Saturday, July 25, 2009

Anak Wajib Berbuat Baik pada Orang Tua Meski Telah Lansia

Berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya wajib, baik waktu kita masih kecil, remaja atau sudah menikah dan sudah mempunyai anak bahkan saat kita sudah mempunyai cucu. Ketika kedua orang tua kita masih muda atau sudah lanjut usianya bahkan pikun kita tetap wajib berbakti kepada keduanya. Bahkan lebih ditekankan lagi apabila kedua orang tua sudah tua dan lemah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al-Isra' ayat 23 dan 24 dalam pembahasan sebelumnya.


Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman bahwa Rabb (Allah) telah memerintahkan kepada manusia agar tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah saja. Kemudian hendaklah manusia berbuat sebaik-baiknya kepada kedua orang tuanya. Jika salah seorang atau kedua-duanya ada di sisinya dalam usia lanjut maka jangan katakan kepada keduanya perkataan 'uh' serta tidak boleh membentak keduanya, memukulkan tangan, menghentakkan kaki karena hal itu termasuk durhaka kepada kedua orang tua. Dan katakanlah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia.

Pada ayat ini Allah mengatakan 'kibara', kibar atau kibarussin artinya berusia lanjut, sedangkan 'indaka' berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan tentang lebih ditekankannya berbuat baik pada kedua orang tua pada usia lanjut karena :

Pertama

Keadaaan usia lanjut adalah keadaan dimana keduanya membutuhkan perlakuan yang lebih baik karena keadaannya pada saat itu sangat lemah.

Kedua

Semakin tua usia orang tua berarti semakin lama orang tua bersama anak. Hal ini dapat menyebabkan 'Si Anak' merasa berat sehingga dikhawatirkan akan berkurang berbuat baiknya, karena segala sesuatunya diurusi oleh anak dan keluarlah perkataan 'ah' atau membentak atau dengan ucapan, "Orang tua ini menyusahkan", atau yang lain. Apalagi apabila orang tuanya sudah pikun, akan membuat anak mudah marah atau benci kepadanya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berwasiat agar manusia selalu ingat untuk berbakti kepada kedua orang tua.

Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang ruginya seseorang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua pada waktu orang tua masih berada di sisi kita. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat yaitu :

"Artinya : Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga" [Hadits Riwayat Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346]

Kemudian hadits berikut ini :

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau berkata 'Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata : 'Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin', kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!', maka aku berkata : 'Amin'. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi. 'Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin". [Hadits Riwayat Bazzar dalama Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 [Shahih Al-Adabul Mufrad No. 500 dari Jabir bin Abdillah]

Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang masih berusia lanjut. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa keberadaan kedua orang tua yang berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan pahala dari Allah, dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga. Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabaikan hak-hak orang tuanya dan dengan sebab itu dia tidak masuk surga.

Jika kita mencoba membandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jalan mengurusi kedua orang tua yang sudah lanjut usia atau bahkan sudah pikun yang berada di sisi kita dengan ketika kedua orang tua kita mengurusi dan mebesarkan serta mendidik kita sewaktu masih kecil, maka berbakti kepada keduanya masih terbilang labih ringan. Mungkin kita mengurusnya hanya beberapa tahun saja. Sedangkan mereka mengurus kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Dari mulai hamil, hingga dilahirkan kemudian disekolahkan. Kedua orang tua kita memberikan segala yang kita minta mungkin lebih dari 10 tahun bahkan sampai 25 tahun.

Ketika orang tua mengurusi kita, dia mendo'akan agar si anak hidup dengan baik dan menjadi anak yang shalih, tetapi ketika orang tua ada di sisi kita, di do'akan supaya cepat meninggal. Bahkan ada di antara mereka yang menyerahkan keduanya ke panti jompo. Ini adalah perbuatan dari anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Bagaimanapun keadaannya, kedudukan mereka tetaplah sebagai orang tua kita, walaupun mereka bodoh, kasar atau bahkan jahat kepada kita. Dialah yang melahirkan dan mengurusi kita, bukan orang lain. Maka kita wajib berbakti kepada keduanya bagaimanapun keadaannya. Seandainya dia berbuat syirik atau bid'ah, kita wajib mendakwahkan kepadanya dengan baik supaya dia kembali, kita do'akan supaya mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan diperlakukan dengan tidak baik, berbuat kasar atau pun yang lainnya.

SILATURRAHIM YANG PALING UTAMA

Bersilaturrahim dan berbuat baik kepada orang tua merupakan ajaran yang menjadi ketetapan Kitabullah Al-Qur'an dan Al-Hadits. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (Al-Isra': 23)

Wa Qadha Rabbuka berarti suatu perintah yang lazim tidak bisa ditawar-tawar lagi dan Alla Ta'budu Illa Iyahu berarti perintah ibadah yang bersifat individu.

Allah menghubungkan beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dan birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua) di sisi Allah.

Secara naluri orang tua dengan suka rela mau mengorbankan segala sesuatu untuk memelihara dan membesarkan anak-anaknya dan anak mendapatkan kenikmatan serta perlindungan sempurna dari kedua orang tuanya.

Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian orang tuanya dan tatkala menginjak masa tua mereka pun tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya, akan tetapi betapa cepat seorang anak melalai-kan semua jasa-jasa orang tuanya, hanya disibukkan dengan isteri dan anak sehingga para bapak tidak perlu lagi menasihati anak-anaknya hanya saja seorang anak harus diingatkan dan digugah perasaannya atas kewajib-an mereka terhadap orang tuanya yang sepanjang umurnya dengan berbagai kesulitan dihabiskan untuk mereka serta mengorbankan segala yang ada demi kesenangan dan kebahagiaan mereka hingga datang masa lelah dan letih.

Maka berbuat baik kepada kedua orang tua menjadi keputusan mutlak dari Allah dan ibadah yang menempati urutan kedua setelah beribadah kepada Allah.

"Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliha-raanmu". (Al-Isra': 23)

Kibar atau kibarul sin artinya berusia lanjut, umur sudah mulai menua, punggung sudah mulai membung-kuk dan kulit sudah mulai keriput. 'Indaka yang berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya.

Allah Ta'ala berfirman:

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka". (Al-Isra': 23)

Seakan-akan Allah berfirman; Bersopan santunlah kamu kepada orang tua! Dengan demikian ayat tersebut mengajarkan sikap sopan agar seorang anak tidak menunjukkan sikap kasar serta menyakitkan hati atau merendahkan kedua orang tua.

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".

Ini tingkatan yang lebih tinggi lagi yaitu keharusan bagi anak untuk selalu mengucapkan perkataan yang baik kepada kedua orang tua dan memperlihatkan sikap hormat serta menghargai.

Allah Ta'ala juga berfirman:

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang".

Seolah-olah sikap rendah diri memiliki sayap dan sayap tersebut direndahkan sebagai tanda penghormatan dan penyerahan diri dalam arti sikap rendah diri yang selayaknya diperintahkan kepada kedua orang tua, seba-gai pengakuan tulus atas kebaikan dan jasa-jasanya.

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku kasihilah me-reka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Isra': 24)

Penyebutan kondisi masa kecil yang lemah yang membutuhkan perawatan dari kedua orang tua meng-ingatkan kepada kondisi yang sama yang sedang dialami orang tua tatkala menginjak lanjut usia yang selalu membutuhkan kasih sayang dan perawatan semisal. Lalu memohon kepada Allah agar bisa memberi belas-kasih kepada mereka berdua sebagai pengakuan atas kekurangan dalam memberi kasihsayang secara sem-purna dan hanya Allahlah yang bisa memberi kasih-sayang atau perawatan yang sangat sempurna serta hanya Dialah yang mampu membalas semua kebaikan dengan sempurna yang tidak mungkin bagi anak untuk melakukannya.

Bukti kasihsayang Allah banyak sekali yang tampak pada makhluk lain. Suatu contoh cahaya mata-hari yang menyinari alam semesta, udara yang dihirup manusia melalui proses paru-paru, air berfungsi untuk minum, masak dan menyiram tanaman dan kasih sayang ibu terhadap anaknya yang muncul secara fitrah sebagai bukti nyata kasih sayang Allah Rabb semesta alam.

Orang mulia dan baik kepada kedua orang tua akan selalu tahu kedudukan serta kemuliaan orang tua, dia merasakan tatkala mencium tangan ibu atau bapak-nya seolah-olah dia bersujud dengan ruh dan perasaan-nya laksana bersujud kepada Allah, dia mendapatkan jati diri yang sebenarnya sebagai suatu rahasia dalam kehidupan. Semua itu menjadi bukti penghargaan dan penghormatan kepada kedua orang tua.

Allah Ta'la berfirman:

"Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya . Dan jika kedua-nya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti ke-duanya". (Al-Ankabut: 8).

Orang tua adalah kerabat terdekat yang mempu-nyai jasa yang tidak terhingga dan kasih sayang yang besar sepanjang masa sehingga tidak aneh bila hak-haknya juga besar.

Seorang anak wajib mencintai, menghormati dan memelihara orang tua walaupun keduanya musyrik atau berlainan agama, keduanya berhak untuk diberi kebaik-an dan pemeliharaan bukan mentaati dan mengikuti kesyrikan atau agamanya.

Allah Ta'ala berfirman:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang ber-tambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun." (Luqman : 14)

Disebutkan berulang-ulang serta banyak sekali wasiat untuk seorang anak agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya di dalam Al-Qur'an dan wasiat Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak disebutkan wasiat orang tua untuk berbuat baik terhadap anaknya kecuali sedikit.

Karena kebaikan dan pengorbanan orang tua beru-pa jiwa, raga dan kekuatan yang tak terhitung tanpa berkeluh kesah dan meminta balasan dari anaknya, secara fitrah(naluri) sudah cukup sebagai pendorong kedua orang tua untuk bersikap demikian tanpa ditekan dengan wasiat. Adapun anak harus selalu diberi wasiat dan diingatkan agar senantiasa ingat akan jasa-jasa orang yang selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya dalam membesarkan dan mendidiknya. Apalagi seorang ibu selama mengandung mengalami banyak beban berat sebagaimana firman Allah Ta'ala (ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah), ibu lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya, dan penderitaan di saat hamil tidak ada yang bisa merasakan payahnya kecuali kaum ibu juga.

Al-Bazzar meriwayatkan hadits dari Buraidah dari bapaknya bahwa ada seorang lelaki yang sedang thawaf sambil menggendong ibunya, lalu dia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: " Apakah dengan ini saya sudah menunaikan haknya?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Belum! Walaupun se-cuil".

Dari Al-Miqdam bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu, sesungguhnya Allah berwa-siat agar berbuat baik kepada bapak-bapakmu dan sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu". (Dishahih-kan oleh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah)

Anak adalah bagian hidup dan belahan hati orang tua, kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya.

Dari 'Aqra' bin Habis sesungguhnya dia melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencium Hasan, lalu dia berkata: "Sesung-guhnya saya mempunyai sepuluh orang anak dan saya tidak pernah mencium seorangpun di antara mereka. Beliau bersabda:

"Sesungguhnya barangsiapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang". (Muttafaq 'alaih)

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah ditanya tentang masalah sikapnya terhadap anak, maka beliau menjawab: Anak adalah buah hati, belahan jiwa dan tulang punggung, kita rela terhina bagaikan bumi rela diinjak demi mereka dan bagaikan langit yang siap menaungi hidup mereka dan kita siap menjadi senjata pelindung bagi mereka dalam menghadapi marabahaya. Jika mereka minta sesuatu kabulkanlah dan bila marah cari sesuatu yang menye-nangkan hatinya, maka mereka akan membalas kasih sayangmu dan berterimakasih atas setiap pemberian-mu. Janganlah kalian merasa berat dan terbebani oleh anakmu, sebab mereka akan mengacuhkan hidupmu dan menghendaki kematianmu serta segan mendekati-mu.

Apabila seorang anak di mata orang tua keduduk-annya seperti itu, seharusnya anak menempatkan posisi orang tua tidak kurang dari itu dalam menghormati dan memuliakan orang tua mereka sebagai bukti balas budi dan pengakuan terhadap kebaikan yang telah didapat dari orang tua. Di samping tetap melestarikan kewajiban silaturrahim kepada mereka berdua sesuai ketentuan Kitabullah.

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Tiga macam doa yang pasti terkabulkan; doa orang tua untuk anaknya, doa orang musafir dan doa orang yang teraniaya". (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Al-Albani).

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta izin untuk ikut serta berjihad, maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Dia berkata: "Ya, masih hidup". Beliau bersabda: "Maka berjihadlah dalam (menjaga) keduanya".

Dari Abu Bakrah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang dosa yang paling besar?" Kami menjawab: "Ya wahai Rasu-lullah".

Beliau bersabda:

"Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." Beliau waktu itu bersandar, maka terus duduk dan bersabda: "Ketahuilah, dan perkataan dusta". (Shahihul Jami')

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Apakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya." Saya bertanya: "Lalu apalagi?" Beliau bersabda: "Berbuat baik kepada orang tua". Saya bertanya: "Kemudian apalagi?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersab-da: "Jihad di jalan Allah". (Muttafaq 'alaih)

Dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai harta dan anak, dan bapak saya meng-inginkan hartaku. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu". (Muttafaq 'alaih).

Dan petunjuk birrul walidain yang terbaik adalah sikap yang telah ditunjukkan oleh para nabi 'alaihimus shalatu wa salam sebagai simbol anutan dan petunjuk bagi setiap manusia.

Nabi Ismail 'alaihi salam berkata dan ucapannya diabadi-kan dalam firman Allah Ta'ala:

"Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar". (Ash-Shafaat: 102).

Nabi Nuh 'alaihi salam berkata juga dan ucapannya dise-butkan dalam firman Allah Ta'ala:

"Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman". (Nuh: 28)

Nabi Isa 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:

"Dan berbakti kepada ibuku". (Maryam: 32)

Nabi Yahya 'alaihi salam juga disifati oleh Allah Ta'ala demikian yang disebutkan dalam firman Allah:

"Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka". (Maryam: 14) Betapa indahnya bila seorang muslim bisa mencontoh dan mengikuti jejak para nabi

Mendampingi Para Lanjut Usia

Pada saat ini harapan hidup tertinggi ada pada orang Jepang. Kalau mau hidup panjang, pelajarilah pola perilaku, terutama pola makan dan pola hidup orang Jepang yang bisa mencapai rata-rata 76 tahun untuk laki-laki dan untuk perempuan lebih tua lagi yaitu 82 tahun. Jadi lansia bukan berarti berpenyakit. Karena itu masa lansia perlu dipersiapkan mulai lahir bahkan sejak dalam kandungan, terutama menyangkut pola makan, kebiasaan olahraga, dan makanan yang baik.

Pepatah mengatakan: Sebelum ajal, berpantang mati. Ini mengingatkan kita bahwa lanjut usia tidak perlu dijalani dengan sikap seolah-olah semua sudah berakhir. Masa lanjut usia memang ada keterbatasannya. Misalnya di peng-lihatan, pendengaran, kemampuan lari atau jalan. Tapi toh ada sisi positifnya juga. Tidak perlu berjuang cari penghasilan untuk menghidupi anak-anaknya. Kalau pasangan masih lengkap, maka lansia masih bisa menikmati hidup dengan cara yang lebih santai. Pada usia lanjut, kesempatan untuk aktualisasi diri masih terbuka lebar yaitu untuk menyalurkan bakat dan ide serta mengamalkan pengalamannya kepada orang lain.

Perkembangan kejiwaan dan sosial (psikososial) lansia seharusnya sudah terbentuk. Integritas dirinya sudah mantap dan stabil sehingga dia dapat menjalani masa lansia itu dengan sukacita. Bila seseorang bisa menerima diri apa adanya, tahu posisinya di masyarakat dan keluarga, serta mampu berkomunikasi dengan lingkungan, terutama dengan generasi yang lebih muda, maka dia akan dapat menjalani usia senja dengan baik.

MEMANDANG LANSIA

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, lansia adalah tenaga handal dan berpengalaman, lebih dapat dipercaya, lebih teliti, jarang mangkir kerja, gudang pengalaman dan contoh dalam etika. Dalam pemikiran bangsa Tionghoa tradisional katanya, hanya orang berumur 60 tahun atau lebih, yang berhak merayakan ulang tahunnya.

Dalam budaya Jawa, peran lansia dinyatakan dalam tiga ur yaitu tutur (memberi tutur mengenai pengetahuan), memberi wuwur (harta), dan sembur (dalam hal moral). Orang lansia tidak hanya menjadi teladan dalam peng-etahuan, tapi juga sikap, keterampilan/skill, dan harta.

Marcus Tullius Cicero (106–43 SM) mengatakan lansia tidak disambut sama baik pada berbagai ras. Ada ras tertentu yang tidak menyambut lansia dengan sama baik (mungkin semua baik, tetapi tidak sama). Orang Sparta mengagungkan para lansia. Dewan kota terdiri dari 28 orang berusia 60 tahun atau lebih.

Cicero menepis pandangan negatif tentang usia lanjut. Katanya:

1. Pandangan Umum: Masyarakat menyingkirkan lansia dari tugas dan jabatan penting.

Cicero: Padahal lansia dapat menjadi penasehat ahli atau tugas administratif. Dengan adanya program Masa Persiapan Pensiun (MPP) tidak berarti bahwa lansia disingkirkan.

2. Pandangan Umum: Usia lanjut menggerogoti kekuatan fisik dan mengurangi nilai seseorang.

Cicero: Surutnya kekuatan fisik tidak besar artinya dibandingkan dengan keedewasaan berpikir dan karakternya.

3. Pandangan Umum: usia lanjut mengurangi kemampuan menikmati sensual, terutama kenikmatan seksual.

Cicero: Kehilangan tersebut memberi beberapa ke-untungan sebab memungkinkan lansia berkonsentrasi pada masalah kebajikan dan peningkatan diri. Lansia punya waktu memperhatikan mengenai kerohanian dan spiritualitas.

4. Pandangan Umum: Lansia mengalami kecemasan akan kematian.

Cicero: Sependapat dengan Plato bahwa kematian adalah suatu berkah yaitu membebaskan jiwa yang abadi dari kungkungan badan pada dunia yang serba tak sempurna itu. Kalau kita orang Kristen percaya akan kehidupan kekal, tentu kematian bukan akhir dari segala-galanya akan tetapi pindah kepada kehidupan yang lebih baik.

Pandangan masyarakat barat terhadap lansia dapat dilihat dari beberapa ungkapan berikut ini:

1. Age appears to be best in four things – old wood best to burn, old wine to drink. Old friends to trust, and old authors to read (Francis Bacon).

2. A Birthday Toast (Anonymous)

“Like rare French Brandy

Like Georgean house

Like first edition

Like a Chippendale chair

Like Bach motet

The older you grow, The dearer you get”

3. Native American (American Indian):

Lansia dihormati karena pengetahuan dan pengalamannya. Kewajiban orang tua ialah menurunkan kearifannya dan apa yang telah dipelajari. Seluruh anggota suatu suku bertanggung jawab terhadap lansia. Kontak mata lang-sung, terutama dengan lansia, dianggap tidak meng-hormati. (berbeda dengan dunia barat yang mengatakan kalau berbicara lebih baik menatap muka).

TEORI ILMU SOSIAL TENTANG LANSIA

1. Age stratification:

Setiap tingkatan usia mempunyai peran dan ekspektasi berbeda. Sambil menanggapi setiap perubahan lingkungan (karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan), maka orang harus berubah menuju ke tingkat usia yang lebih lanjut. Karena dunia berubah, dalam perkembangannya sendiri orang akan menyesuaikan diri.

Misalnya di SD kita belajar, kita punya cita-cita untuk mencari nafkah. Saat dewasa, itu bukan merupakan cita-cita lagi, tapi keharusan. Sedangkan di usia lanjut aktifitas bukan pada mencari nafkah, melainkan pada menikmati. Maka manusia selain menyesuaikan diri dengan perkembangan internalnya sebagai akibat dari pertumbuhan, juga harus menyesuaikan dengan lingkungannya. Kalau tidak, kita bisa berbenturan dengan lingkungan. Catatan: menyesuaikan diri dengan lingkungan bukan berarti ikut-ikutan.

2. Minority group:

Lansia adalah golongan minoritas, sebagaimana minoritas dalam konteks lain, selalu mengalami diskrimasi. Ini adalah kenyataannya, terutama di negara berkembang lansia itu agak didiskrimasi walaupun secara resmi tidak. Misalnya: Peraturan pemerintah mengatakan orang di atas 60 tahun, KTP-nya berlaku seumur hidup. Naik pesawat terbang, ada diskon. Tapi pengalaman saya selama ini, selalu dikatakan, “Wah, jatah untuk lansia sudah habis.”

3. Life events and stress:

Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan bertambahnya usia, biasanya berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan pada usia lanjut. Jadi, kalau seseorang bisa tetap sehat pada usia lansia, biasanya dia sejahtera.

Ada orang yang menolak pensiun, ada orang yang menyambut baik pensiun. Ada yang tidak bahagia pada masa pensiun dan ada yang menikmati masa pensiun. Menolak pensiun kalau ia masih bisa produktif dan bisa mengisi hidup, memang tidak ada masalah. Kalau mencari-cari, ini yang jadi masalah.

4. Homogeneity ><>

Semua manusia sejak bayi sampai umur 5 tahun, laki-laki dan perempuan hampir tidak bisa dibedakan. Misalnya, kalau pakai baju sama, rambut dipotong sama pendek, kita pasti tidak bisa bedakan antara laki-laki dan perempuan.

Di usia remaja penampilannya berbeda. Sepintas bisa terlihat. Di atas 85 tahun sifatnya homogen. Mungkin setelah 85 tahun hormonnya sudah tidak ada semua, maka karakteristik seksual dan temperamennya sama. Wanita lebih cepat tua dari pada pria. (catatan: Sedangkan pada usia 70 – 75 tahun malah sifatnya sangat berbeda).

LANSIA DAN KELUARGA INTINYA

Beberapa tahun yang lalu ada kecenderungan pemikir-an sebaiknya lansia dipisahkan dari masyarakat jadi berdirilah panti-panti werda. Tapi para lansia jadi merasa dibuang. Kalau lansia harus tetap tinggal di rumah, jaga cucu dan jaga rumah jadi tugasnya.

Diproyeksikan pada 2015 penduduk di seluruh dunia mayoritas adalah lansia. Nah, kalau harus disediakan panti werda, berapa banyak panti werda yang harus disediakan? Kebijakan WHO adalah lansia harus sehat dan bisa dirawat di rumah. Oleh karena itu pendampingan enjadi sangat penting.

Ada anggapan lansia terlalu lamban, daya reaksinya lambat, kesigapan dan kecepatan bertindak, serta berpikir menurun. Anggapan ini ada yang benar, ada yang tidak. Apakah betul kemampuan berpikir menurun? Belum tentu, kecuali dia pikun. Kenyataannya masih banyak lansia yang kinerjanya baik (Misalnya Verdi, Goethe, Andre Tupolev, Galilei, Laplace, Eisenhower, Churchill, Reagen, Lee Kuan Yew, Teng Xiao Peng, Khomeini, Frans Seda).

Perubahan biologis dan situasi lingkungan sosial dapat mempengaruhi kehidupan mental dan emosional lansia. Sebetulnya tidak hanya lansia, semua orang apabila fisiknya mengalami perubahan biologis dan situasi sosial bisa mem-pengaruhi kehidupan mental emosional. Hanya saja kalau masih muda kemampuan adaptasinya masih lebih baik dibandingkan yang sudah lansia.

Masyarakat timur punya nilai tradisional yang kuat. Lansia merupakan tokoh yang masih dihormati, berwibawa dan dianggap bijaksana, sering dianggap sebagai figur yang kuat dalam masyarakat, dianggap sebagai pemelihara kesatuan.

Norma dan nilai sosial di Indonesia saat ini masih menempatkan lansia pada kedudukan yang lebih tinggi, sebagai sumber nasehat dan restu, sangat dihormati dalam upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kalau mau menikah ada permohonan doa restu, bahkan sampai ke kuburan.

Norma dan nilai ini mulai berubah akibat kemajuan teknologi dan berkurangnya buta huruf, sehingga sumber informasi dapat diperoleh dari dokumen (buku, internet), bukan hanya bertanya pada lansia.

TIPE PSIKOLOGIK LANSIA

1. Tipe konstruktif

Lansia yang mempunyai integritas baik, dapat me-nikmati hidup, toleransi tinggi, humoristik, fleksibel, dan tahu diri. Apakah perlu didampingi? Saya kira cukup didampingi oleh istrinya.

2. Tipe ketergantungan

Dia diterima dalam masyarakat, tetapi pasif, tak berambisi, masih tahu diri, tak mempunyai inisiatif, senang dengan pensiun, banyak makan dan minum, tak suka kerja, senang berlibur. Apakah lansia semacam ini memerlukan pendampingan? Nampaknya sih tidak terlalu. Paling-paling dia perlu didampingi saat minum kopi, misalnya.

3. Tipe defensif

Menolak bantuan, emosional, memegang teguh kebiasaannya, kompulsif (terikat betul pada kebiasaannya), takut menjadi tua, dan tak menyukai masa pensiun. Misalnya, jalannya sudah tidak stabil, digandeng tapi tidak mau. Apalagi kalau di depan gadis-gadis, merasa masih jejaka. Kalau sudah biasa nonton TV jam sekian, bisa ribut sama cucunya yang mau nonton channel lain. Solusinya gampang: beli televise satu lagi. Selesai.

4. Tipe bermusuhan

Menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan-nya, banyak mengeluh, agresif, curiga, takut mati, iri pada yang muda, senang mengadu untung pada pekerjaan, termasuk judi, cenderung menyalahkan orang lain, “Bapak seperti ini karena dulu waktu kamu kecil…….”

5. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri

Kritis terhadap diri sendiri, tidak punya ambisi, pe-nurunan kondisi sosio-ekonomik, perkawinan yang tak bahagia. Tetapi dia tetap menerima proses menua dan tidak iri terhadap yang muda. Dia merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta berpandangan bahwa kematian adalah kejadian yang membebaskan diri dari penderitaan.

Seorang ahli lansia (Subagyo Partodiharjo) mengatakan bahwa kondisi kesehatan bangsa Indonesia masih buruk akibat kebiasaan yang diwariskan nenek moyang: malas berolahraga, gemar merokok, dan pola makan yang keliru. Bangsa kita terlalu banyak mengkonsumsi karbohidrat (nasi, kue-kue, segala yang manis-manis – kopi, teh manis).

Definisi sehat menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan: Kesehatan adalah keadaan sempurna yang tidak saja meliputi fisik, mental maupun sosial, melainkan bebas dari sakit, cacat, dan kelemahan. Kalau lansia berpendengaran kurang, perlu pakai kacamata, perlu pakai tongkat, ini semua sudah termasuk kelemahan, kurang sehat.

Tetapi menurut Undang-Undang RI yang baru (nomor 23) tentang kesehatan menghapus kalimat “bebas dari sakit, cacat, dan kelemahan”. Lansia (usia 60-an) dianggap sehat adalah produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi masih berpenghasilan atau secara sosial (kegiatan di gereja, dan sebagainya).

Oleh karena itu, supaya tetap produktif secara sosial dan ekonomis, lansia harus tetap sehat. Tetap sehat juga diperlukan bagi lansia itu sendiri agar dapat menikmati hidup pada usia lanjut.

Permasalahan yang sering timbul adalah: tinggal di rumah sendiri, bersama anak-cucu atau di panti werda?

Masing-masing ada untung ruginya, bisa dijawab sendiri. Bagaimana bila seorang/pasangan lansia, masih mempunyai orangtua yang tergolong sangat tua, lebih-lebih bila ber-penyakit kronis? Di negara maju hal ini sudah menjadi persoalan, tapi di negara kita belum, karena belum banyak yang tergolong demikian.

Solusi Tepat Atasi Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.

Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari penyimpangan.

Masalah sosial perilaku menyimpang dalam “Kenakalan Remaja” bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.

Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Dalam hal ini penulis menitik beratkan pada fungsi keluarga sebagai proses sosialisasi pada tahap awal.

Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Atas dasar ini penulis mengambil tema yaitu “Kenakalan Remaja Ditinjau dari teori Emile Durkheim” Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada remaja yang mengalami gejala disorganisasi keluarga, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku yang salah satunya yaitu kenakalan remaja.

Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Singgih D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll. Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam.

Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.

Menurut pandangan atau teori Durkheim dapat dikatakan kenakalan remaja disebabkan oleh ketidak berfungsian salah satu organisasi social yang dalam masalah ini adalah organisasi keluarga. Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.

Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.

Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarg dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya. Dibawah ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja yang disebabkan oleh keluarga yang diantaranya akan dibahas dibawah ini :

Pekerjaan Orang Tua

Hubungan antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan remaja. Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya.

Bagi keluarga yang hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.

Keutuhan Keluarga

Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan remaja Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Namun demikian ketidakutuhan sebuah keluarga bukan jaminan juga karena ada mereka yang berasal dari keluarga utuh yang melakukan kenakalan bahkan kenakala khusus. Begitupun dengan tingkat interaksi keluarga mempengaruhi kenakalan remaja, bagi keluarga yang interaksinya baik maka pengaruhnya baik begitupun sebaliknya. Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus.

Kehidupan Beragama Keluarga

Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.

Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.

Sikap Orang Tua Dalam Mendidik

Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan. Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter overprotection kurang memperhatikan dan tidak memperhatikan sama sekali dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.

Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.

Analisis Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan Remaja

Semakin tinggi tingkat fungsi sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan remaja, demikian sebaliknya semakin rendah keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya.Secara jenis kelamin remaja pria lebih cenderung melakukan kenakalan pada tingkat khusus, walaupun demikian juga remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan atau kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai kecenderungan tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh, tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan khusus.

Demikian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak serasi anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga juga berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang taat menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi bagi keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dengan demikian bagi keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi) terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus.

Dan akhirnya keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.

Solusi Jitu

Menurut teori Durkheim kenakalan remaja disebabkan ketidak berfungsian sebuah organisasi yang dalam hal ini adalah organisasi keluarga, untuk itu solusi yang diambil yaitu memfungsikan kembali organisasi itu atau keluarga untuk mencegah tingkat kenakalan remaja tersebut.

Berdasarkan kenyataan itu pula dapat diambil solusi untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial keluarga melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi pengembangan masyarakat secara keseluruhan Di samping itu untuk memperkecil perilaku menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap karang taruna. Program ini terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.

Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa transisi.

Definisi kenakalan remaja menurut para ahli

* Kartono, ilmuwan sosiologi

Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang".

* Santrock

"Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal."

Sejak kapan masalah kenakalan remaja mulai disoroti?

Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus sejak terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile court) pada 1899 di Illinois, Amerika Serikat.

Jenis-jenis kenakalan remaja

* Penyalahgunaan narkoba

* Seks bebas

* Tawuran antara pelajar

Penyebab terjadinya kenakalan remaja

Perilaku 'nakal' remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Faktor internal:

1. Krisis identitas

Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.

2. Kontrol diri yang lemah

Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku 'nakal'. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

Faktor eksternal:

1. Keluarga

Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.

2. Teman sebaya yang kurang baik

3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja:

1. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.

2. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.

3. Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.

4. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.

5. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.

Menghipnotis Anak Agar Betah di Kelas

Memang pemandangan anak-anak yang membolos dari sekolah pada jam pelajaran tampaknya tak asing lagi. Seperti terlihat di sebuah warung internet (warnet) pada pukul 10.00 di kawasan timur Jakarta yang penuh dengan anak-anak usia sekolah dasar (SD) dan menengah pertama (SMP). Sebagian anak melepaskan seragam sekolah mereka, tampak asyik bermain game online. Tangan dan mata mereka tidak lepas-lepas dari layar dan keyboard komputer.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan kebiasaan anak menghabiskan waktu luang atau membolos saat jam sekolah salah satunya disebabkan karena pelajaran atau kegiatan di sekolah tidak menarik. “Kalau diperhatikan, anak-anak akan berteriak bahagia ketika mendengar bel istirahat atau bel pulang sekolah,” ungkap Kak Seto, beberapa waktu lalu di Jakarta kepada Republika.

Lebih lanjut Kak Seto mengatakan, para akedimisi seharusnya lebih memperhatikan kegiatan yang menarik di sekolah sehingga perhatian anak akan fokus pada kegiatan positif di sekolah.

Dia menunjuk, sekolah negeri dan perangkatna yang masih kurang maksimal dalam mengajar kreatif. Bahkan Kak Seto menegaskan, belajar bukanlah kewajiban melainkan hak anak.

"Banyak guru yang tidak melihat proses kreativitas anak. Padahal tipe kecerdasan dan gaya belajar anak yang satu dengan yang lainnya berbeda, tapi semuanya disama ratakan. Ini yang membuat anak tidak betah ada di ruang kelas," paparnya. Bermain game di komputer dengan waktu yang lama mengakibatkan anak menjadi pribadi yang tidak peduli dengan lingkungan. Hal tersebut disampaikan oleh sekretaris jenderal Yayasan Cinta Anak Bangsa, Iskandar Hukom.

"Anak-anak terpaku pada layar monitor, kehidupan sosial mereka terganggu karena mereka sibuk dengan permainan yang ada di komputer," ungkap Iskandar Hukom.

Dampak yang timbul akibat kebiasaan anak bermain game di komputer dalam waktu yang lama bukan saja mengganggu aktivitas belajar mereka tapi juga mereka tidak memiliki fighting spirit. Menurut Iskandar Hukom keadaan ini disebabkan kebutuhan anak bertarung sudah dipenuhi dengan bermain game. "Mereka jadi tidak punya sifat kompetitif dan tantangannya nol," imbuhnya.

Perlu Perhatian Orang Tua

Untuk meghindari hal-hal yang buruk dimungkinkan dari kegiatan membolos, Kak Seto menekankan pada sistem pendidikan yang harus bisa melihat dan memproses kecerdasan masing-masing anak. "Kecerdasan anak berbeda, sehingga pendekatannya pun berbeda," kata Kak Seto.

Dia menuturkan, alternatif home schooling merupakan salah satu pilihan agar anak dapat berkembang sesuai kemampuan yang dimiliki dan kegiatan belajar menjadi hal yang menarik. "Pengalaman saya anak-anak yang home schooling merasa senang dengan belajar. Ketika ditanya apa yang mereka gemari, jawabannya adalah belajar," imbuhnya.

Kak Seto juga menekankan akan kebutuhan anak memiliki lahan bermain yang luas dan terbuka. Dia menyayangkan sudah sangat sedikit sekali lahan terbuka untuk bermain. Padahal dengan bermain di lahan terbuka pikiran dan tubuh mereka akan lebih fresh. Selain itu kegiatan sosial dan solidaritas mereka dapat terbangun.

Iskandar Hukom mengamini hal tersebut. Menurutnya dengan bermain game di komputer berlama-lama fisik anak akan terganggu.

"Mata mereka harus menatap layar komputer berjam-jam, selain itu mereka juga tidak ada pergerakan," ungkapnya. Oleh karena itu penyediaan lahan terbuka memang sangat dibutuhkan agar anak bisa bermain dengan cara yang menyenangkan tapi juga memiliki dampak yang positif.

Lebih lanjut dia mengatakan kontrol orang tua harus lebih ditingkatkan. Menurutnya orang tua harus punya aturan yang tegas.

"Saya tidak pernah meletakkan komputer di dalam kamar anak-anak, biar saya bisa mengontrol apa yang mereka lakukan dengan komputer. Selain itu saya tidak memperbolehkan mereka membeli kaset-kaset game apalagi yang berunsur kekerasan," paparnya.

Melatih Konsentrasi di Kelas

Pemandangan anak-anak TK yang tak bisa duduk diam di kelas adalah biasa. Wajarnya memang begitulah mereka mengingat sebagian besar aktivitas anak usia prasekolah melibatkan gerak fisik dan bermain. Itulah mengapa, agak sukar bagi mereka bila harus duduk diam dalam waktu lama dan berkonsentrasi. “Sepertinya setiap anak dilengkapi dengan energi yang tak ada habis-habisnya untuk terus bergerak dengan lincahnya,” kata Dra. Geraldine K. Wanei M.Psi., Lektor Kepala Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unika Atma Jaya, Jakarta.

Meskipun begitu, lanjut pendidik yang akrab dipanggil Gerda, anak-anak prasekolah boleh diajarkan untuk duduk diam menerima pelajaran. Apalagi di TK B (besar), anak-anak sebaiknya memang dipersiapkan untuk menerima sistem belajar di SD (Sekolah Dasar), dimana murid-murid mulai dituntut untuk tak ada lagi ribut atau berlarian di kelas. “Tetapi tentunya pengenalan itu hanya bisa dilakukan bertahap. Enggak bisa, kan, kalau tiba-tiba anak langsung disuruh duduk diam dan tak boleh berjalan-jalan di kelas.” Jadi, aturlah kegiatan anak agar dapat fokus pada tugas yang diberikan dan menyelesaikannya dengan memperhatikan prinsip berikut.

JANGAN LEBIH DARI 15 MENIT

Orang tua perlu tahu, tingkat kesabaran dan perhatian anak berkembang bersama-sama dengan perkembangan fisiknya, terutama otot-otot kecil pengendali gerakan. Konsekuensinya, anak usia 4 sampai 5 tahun umumnya lebih senang menyelesaikan tugas yang singkat, membongkar apa yang sudah dikerjakan dan memulainya lagi berulang kali.

“Nah, dengan melihat karakteristik ini, persiapkan tugas dengan rentang waktu yang sesuai.” Misalnya, tak perlu orang tua atau guru memberi pelajaran menggambar atau menggunting selama satu atau dua jam terus-menerus, karena umumnya anak-anak di TK hanya akan betah duduk diam paling lama 15 menit. “Jadi, guru harus mencari kegiatan yang bisa diselesaikan dalam jangka waktu 15 menit itu.”

Bila anak diberi tugas panjang yang membuat mereka harus duduk diam dalam waktu lama, maka fokus pada tugas dan konsentrasinya akan cepat hilang. Barulah setelah anak mampu duduk diam selama 15 menit dan asyik mengerjakan tugasnya, guru boleh meningkatkan waktunya secara bertahap, misalnya ditambah 5 menit, begitu seterusnya.

DILATIH SAMBIL BERMAIN

Namun Gerda mengingatkan, meski anak tampaknya semakin anteng mengerjakan tugas, bukan berarti kita lantas bisa membebaninya dengan pelajaran-pelajaran yang belum menjadi kewajibannya. Contoh, langsung mengajarkan membaca atau menulis. “Di masa TK, meskipun sudah di TK besar, kita menyebutnya masa pramembaca, pramenghitung dan pramenulis atau belum sampai pada berhitung, membaca atau menulis yang sesungguhnya. Semuanya masih dilakukan sambil bermain.” Intinya, tidak bijak jika anak prasekolah dipaksa cepat belajar membaca, menulis, dan berhitung sambil dituntut berkonsentrasi lama.

“Melatih anak untuk konsentrasi pada tugasnya juga bisa dilakukan sambil bermain, kok!” tukas Gerda. Jangan kita memforsir anak untuk belajar macam-macam di usia dini hanya untuk mengejar satu target. Umpama, harus sudah menghitung sekian puluh, padahal kemampuan anak usia 5 tahun mungkin baru 1 sampai 10. “Kalau dia hanya bisa sampai segitu, ya, itu saja yang dilatih untuk dikembangkan,” tandasnya.

SIKAP TUBUH BENAR

Membantu anak menumbuhkan konsentrasi belajarnya, lanjut Gerda, juga dapat dilakukan dengan mengajarinya sikap belajar yang benar. “Misalnya saja saat menulis, harus juga diperhatikan posisi duduknya supaya jangan sampai tiduran sambil kaki ke mana-mana.”

Jadi, jika ingin anak bisa fokus pada tugas yang dikerjakannya, guru harus mampu menunjukkan pada murid, bagaimana sikap duduk yang baik. “Kalau duduknya asal-asalan, tidak dengan punggung tegak, pasti sebentar saja anak sudah merasa capek, kan?”

Contoh lain, memegang pensil. Menurutnya, jika ada anak di usia SD yang masih belum mampu memegang pensil dengan baik, semisal masih seperti memegang palu atau memegang sendok, bisa saja karena waktu masih di TK B si anak belum diajarkan bagaimana memegang pensil yang tepat. “Kelihatannya sepele, ya, tapi salah memegang pensil bisa membuat anak jadi terganggu konsentrasinya karena bisa saja anak mengeluh jari-jarinya jadi sakit. Tentu kalau jari-jarinya sakit, bagaimana dia menyelesaikan satu tugas yang diberikan dalam waktu tertentu?”

ALAT BANTU SIAP

Selain itu, keberhasilan anak saat memberikan perhatian pada tugasnya juga bergantung pada kesiapan alat bantu yang ada. Misal, di kelas seharusnya guru sudah mempersiapkan alat peraga yang lengkap pada saat mengajarkan atau memberi tugas. Jangan lagi asyik-asyiknya menerangkan sesuatu, tiba-tiba terhenti karena guru terlupa salah satu alat. Akibatnya, anak-anak yang tadinya sudah fokus mendengarkan, bisa saja perhatiannya jadi buyar lagi karena si guru “grogi” mencari alat bantunya.

FISIK DAN KOGNISI HARUS SEIMBANG

BILA anak-anak hanya dibiarkan bermain mengembangkan fisiknya, mereka tak akan mengembangkan kognisinya. Oleh karena itulah kita perlu menyeimbangkan kegiatan fisiknya dengan kegiatan yang membutuhkan ketekunan dan konsentrasi semisal main lego, meronce, menggambar, atau pasel. Keberhasilan dalam menggunakan permainan ini tergantung pada kesabaran, koordinasi dan ketangkasan anak.

Anak dengan usia prasekolah akhir dapat diberi pasel dengan jumlah kepingan yang lebih banyak. Minta mereka menyelesaikannya sebelum beranjak dari tempat duduk. Ketika seorang anak sedang menyusun pasel atau membangun sebuah menara dengan balok-balok, dia belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalah. Mainan yang mengasah konsentrasi juga menolong anak membedakan bentuk dan pola-pola serta membangun koordinasi antara mata dan tangannya, sehingga mereka nantinya siap belajar membaca.

“Jadi, meski si anak aktif punya kesempatan bermain yang melibatkan fisiknya, ia juga perlu ketekunan. Dengan begitu, wawasannya jadi luas,” bilang Gerda. Bila anak hanya diarahkan bermain menggunakan fisik saja terus-menerus, ia kurang mendapat kesempatan memperoleh berbagai pengetahuan dan kurang terlatih ketekunan serta konsentrasinya. Menjadi tugas orang tua dan guru untuk mencari aktivitas yang menuntut konsentrasi dan ketekunan. Tentu saja disesuaikan dengan usia anak sambil tetap memasukkan suasana bermain.

GURU SLORDIG BUYARKAN SEMANGAT BELAJAR

BAYANGKAN bila si kecil berada di kelas yang awut-awutan, meja bergeser ke sana ke mari tak pernah dibetulkan letaknya, mainan menyebar di seluruh kelas sehingga mengganggu anak untuk bergerak, gambar-gambar di dinding kotor dan letaknya miring? Apalagi jika ditambah meja guru ternyata berantakan juga.

“Suasana kelas yang kacau bisa mengganggu anak dalam mengerjakan tugas-tugasnya,” kata Gerda. Contoh, anak ingin bermain pasel, tapi kepingannya banyak yang terselip entah di mana. Atau meja kursi berdebu sehingga anak bersin-bersin. Semua ini bisa mengganggu anak dalam proses belajarnya.

Belum lagi hal ini akan menimbulkan impresi pada anak-anak bahwa kerapian tidaklah penting. Semisal, “Bu guru oke-oke aja, tuh, mejanya berantakan.” Padahal ini bisa menjadi kendala bila anak ingin belajar tenang, rapi dan nyaman.

‘ketika sekolah menjadi tidak menyenangkan bagi siswa’

yang jelas ada beberapa faktor utama.

Pertama, ketika guru dengan segala otoritasnya menjadi galak dan memandang siswa sebagai objek. Kedua, ketika guru memandang siswa sebagai tabularasa (kertas kosong) sehingga harus dicorat-coret dengan seenaknya. Saat itu pulalah terjadi ketidaksejajaran antara siswa dan guru sebagai makluk sosial yang saling membutuhkan.

Ketiga, ketika proses pembelajaran dari awal hingga akhir dikuasai sepenuhnya oleh guru. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan mengekpresikan siapa dia sebenarnya. Keempat, lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah menjadi tempat yang tidak enjoy bagi siswa. Lingkungan sekolah yang kaku dan penataan kelas yang terlihat kumuh dan monoton membuat siswa tidak betah di lingkungan sekolah.

Faktor kelima adalah peraturan sekolah yang ketat. Artinya peraturan sekolah yang memiliki aturan detail yang menuntut banyak kepada siswa membuat siswa ingin lari dari kanyataan.

Beberapa faktor di atas membuat siswa tidak enjoy di sekolah. Siswa merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Siswa akan memilih pergi meninggalkan (membolos) kelas sebagai tindakan protes mereka terhadap perilaku guru, proses pemelajaran, disiplin yang ketat maupun lingkungan sekolah yang kurang bersahabat.

Siswa mencari tempat di luar sekolah yang cukup aman untuk mengekpresikan dirinya secara bebas tanpa harus dikontrol dan ditekan secara otoriter oleh siapa pun. Siswa secara berkelompok mereka akan mencari tempat yang enjoy seperti ke mal, duduk-duduk di jalanan atau di jembatan, atau tempat-tempat lain yang cukup aman bagi mereka.

Sesuai dengan perkembangan individu, ketika siswa merasa aman, dia (siswa) bisa mengekpresikannya melalui hal-hal yang negatif seperti, minum-minuman keras, penggunaan obat-obat terlarang, dan bahkan perkelahian.

Hakikat pendidikan, memanusiakan manusia muda berlandaskan kekeluargaan, kesejajaran, kasih sayang, dan kebebasan bertanggung jawab sudah jarang kita temui di kebanyakan lembaga-lembaga pendidikan kita. Pemerintah kita masih menyibukkan dengan masalah konsep kurikulum atau sistem pendidikan bahwa pendidikan itu harus begini dan begitu. Mereka jarang mempermasalahkan hal-hal teknis dilingkungan fisik sekolah, proses pemelajaran maupun cara pendekatan guru terhadap siswa.

Tampaknya hal ini mengakibatkan persolan sumber daya manusia Indonesia selalu berada di bawah negara-negara tetangga. Sistem pendidikan sebagus dengan biaya sebesar berapapun sementara lingkungan sekolah (kelas) dan proses pembelajaran masih didominasi guru secara otoriter tanpa memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada siswa, maka siswa selalu saja belajar dalam ketidaktenangan.

Siswa akan belajar secara terpaksa yang akan berakibat buruk pada prestasi baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sehingga yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kondisi sekolah (kelas), sistem pembelajaran, peraturan sekolah dan sikap guru kepada siswa sehingga tercipta suasana belajar mengasyikan bagi siswa, sehingga siswa betah dan menjadikan sekolah sebagai istana belajar yang aman.

Ketika sekolah tidak menyenangkan bagi siswa perlu dicari berbagai solusi untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar. Hal pertama yang kiranya perlu diperhatikan adalah sikap guru terhadap siswa. Sebagaimana ditawarkan dalam kurikulum baru yang dikenal dengan ‘Kurikulum Berbasis Kompetensi’ dalam perencanaan guru berperan sebagai desainer yang kreatif. Dalam tahap pelaksanaan guru berperan sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator. Dalam tahap evaluasi guru berperan untuk memberikan umpan balik.

Jadi di sini tidak ada guru yang menggurui, tidak ada guru yang otoriter atau galak. Beberapa peranan guru di atas, terutama tahap pelaksaan dilakukan dengan berlandaskan kekeluargaan, kesejajaran, kasih sayang dan menciptakan kebebasan bagi siswa. Guru dan siswa sejajar sebagai manusia yang saling membutuhkan tanpa harus ada otoritas di salah satu pihak. Selain itu, dalam proses pemelajaran memandang siswa secara merata, artinya tidak ada siswa yang lebih dianakemaskan.

Kedua, pandangan guru terhadap siswa. Kiranya guru tidak memandang siswa sebagai kertas kosong, tetapi memandang siswa sebagai manusia yang memiliki kompetensi-kompetensi yang perlu didorong untuk mengembangkannya. Sehingga dalam pemelajaran guru memberikan kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan, misalnya dramatisasi pemelajaran, diskusi, debat dan permainan-permainan yang relefan dengan pokok bahasan atau materi pelajaran.

Ketiga, lingkungan fisik sekolah, baik di dalam kelas maupun lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah kiranya perlu didesain dengan pendekatan natural. Misalnya, kerindangan (penanaman rerumputan dan pepohonan atau bunga-bungaan yang langka); kebersihan dan kerapihan lingkungan sekolah. Selain itu ruang kelas juga tidak terkesan kumuh, panas dan monoton. Artinya kerapihan terus perhatikan, kesejukan, dan bahkan peletakan kursi dan meja pun dapat berubah-ubah setiap saat.

Keempat, adalah masalah peraturan sekolah. Penulis pernah membaca buku “Pendidikan Bebas” yang ditulis oleh guru-guru SMU Kolese de’Britto. Dalam buku itu dijelaskan bahwa mengapa de’Britto begitu terkenal elit dan para siswanya pun enjoy belajar di sana. Ternyata salah satu faktor yang membuat sekolah itu elit dan membuat siswa enjoy untuk belajar karena, de’Britto tidak membuat peraturan sekolah yang detail dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada siswa. Tidak ada aturan ketat yang memaksakan siswa harus begitu dan begini. Disiplin waktu misalnya, cukup hanya dengan memberitahu “kamu lebih baik datang tepat waktu supaya teman-temanmu tidak terganggu dan juga kamu tidak ketinggalan pelajaran.”

Sebagaimana hakikat sekolah adalah mengantarkan manusia muda ke alam kedewasaan. Maka untuk mengantarkan ke alam kedewasaan tentu tidak mudah berkata-kata, membutuhkan tenaga dan biaya.

Namun untuk membuat sekolah sebagai istana belajar siswa yang mengasyikan, dirasa tidak terlalu membutuhkan biaya dan tenaga yang begitu banyak. Sehingga minimal dengan adanya menejemen berbasis sekolah, pihak sekolah memiliki kewenangan penuh untuk menjadikan lingkungan sekolah, guru dan pemelajaran yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa tidak banyak keluar membolos atau mencari tempat-tempat yang lebih aman baginya.

Selain itu pihak Dinas Pendidikan Daerah berperan penting, terutama dalam membuat peraturan-peraturan umum tentang sekolah. Sehingga sekolah menjadi benar-benar tempat mewujudnyatakan empat pilar pendidikan (UNESCO), yakni learning to know (belajar mengetahui) learning to bicame him-/herself (belajar hidup), learning to do (belajar bekerja), dan learning to live together (belajar hidup bersama).Dengan demikian benar-benar tercipta manusia muda (siswa) ke alam kedewasaan untuk mempertemukan dengan kodrat sejatinya kemanusiaan.

Menjinak Anak yang Sering Memberontak

Biasanya kita menggolongkan remaja pada usia sekitar 11-12 tahun hingga 20 tahun, ada yang menyebut usia 11-12 sebagai pra remaja, ada yang sudah memasukkan sebagai kategori remaja.

Ciri remaja:

1. Berbeda dengan anak-anak, dalam pegertian kemampuan berpikirnya jauh lebih abstrak dibandingkan pada masa kanak-kanak yang sangat konkret.

2. Berteman juga merupakan ciri yang khas pasa masa remaja, di mana sebelumnya remaja menggantungkan konsep dirinya pada anggapan yang diberikan orang tua sedangkan pada masa remaja sangat menggantungnya konsep dirinya pada penilaian yang diberikan oleh teman-temannya. Sehingga kita melihat pada masa remaja mereka lebih mementingkan teman daripada orangtua.

Dalam pembentukan jati dirinya, remaja harus melalui sekurang-kurangnya dua fase:

* Yang pertama fase pembedaan.

Artinya remaja mulai melihat dirinya berbeda dari orang tuanya, tidak mau dilihat terlalu sama dengan orang tua. Selain membedakan diri dengan orang tua, remaja juga mencoba membedakan diri dengan teman-temannya. Remaja melihat dirinya itu istimewa atau melihat dirinya itu unik. Pembentukan jati diri harus dilandasi dengan fondasi yang pertama ini yaitu keunikannya atau keistimewaannya.

* Yang kedua adalah fase perbandingan.

Perbandingan maksudnya, dia menyoroti dirinya dari segi persamaannya dengan orang lain, sebab dia akhirnya menyadari bahwa tidak terlalu banyak hal yang membedakan dirinya dari orang lain. Kalau fase pertama berhasil dilewati dan dia berhasil membedakan dirinya, mengakui keunikannya, dia akan bisa menemukan siapa dia berdasarkan keistimewaan atau keunikannya. Namun harus disertai dengan fase berikutnya yakni dia bisa mengakui keterbatasannya atau kekurangannya dan mampu menerima dirinya meskipun dia melihat kekurangan pada dirinya itu. Keduanya ini menjadi suatu keseimbangan, keseimbangan yang akan membuat dirinya sebagai diri yang utuh, dan inilah jati diri yang sehat.

Dalam menghadapi remaja melalui proses yang berat seperti itu, orang tua harus berperan dengan bijaksana.

1. Kita harus memahami apa yang sedang dilewati oleh remaja. Misalkan remaja mulai memberontak, jangan lekas-lekas kita mau menggilasnya, melarangnya, makin mengencangkan genggaman kita pada dia, itu makin merusakkan si remaja. Makin membuat si remaja itu tertekan dan ciut. Jadi orang tua harus menerima fakta bahwa remaja akan mulai melawan mereka, mempertanyakan, memberontak dan kalau kita bisa sesuaikan justru merupakan hal yang sehat bagi si remaja, menjadikan dia sebagai seorang yang dewasa.

2. Bimbingan rohani harus kita berikan pada mereka. Yang penting adalah anak-anak remaja perlu tahu bahwa dia bertanggung jawab langsung kepada Tuhan.

Masa remaja masa yang bisa berpotensi menimbulkan kecemasan karena remaja mulai memikirkan masa depan, mulai memikirkan hal-hal yang biasanya mereka yakini. Ditandai dengan banyak pergumulan, pergolakan, kecemasan, pertanyaan, dan kekhawatiran. Kita bisa menegaskan terus-menerus kepada anak remaja, bahwa tugas utamanya adalah mencari kerajaan Tuhan dan kebenarannya, maka semua yang mereka khawatirkan, pikirkan nanti akan Tuhan atur dan akan Tuhan jawab. Jadi penting sekali bagi orang tua membimbing anak remaja untuk mulai menyerahkan hidupnya kepada Tuhan di mana kecemasan dan kekhawatiran adalah bagian dari hidup ini.

Kenapa Anak menjadi Pemberontak

Perilaku pemberontakan anak adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat untuk melawan peraturan yang sah, yang pada dasarnya perilaku ini dapat digolongkan sebagai perilaku yang menyimpang dari seorang remaja. Menyimpang dari apa? Menyimpang terhadap peraturan orang tua yang diberikan, penyimpangan terhadap tata karma yang berlaku di masyarakat, penyimpangan dari norma-norma yang diajarkan oleh agama, dan penyimpangan dari hokum Negara yang berlaku. Mengapa demikian? Karena perilaku pemberontakan remaja ini sangat tidak mempedulikan tatanan social, norma-norma agama, dan hukum Negara yang berlaku.

Dewasa ini perilaku pemberontakan remaja telah menjadi perilaku yang sangat familiar dan popular dikalangan remaja. Perilaku pemberontakan seperti ini menunjuk pada suatau gaya hidup yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, hedonis, dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kesenangan sesaat sebagai ungkapan protes mereka terhadap peraturan yang sah.

Perilaku ini tidak lagi menjadi fenomena baru. Bahkan sekarang telah menjadi ideology sebagian besar remaja saat ini. Semakin sering mereka aktif dalam perilaku yang memberontak, maka semakin kuat pula status mereka sebagai anak muda yang gaul, funky, dan cool. pemberontakan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, pemerkosaan, penganiayaan, dll.

2.Perilaku pemberontakan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pemerasan, dll.

3. Perilaku pemberontakan yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran, penggunaan

4.Perilaku pemberontakan yang melawan status, misalnya mengingkari status remaja sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua dengan cara membantah dan melanggar perintah mereka, dll. Faktor

Penyebab Perilaku Pemberontakan Anak

1.Pada masa-masa yang lalu, masyarakat hidup dalam keluarga-keluarga besar, sehingga pendidikan anak di rumah tidak hanya diberikan oleh orangtua saja, tetapi juga bias dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang lain. Sementara saat ini para keluarga modern semakin bersifat individualistis, sehingga kelemahan orangtua dalam mendidik

anak tidak bisa dicover oleh anggota keluarga yang lain. Banyak orangtua yang tidak begitu serius dalam mendidik anak- anaknya. Mereka terlalu menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan atau lembaga-lembaga kursus, karena mereka berpikir sekolah/kampus atau lembaga kursus adalah satu-satunya yang

bertugas dalam memberikan pendidikan kepada seorang anak. Peranan orangtua modern tereduksi hanya ke masalah-masalah ekonomi. Focus perhatian mereka lebih tercurah pada aktivitas bisnis dan pekerjaan. Kalau disinggung masalah mendidik anak, mereka hanya mengelak dan mengatakan bahwa mereka sudah bekerja keras dan mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan anak dan untuk memasukan anak-anak itu ke sekolah atau perguruan tinggi. Begitulah dalih mereka mengenaipenyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada institusi-institusi pendidikan. Itu semua tidaklah sepenuhnya salah, tetapi masalahnya apakah sekolah, kampus, dan lembaga kursus juga mengajarkan anak bagaimana cara mereka bersikap kepada orang lain dan diri sendiri, bagaimana membentuk kepribadian yang baik, bagaimana beretika, bagaimana membangun visi hidup yang benar, dan bagaimana menjaga moral dan religius dengan bertanggungjawab?

Seharusnya ya! Tetapi banyak sekolah/kampus/lembaga kursus tidak begitu emperhatikan persoalan ini secara serius. Akhirnya dengan kondisi yang saling melempar tanggungjawab mendidik anak antara orangtua dengan lembaga pendidikan, maka si anak akan mudah terjerumus kepada perilaku pemberontakan karena ia sama sekali tidak

mendapatkan aspek-aspek vital pendidikan yaitu, tema-tema di luar persoalan akademik yang sangat dibutuhkannya seperti, memiliki rasa tanggung jawab. Padahal setiap anak perlu dipersiapkan untuk memiliki rasa tanggung jawab yang besar dalam hidupnya (tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, tanggung jawab terhadap Tuhan, dantanggung jawab terhadap hokum dan norma-norma yang berlaku. Sedangkan tanggung jawab itu sendiri adalahmentalitas kunci untuk memasuki dunia yang penuh dengan godaan ini.

2.Anak Orangtua sering tidak tahu bagaimana bersikap kepada anak terutama ketika anak-anak tadi menginjak usia remaja. Ada orangtua yang bersikap terlalu keras dan kasar kepada anak dalam upaya mendidik si anak menjadi baik. Orangtua seperti ini sering memberikan hukuman fisik yang berlebihan kepada anak dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada anak. Sikap seperti ini dapat mematikan kreativitas anak, membuat anak mengalami luka batin, dan mendorong si anak untuk melakukan pemberontakan. 3.

bahwa harapan-harapan mereka terhadap anak tidak mungkin terwujud kecuali mereka sendiri memberikan suri teladanyang baik. Sebagai contoh: Orangtua tidak dapat mengharapkan anak-anak menjadi orang yang jujur sementara mereka

sendiri suka berbohong. Orangtua tidak dapat mengharapkan anak-anak tidak merokok sementara mereka sendiri merokok.

4 Krisis Identitas dewasa. Tidak ada batasan usia yang jelas untuk masa transisi ini. Usia remaja ini diamati juga oleh para ahli sebagai masa yang penuh gejolak. Pencarian kaum remaja akan identitas dirinya serta budaya pertemanan yang mereka bangun

menjadikan mereka sulit untuk dikendalikan. perubahan psikologis juga menghinggapi diri mereka. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri.

Pertanyaan-pertanyaan seperti;siapa diri saya?;Apa tujuan hidup saya?;;Orang

macam apakah saya ini?;Apakah saya lebih jelek atau lebih cakap dari orang lain?;Apakah orang lain akan menyukai saya jika mereka tahu keadaan saya yang sesungguhnya ataukah mungkin mereka malah menolak saya?menjadi persoalan yang sangat penting. Persoalan ini akan menjadi serius ketika pertanyaan ini tidak bias dijawab dengan baik dan menjadi berlarut-larut. Semua pertanyaan itu muncul dari kebutuhan

akan pencarian identitas diri.

Namun ketika beranjak remaja, ia mendapati banyak sumber-sumber nilai lain disekitarnya dan makin banyak model- model peran yang disa ditiru. Baik peran yang bersifat positif maupun negative. sangat berpengaruh ketika seorang anak memasuki usia remaja dan usia remaja memasuki usia dewasa adalah teman susia dan figur-figur popular yang mereka kenal lewat berbagai media. Jika semua itu mengajukan nilai-nilai yang sama, maka upaya mencari identitas diri tidak akan menjadi masalah. Namun ketika nilai-nilai dari pandangan orangtua bertentangan dengan yang diberikan oleh teman-teman seusia maupun figur-figur popular tadi, maka besar kemungkinan terjadi konflik dan remaja akan mengalami apa yang disebut dengan role confusion (kebingungan peran)

Akhirnya disaat-saat seperti inilah biasanya banyak remaja yang memilih identitas menyimpang (Deviant identity)sebagai bentuk pemberontakan terhadap nilai-nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.

5 Group (Budaya teman seusia dan budaya pertemanan yang erat) istilah yang khas bagi remaja. Fenomena ini terjadi karena didorong oleh kesendirian dan semakin terasingnya anak- anak modern dari interaksi dengan orang dewasa. Para ahli menganggap ini sebagai;Penyangga krisis terhadap ketakutan remaja atas isolasi atau keterasingan

kehadiran orang dewasa, anak remaja yang mulai beranjak dewasa ini membutuhkan orang lain yang bias merekapercayaai sebagai tempat berbagi. Akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari pada teman-teman sebaya yang

bukan secara kebetulan banyak mereka dapati dalam lingkungan pergaulan mereka saat melakukan aktivitas tertentu yang sama. Akhirnya terjadilah sebuah akumulasi krisis yang saling menular dan mempengaruhi. erat dari remaja-remaja yang sedang bingung dengan identitas dirinya ini pada gilirannya mendorong terbentuknya budaya teman sebaya atau peer culture. Kelompok-kelompok teman sebaya tentu saja tidak selalu bersifat negative.

Namun karena anak-anak ini sama-sama sedang mengalami krisis identitas, maka berkumpulnya mereka lebih seringberdampak negative karena nyaris semua anak muda yang mengalami krisis identitas ini menjatuhkan pilihan pencarian jati dirinya kepada perilaku-perilaku memberontak terhadap orangtua, norma-norma, dan nilai-nilai yang ada.

6.Elektronik dan Cetak Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai hidup yang benar kepada anak seringkali dikalahkan oleh media-media yang masuk ke dalam rumah atau media-media yang mudah diakses oleh anak. Banyak media-media yang dapat diakses oleh anak pada saat ini bersifat negative. Media-media ini sebenarnya sangat tidak

layak untuk dilihat karena dapat mendorong mereka memiliki kemauan untuk memberontak terhadap orangtua, norma-norma dan nilai-nilai yang ada.