawancarai Wilders, wah...harus pergi ke Belanda dung... ya jelas lah! Masa pake tabungan sendiri, wah nggak cukup! Hutang ke bank, nggak kuat membayar kreditnya. Kalau minta uang ke orang tua, wah malu...apalagi, panen di kampung halaman gagal total karena dimakan tikus. Nah, karena itu lah saya mengikuti lomba kompetiblog, siapa kira rejeki berpihak padaku, amien....

Jika saya berhasil mewawancarai Wilders, pertanyaan pertama saya adalah why are you hate Islam? Setelah itu, saya justru akan menguasai pembicaraan. Saya ingin menjelaskan tentang Islam yang ada di Indonesia atau saya kenal dengan nama Islam Nusantara itu berbeda dengan Islam di negara lain. Saya ingin mengatakan pada Wilders, Islam di Indonesia sangat menghargai perbedaan. “Why you can do like Indonesian?,” pertanyaan pungkasnya.

Wilders memang masih menjadi fenomena. Dengan mencuatnya kasus Wilders, tidak akan berdampak dengan minta orang Indonesia belajar ke Belanda. Saya pikir, dengan adanya kasus Wilders akan semakin banyak orang yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai Belanda. Kenapa? Belanda merupakan salah satu tangga untuk meraih masa depan yang lebih baik, dan itu telah menjadi pandangan bagi para pemburu beasiswa.

Berangkat kembali dari kasus Wilders yang juga mendapatkan kecaman dari dalam negerinya sendiri. Ini merupakan sebuah keunikan dan keberagaman. Yah, masyarakat Belanda, saya kira, sama seperti masyarakat Indonesia. Yaitu, multikultur.

Dalam buku ‘tinggal dan studi 2009/2010’ yang saya peroleh gratis dari NESO, menuliskan bahwa ‘sejak beberapa dasawarsa yang lalu sejarah negara ini menyebabkan banyak warga dari negara lain yang hidup di Belanda.’ Hanya saja, bedanya multikultur di Belanda lebih mengarah pada bangsa, sedangkan di Indonesia lebih mengarah pada suku.

“Beragamnya budaya menyebabkan Belanda menjadi negara pertemuan ilmu pengetahuan, ide-ide dan budaya dari seluruh dunia,” demikian ditulis dalam buku panduan study in holland.

, kenapa di Indonesia juga kaya akan budaya, tetapi kok tidak menjadi pusat ilmu pengetahuan. Nah, untuk bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat budaya, alangkah baiknya jika belajar dari Belanda. Saya yakin, dalam beberapa dekade kedepan, Indonesia bakal bersaing dengan Belanda. Apalagi, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tingal memoles sumber daya manusianya saja.

Hal yang lain yang menjadikan Belanda menarik, selain karena faktor Wilders, adalah faktor kepribadian warganya. Ketika saya bekerja menjadi pemandu wisatawan di Bali, saya memiliki tamu wisatawan asal Belanda. Mereka sangat enak diajak komunikasi. Sedikit tegas, tetapi tidak mudah tersinggung seperti orang Jerman. Walaupun baru pertama kali kenal, mereka langsung cair dan bisa menjadi teman yang asyik. Dalam hatiku, mungkin mereka berpikir kasihan pada orang Indonesia yang pernah dijajah kakek buyut mereka.

Hal yang masih berkaitan dengan Wilders, walaupun dia sempat membuat kekacauan di Belanda. Tetapi, Belanda tidak kacau. Ini merupakan bukti bahwa Belanda merupakan negara yang aman. Beberapa teman saya yang pernah kuliah di Belanda bilang, Belanda merupakan negara yang paling aman. Jarang sekali terjadi tindak kekerasan dan kriminal di jalanan. Wah makin yakin belajar di Belanda dung....

Belanda sangat berbeda dengan AS. Padahal, minat mahasiswa Indonesia belajar di Negeri Paman Sam lebih tinggi dibandingkan minat ke Negeri Kincir Angin. Mulai dari aksi penembakan yang sering diberitakan di televisi dan koran berulang kali terjadi AS. Bahkan, Pemerintah China pada Maret 2008 lalu pernah menuduh AS tidak mampu menangani kemiskinan, dan memerangi kejahatan.

Laporan Xinhua menyebutkan, sebanyak 25 juta penduduk AS diatas usia 12 tahun ke atas terlibat kejahatan pada 2006. Kejahatan rata-rata per 24,6 orang menjadi korban kejahatan di Amerika per 1.000 orang. Sedangkan sebanyak 159,5 dari 1.000 juga menjadi korban pencurian dan perampokan. Setiap 22,2 detik selalu terjadi satu tindak kejahatan. Setiap 30,9 menit di Amerika dilaporkan terdapat satu orang tewas di bunuh.

Pemerkosaan di AS terjadi setiap 5,7 menit. Parahnya lagi sekitar 30.000 orang tewas karena senjata api di Negeri Paman Sam itu setiap tahun. Wah kok serem sekali, lebih baik kuliah di Belanda saja....aman coy...(kata Budi Anduk, Tawa Sutra).

Tema kali ini lepas dari kaitannya dengan Wilders. Saya akan membahas tentang makanan khas Belanda! Kuliner, mak nyus....seperti kata Bondan Winarno. Tapi, sepengetahuan saya kuliner Belanda tidak terlalu mendunia. Berbeda dengan Prancis. Jangan-jangan, orang Belanda tidak suka memasak, seperti orang Indonesia atau bangsa lainnya. Yah...berarti kalau ke Belanda, makannya Cuma kentang, sup, dan salad. Membosankan dung.... masa ke Belanda hanya untuk makan nasi goreng...hahahaha.

Meningat saya adalah orang desa yang merantau ke kota. Saya pingin sekali mengetahui sistem pertanian di Belanda. Dari buku panduan study in holland menyebutkan, Belanda mengekspor produk-produk pertanian ke seluruh dunia. Wah keren dung.... apalagi, seperlima ekspor belada adalah produk makanan dan bunga. Padahal, Indonesia mengekspor beras saja baru kemarin sore. Kita, sebagai bangsa Indonesia harus malu. Dengan negara yang luas, tetapi pertaniannya justru memble.

Saya ingin mengetahui lebih dekat bagaimana mekanisasi pertanian di Belanda. Dukungan dari para peneliti dan ilmuwan dalam hal pertanian sehingga kualitas dan kuantitas produk lebih terjaga. Walaupun, ilmu-ilmu cukup sulit diterapkan di kampung halaman saya nantinya. Maklum, sistem pertanian di kampung halaman saya masih tradisonal. Unsur mekanisasinya belum sepenuhnya dijalankan.

Yah...kepanjangan ya tulisan ini...tak apa lah yang penting memberikan manfaat. Yang penting, bagi Anda yang ingin studi ke Belanda, tetap semangat! Sampai ketemu di Belanda ya...amien...

Kredit foto:

guardian.jpg

hickerphoto.jpg

bbc

Referensi:

Guardian

Xinhua

Seputar-Indonesia

Tinggal dan studi 2009/2010 study in holland

Wednesday, April 22, 2009

Mimpi Sang Nenek yang Terpatri di Hati

Malam itu, saya bermimpi. Mimpi yang sungguh aneh! Dalam mimpi itu, saya dikejar-kejar pasukan kompeni yang membawa bedil laras panjang sambil berteriak dengan bahasa Belanda. Tak ketinggalan, mereka juga membentak-bentak dengan bahasa yang saya sendiri tak paham.

Ketika itu, saya hanya berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya, salah satu kompeni itu meletuskan timah panas dan mengenai pundakku. Darah mengucur deras dan saya hanya bisa memekik kesakitan. Eh, beberapa detik kemudian, saya terbangun dari mimpi. “Wuih, ternyata mimpi....!” (mimpi basah, lagi, hehehe. Mandi besar deh...).

Tumben banget, saya bisa bermimpi. Berlatar belakang cerita kolonial lagi. Kok asyik ya...! Jadi ketagihan! Tapi mimpi dikejar-kejar kompeni itu, sayangnya tak terulang. Tak masalah, yang penting pernah, mimpi basah lagi...

Melihat mimpi itu pun saya kembali teringat cerita dari nenek, yang usianya mungkin sudah lebih dari 100 tahun. Namanya Tarwiyah. Beliau pernah bercerita tentang kondisinya saat terjadi penjajahan. Bagaimana, nenak dan almarhum kakek harus mengungsi ke hutan setiap desingan peluru dan ledakan meriam bertubi-tubi menghantam Desa Penggarit.

Nenek juga kerap bercerita tentang salah satu anggota kompeni orang Belanda yang memaksa anak-anak desa untuk sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Bagi mereka yang tak mau bersekolah, para kompeni mengancam akan menembaknya. Namun, nenek dan kakek saya selalu menghindar ketika anggota Kompeni itu berpatroli. “Nyong emoh sekolah, gurune galak-galak (Saya tidak mau sekolah, gurunya sering marah-marah),” kata nenek ketika bercerita.

Akhirnya, nenek saya pun menyesal. Teman-teman yang mau bersekolah bisa menjadi carik (sekertaris desa), karyawan pabrik gula, dan lain sebagainya. Karena tak berbekal pendidikan, nenek dan kakek pun hanya menjadi petani di kampung. “Sinauo sing kiyeng, angger perlu karo wong Londo. (Belajarlah yang giat. Kalau perlu belajar dengan Orang Belanda),” dawuhnya.

Kembali ke masa kini, saya hanya bisa merenungi kembali petuah-petuah dari nenek saya yang telah berpikir ke depan bagi cucunya. Kini, nenek saya itu hanya bisa tidur-tiduran di ranjangnya karena penyakit usia yang makin menua. Ketika saya pulang kampung, saya selalu menjenguk nenek di rumahnya. Saya pun terus teringat, akan pesannya untuk terus belajar walaupun sama dengan Orang Belanda.

Peninggalan Belanda di Kampung Halaman

Saya sangat mengagumi karya-karya penjajah Belanda yang tertinggal di kampung halaman saya. Walaupun tidak monumental atau terkenal ke seluruh Nusantara, tetap saja itu menjadi inspirasi saya untuk bisa belajar ke Belanda.

Beberapa peninggalan Belanda itu antara lain leis, brug abang, dan sungai irigasi. Nenek saya selalu bercerita tentang ketiga peninggalan Belanda itu padaku. “Londo iku kuat. Leis, brug, lan kali sier iku lho contone. (Belanda itu kuat. Lesi, brug dan sungai irigasi itu contohnya),” petuah nenekku.

Leis. Saya tak paham asal muasal kenapa diberi nama Leis. Yang jelas, leis merupakan jembatan yang menghubungkan antara desa saya, Penggarit dengan Sungapan, tetangga desa. Maklum, kedua desa itu dipisahkan oleh sebuah sungai yang cukup lebar kurang lebih 60 meter (maaf kalau kurang tepat, saya belum pernah mengukurnya). Jembatan itu lebarnya hanya dua meter atau hanya cukup untuk satu mobil yang bisa melewati jembatan. Kalau truk dan bus besar tak boleh melewati jembatan karena merusak saja.

Leis didirikan Belanda sekitar tahun 1900an. Saya tak tahu persis kapan jembatan itu dibuat. Seingat saya, Leis hanya pernah ambruk ketika ada banjir besar yang terjadi pada 1990. Itu pun karena terhantam oleh kayu besar yang terhanyut bersama derasnya air sungai. Leis memang kuat dan tangguh. “Orang Belanda kalau membuat jembatan terkenal awet ratusan tahun,” demikian kata orang-orang tua di desa saya.

Leis pun dijadikan tempat pacaran bagi anak-anak di desa Penggarit. Bahkan, pasangan kekasih dari luar desa pun sering datang ke jembatan romantis itu di kala sore menjelang petang. Leis yang juga memiliki diitari bendungan juga sering jadi ajang pemancingan.

Brug Abang. Apa itu brug? Brug artinya jembatan. Sebenarnya diambil kata dari bridge yang jembatan dalam bahasa Inggris. Namanya orang desa, nyebutnya dianggap gampang ae...brug. Brug abang atau jembatan merah bukan menjadi media penghubung yang dimanfaatkan sebagian besar warga. Karena, brug abang itu sebenarnya digunakan sebagai jembatan untuk perlintasan kereta api tebu.

Dulu pas jaman Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) berkuasa, setiap tahun sebagian di desa saya pasti di-tebu. Kereta tebu yang terdiri dari satu lokomotif dan gerbong-gerbong telanjang yang membawa tebu selalu hilir mudik mengangkut bahan utama gula itu.

Jika warga yang ingin melalui brug abang itu, harus ekstra hati-hati. Kenapa? Pasalnya brug abang dikenal sebagai jembatan telanjang karena tidak ada pengaman sama sekali. Gampangnya, alas jembatan hanya terdiri kayu yang dipasang seenaknya tanpa dipaku. Biasanya, orang yang mengendarai sepeda motor pun tak berani melewatinya. Paling, mereka yang mengendari sepeda, itu pun harus dituntun. Semuanya pun maklum, brug abang dibangun sebenarnya untuk kereta tebu.

Seiring dengan jaman reformasi dan kebebasan yang kadang keblabasan. Sawah di desa saya semakin jarang ditebu. Akibatnya, kereta tebu pun makin jarang merambah desa saya dan brug abang. Petani di desa lebih suka sawahnya ditanami padi. Kalau ditebu, waktunya terlalu lama dan untungnya sedikit. Yah...makin jarang lihat kereta tebu melewati brug abang dengan asap hitam yang membumbung ke angkasa.

Sungai Irigasi. Sungai bukan tercipta karena aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sungai juga bukan alamiah semata, tetapi juga bisa dibuat. Kok bisa? Buktinya, di desaku Penggarit, sungai yang alami justru dimati hingga disebut kali mati (sungai mati). Kebetulan, kali mati itu letaknya di depan rumahku. Sungai itu sengaja dimatikan oleh Belanda. Hebatkan Belanda, sungai aja bisa dimatikan!

Sebagai gantinya, dibuatlah sungai baru. Kata nenekku, ratusan warga desa di paksa membuat sungai itu. Sayang, aku lupa kapan sungai baru itu dibuat. Sungai itu dibuat sepanjang beberapa kilometer hingga ke beberapa desa tetangga. Ada cerita unik, ketika sungai tersebut dialiri air dari bendungan leis, ternyata airnya tidak mau mengalir. Kok aneh!

Boleh percaya atau tidak, ternyata kompeni juga percaya takhayul. Ketika itu, ada salah satu warga di desaku yang bermimpin kalau air di sungai baru itu bisa mengalir, maka perlu dirayakan dengan hiburan tradisional yaitu tarian-tarian. Setelah digelar acara itu, besok paginya, air pun mengalir deras membajiri sungai baru itu. Sungai itu dikenal di desaku dengan kali sier, sebagian lainnya menyebutnya dengan kali kidul (sungai selatan).

Jika teman-teman ingin membuktikan, boleh kok main ke kampung halaman saya. Murah kok transportasinya. Naik kereta ekonomi Kertajaya (Ps Senen turun di stasiun Pemalang : 27ribu jam 16.15 sore) atau Tawang Jaya (Ps Senen turun di stasiun Pemalang: 27ribu jam 21.30 malam). Atau pakai bus Sinar Jaya, Dewi Sri, Dedy Jaya (ekonomi 40ribu, bisnis 45, eksekutif 50, berangkat pagi dan sore dari Jakarta turun di terminal Pemalang). Murah kan...

Entar, dari stasiun atau terminal pemalang bisa naik angkot berkode F (Pemalang-Penggarit). Turunnya di perbatasan desa Penggarit, kalau mau jalan kaki ya boleh, sekitar 15 menit. Kalau naik becak, bilang saja, temannya Andi. Semua tukang becak kenal sama saya, hehehe. Mantan preman kampung, hahaha. Kalau pas bapak saya lagi santai, bisa telpon aja, entar dijemput pakai mobil.... Udah banyak teman-teman yang membuktikan kok....

Hanya sekedar bermimpi

Akankah mimpi itu menjadi sebuah kenyataan? Sebagia manusia, kita hanya bisa berdoa dan berusaha untuk menggapai mewujudkan mimpi dan cita-cita sang nenek...

Studi di Belanda Bukan Hal Mustahil

Saya semakin terngiang akan pesan nenek setelah menghadiri pameran pendidikan Eropa beberapa bulan lalu. Ketika itu, saya mengunjungi stand NESO. Salah satu staf NESO mengatakan, Belanda merupakan pintu gerbang ilmu pengetahuan di Eropa. Dia melanjutkan, Belanda membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemuda Indonesia untuk menuntut pendidikan di sana.

Pandangan dan pemikiran saya pun terbuka. Ternyata, belajar di Belanda bukan hanya melulu tentang hukum. Maklum, Belanda banyak melahirkan tokoh-tokoh hukum Indonesia. Belanda juga menjadi sumber inspirasi bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Apalagi, dengan dukungan pemerintah Belanda dan kalangan swasta yang sangat antusias mendukung pendidikan yang menciptakan kualitas SDM yang mumpuni. Saya pun semakin yakin, Belanda memang pintu gerbang ilmu pengetahuan di Benua Eropa.

Kredit foto:

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13252&Itemid=34

http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=13500&Itemid=59